Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachyudi menentang larangan promosi produk tembakau, termasuk iklan rokok yang tertera dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan atau RPP Kesehatan sebagai aturan pelaksana UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Menurut dia, aturan tersebut akan sangat merugikan industri rokok yang tetap perlu promosi. "Padahal kita produk legal, secara Undang-Undang boleh promosi. Kalau dilarang iklan tentu ini akan merugikan," keluh Benny di Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Sebaliknya, ketentuan tersebut malah dinilai menguntungkan produk rokok ilegal. Sebab baik rokok legal maupun ilegal sama-sama diharamkan untuk beriklan.
Advertisement
"Jadi sama dengan ini memberikan privillege kegiatan ilegal. Karena kalau legal enggak boleh promosi, jadi yang diuntungkan rokok ilegal," imbuh Benny.Â
Kondisi itu jelas akan membuat industri rokok semakin tiarap. Lantaran, pendapatan sudah terjungkal gara-gara kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok, membuat produksi sigaret putih mesin atau rokok putih menurun. Â
"Dengan cukai saja jumlah rokok sudah turun. Rokok putih saja dari tahun 2019 masih sebesar 15 miliar (batang), tahun 2023 terpantau dibawah 10 miliar (batang)," urainya.Â
"Pendapatan saja dengan aturan cukai sudah berkurang, apalagi ditambah dengan aturan ini (larangan iklan rokok)," pungkas Benny.Â
Â
Â
Â
Jika Cukai Rokok Naik Lagi pada 2025, Ini yang Bakal Terjadi ke Keuangan Negara
Sebelumnya, ekonom INDEF Ahmad Heri Firdaus meminta pemerintah mengkaji ulang wacana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) di 2025. Pasalnya, kebijakan cukai rokok naik bakal membuat penerimaan negara jadi berkurang.
Bukti ini sudah terjadi pada 2023 ketika pemerintah menaikan CHT rata-rata 10 persen. Kala itu penerimaan negara dari cukai rokok sebesar Rp 213,48 triliun, turun 2,35 persen dari penerimaan pada 2022.
"Secara total penerimaan cukai melandai. Jadi katakanlah kenaikan cukai di atas 10 persen, maka kenaikan penerimaannya melandai dari tahun sebelumnya," ujar Heri dalam sesi diskusi di Kota Kasablanka, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Menurut dia, negara memang dihadapkan pada dilema dalam kebijakan cukai rokok ini. Pemerintah harus memilih mana yang harus dikedepankan, penerimaan negara atau kesehatan warganya.
"Kalau kita perhatikan, ada batas titik tertentu dimana cukai itu harus naik. Kalau dia naik terus-terusan, memang konsekuensinya (peredaran rokok) jadi lebih terkendali," ungkapnya.
"Tapi penerimaan secara total mengalami penurunan. Ini terjadi di tahun 2023 kemarin, dimana penurunan cukainya cukup tajam," kata Heri.
Â
Â
Advertisement
Kenaikan Cukai Rokok
Berdasarkan hasil kajiannya, ia memandang pemerintah semustinya bisa menahan dulu wacana kenaikan cukai rokok di tahun depan. Sebab, lonjakan pita cukai juga turut berdampak terhadap sebaran rokok ilegal yang kian menjamur.
"Tahun depan bagaimana nih tarif cukai? Dari studi terdahulu kami, kalau kenaikan cukai cukup tinggi, excessive, maka secara makro akan melandaikan penerimaan cukainya," ucap Heri.
"Kemudian di sisi industrinya ada peluang-peluang bisnis ilegal yang menjamur, karena permintananya ada. Berbicara rokok terhadap anak, rokok ilegalnya dulu diselesaikan agar pengawasannya lebih mudah, karena penjualan rokok ilegal tidak bisa diawasi. Tapi kalau jual rokok di ritel itu kan pengawasannya relatif lebih mudah. Sehingga pengaturan akses rokok terhadap anak bisa lebih dipantau," bebernya.
Â
Rokok Ilegal Menjamur, Pendapatan Negara dan Produksi Tembakau Menipis
Sebelumnya, Pengusaha rokok buka-bukaan soal kondisi industri hasil tembakau saat ini yang terdesak oleh rokok ilegal yang semakin menjamur. Situasi ini turut berdampak terhadap pemasukan uang negara dan produksi rokok legal.Â
Adapun penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 2023 sebesar Rp 213,48 triliun. Realisasi itu hanya mencapai 91,78 persen dari target APBN 2023 atau 97,61 persen dari target Perpres Nomor 75 Tahun 2023, dan turun 2,35 persen dari penerimaan di 2022.Â
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachyudi melihat fenomena ini berbeda dari tren-tren tahun sebelumnya, di mana penerimaan negara dari cukai rokok selalu berada di angka 100 persen dari target, atau lebih.Â
"Ini kelihatannya sudah mulai jenuh. Ini kelihatan bahwa mungkin cukai ini akan menjadi pengendali dari industri hasil tembakau," ujar Benny dalam diskusi di Kota Kasablanka, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Adapun penurunan penerimaan negara ini disebabkan oleh penurunan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih, membuat pemesanan pita cukai lebih rendah.
Â
Advertisement
Produksi Rokok Ilegal Meningkat
Itu dibenarkan Benny, di mana secara nasional industri hasil tembakau turun dari 350 miliar batang sebelum masa Covid-19, menjadi di bawah 300 miliar batang seusai pandemi.Â
"Untuk rokok putih dimana Gaprindo menaunginya, dari sebelumnya 15 miliar batang per tahun, sekarang sudah di bawah 10 miliar. Artinya turun 10 persen per tahun," imbuh Benny.Â
Produksi rokok dan penerimaan negara yang turun ini nyatanya tidak diikuti oleh jumlah perokok yang ikut berkurang. Lantaran, Benny melihat jumlah rokok ilegal kini semakin menjamur di tengah berbagai pembatasan yang dilakukan pemerintah lewat bermacam kebijakannya.Â
"Kita dibatasi produksinya, tapi di lain pihak rokok ilegalnya meningkat. Kalau rokok ilegal menurut informasi dari kawan-kawan Kementerian Keuangan, itu hampir 7 persen. Kalau itu ditambahkan kepada produksi yang ada, pasti akan tidak turun," tuturnya.Â
Â