Liputan6.com, Jakarta - Polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) belum berakhir. Sampai saat ini masih banyak pihak yang menolak adanya Tapera karena sangat membebani. Sejumlah pihak juga memberikan hitung-hitungan keuntungan dan kerugian dari adanya Tapera ini.
Salah satunya adalah The Prakarsa yang merupakan Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan. Kajian yang dilakukan oleh Prakarsa menujukkan bahwaTapera dapat membebani pekerja dan tidak realistis untuk diterapkan. Kebijakan ini dinilai tidak tepat jika dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi Masyarakat.
Seperti diketahui, pada 20 Mei 2024 Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan PP Nomor 21 tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). PP ini mengatur agar pekerja membayar iuran untuk perumahan.
Advertisement
Iuran Tapera adalah sebesar 3%, dengan rincian 0,5% ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5% ditanggung oleh pekerja. Sementara untuk Pekerja Mandiri mengiur sebesar 3% dan ditanggung sendiri.
Direktur Eksekutif The Prakarsa Ah Maftuchan mengatakan, sebenarnya semangat dari adanya aturan ini sangat baik karena menyediakan rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hanya saja, niat baik tersebut justru akan membebani pekerja.
“Niat baik pemerintah untuk menyediakan rumah bagi pekerja melalui ‘Tapera’ melalui skema iuran sebagai salah satu alternatif sumber pendanaan untuk perumahan harus ditinjau ulang. Karena skema iuran justru hanya akan membebani pekerja.” Tegas Maftuch dalam keterangan tertulis, Kamis (30/5/2024).
Hitungan Pemerintah Tidak Berdasar
Presentasi penghitungan yang ada di peraturan pemerintah ini juga tidak jelas dasar penghitungannya. Secara nominal tidak dijelaskan secara rinci rumah seperti apa yang akan didapatkan pekerja nantinya. Skema menyediakan rumah melalui sekenario hipotek konvensional atau penyediaan rumah bersubsidi jauh lebih baik dan masuk akal karena bisa langsung dinikmati oleh pekerja.
“belum ada informasi yang jelas mengenai penghitungan iuran dan jenis rumah yang didapatkan nantinya oleh pekerja. Belum lagi ketika mengiur, pekerja tidak langsung bisa menempati rumah karena harus mengiur dalam periode tertentu dulu. Lain halnya dengan scenario hipotek konvensional atau bantuan rumah bersubsidi di mana pekerja dapat menempati rumahnya sembari membayar cicilan” tambah Eka Afrina, pengamat kebijakan publik The Prakarsa.
Disebutkan dalam PP bahwa Tapera dilakukan melalui penyimpanan oleh Peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.
Jika jangka waktu minimal iuran yang diberlakukan selama 20 tahun, maka kepemilkan rumah oleh pekerja akan sangat sulit direalisasikan. Mengingat adanya risiko inflasi dan ketidakpastian ekonomi di masa depan.
Advertisement
Inflasi Kumulatif
Memperkirakan tingkat inflasi selama 20 tahun ke depan adalah tugas yang sangat menantang dan penuh dengan ketidakpastian. Inflasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi, politik, dan sosial yang sulit diprediksi dengan akurasi tinggi. Namun, kita dapat melihat data historis dan proyeksi ekonomi dari berbagai sumber untuk memberikan gambaran kasar menggunakan rumus Cumulative Inflation = (1 + r)^n – 1.
Jika proyeksi konservatif inflasi rata-rata sekitar 2% hingga 3% per tahun bisa digunakan sebagai dasar. Ini berarti tingkat inflasi kumulatif selama 20 tahun ke depan bisa berada di kisaran 50% hingga 80%.
“nominal akumulasi iuran dan hasil pemupukannya jika dihitung berdasarkan proyeksi inflasi pada 20 tahun yang akan datang, maka nominal iuran dari pekerja menjadi tidak ada artinya dan tidak mungkin cukup digunakan untuk mendapatkan rumah di masa depan.” ucap Eka.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan kondisi lainnya seperti struktur pasar kerja gig ekonomi dan prekariat, gen Z yang tidak bekerja, krisis iklim yang mengakibatkan ketidakpastian dari pemberi kerja dan stabilitas investasi dalam jangka panjang. Kondisi-kondisi ini harus diperhitungkan karena berkaitan dengan risiko dan imbal balik dari investasi.
Perumusan Kurang Transparan
Maftuch juga menyayangkan proses perumusan kebijakan yag dilakukan kurang transparan dan partisipatif. Hal ini mengakibatkan tidak jelasnya informasi yang sampai kepada Masyarakat.
“Perumusan kebijakan seharusnya dilakukan secara transparan dan melibatkan unsur masyarakat sipil, pekerja dan pemberi kerja. Selain itu, informasi di dalam PP juga tidak lengkap, sehingga informasi yang tidak jelas ini semakin membuat pekerja tidak jelas.” Tutup Maftuch.
Advertisement