Liputan6.com, Jakarta - Sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Korea Selatan dalam menghadapi perubahan iklim, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Korea Selatan Inkyo Cheong menandatangani Nota Kesepahaman Implementasi Artikel 6 Perjanjian Paris.
Kesepakatan kerja sama tersebut dicapai di sela-sela Pertemuan Tingkat Menteri Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF) yang berlangsung di Singapura, Kamis (6/6/2024).
Baca Juga
Setelah penandatangan Nota Kesepahaman, Menko Airlangga Hartarto menyampaikan dalam memperkuat pencapaian komitmen sebagaimana tercantum dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) untuk mengurangi emisi karbon hingga 31,89% dengan upaya sendiri dan hingga 43,20% dengan dukungan internasional, Indonesia berupaya menjajaki kerja sama baik secara bilateral maupun multilateral.
Advertisement
Terkait hal itu, Menko Airlangga menyambut baik inisiatif Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi (MOTIE) Korea Selatan dalam menjalin kerja sama bilateral dengan Indonesia untuk mengimplementasikan Artikel 6 Perjanjian Paris.
Melalui kerja sama tersebut, perusahaan Korea Selatan dan perusahaan Indonesia didorong untuk berkolaborasi mengembangkan proyek yang mampu menurunkan emisi karbon di Indonesia dengan didukung subsidi pendanaan dari MOTIE.
Selain itu, kedua negara juga akan memperoleh kredit karbon melalui Internationally Transferred Mitigation Outcomes (ITMO) dari proyek-proyek terpilih yang menerima subsidi dari MOTIE.
"MOTIE telah menghubungi Kemenko Perekonomian sejak tahun lalu. Kami menyetujui kerja sama tersebut dan melakukan penandatanganan MoU hari ini. Bentuk kerja sama dalam MoU tersebut juga memiliki banyak kemiripan dengan implementasi JCM yang pernah dilakukan Indonesia. Setelah ini, saya berharap perusahaan dari kedua negara dapat segera berkolaborasi mewujudkan penurunan emisi karbon," ungkap Menko Airlangga.
Proyek JCM
Kemenko Perekonomian sendiri telah berpengalaman dalam mengoordinasikan kerja sama serupa melalui skema Joint Crediting Mechanism (JCM) antara Indonesia dan Jepang sejak 2013.
Saat ini terdapat 55 proyek JCM yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dan telah berkontribusi secara signifikan dalam mendukung pembangunan rendah karbon di Indonesia.
Kemudian Menko Airlangga juga berharap agar kerja sama dengan Korea Selatan tersebut dapat berkontribusi banyak dalam mendorong upaya Indonesia untuk mencapai target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada 2030 dan Net-Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Menko Airlangga juga menyampaikan agar kerja sama tersebut dapat mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia melalui peningkatan investasi hijau dan penciptaan lapangan kerja hijau.
Turut hadir mendampingi Menko Airlangga dalam kegiatan tersebut diantaranya yakni Dubes RI untuk Singapura Suryopratomo, Sesmenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso, Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto.
Selain itu, Staf Khusus Bidang Percepatan Pengembangan Wilayah, Pembangunan Infrastruktur, dan Investasi Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo, Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Multilateral Kemenko Perekonomian Ferry Ardiyanto, dan Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Asia Kemenko Perekonomian Bobby C. Siagian. (dep7/map/fsr)
Â
Advertisement
Kemenko Perekonomian Luncurkan Buku Saku Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Sebelumnya, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian meluncurkan Buku Saku Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan video edukasi untuk UMKM terkait Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Sekretaris Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, mengatakan peluncuran buku saku dan video edukasi untuk UMKM terkait Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sangat penting.
"Peluncuran buku saku pengawasan berbasis risiko juga peluncuran video edukasi untuk UMKM, saya kira ini sangat penting sekali," kata Susiwijono dalam sambutannya di acara Talkshow Implementasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Pihaknya berharap dengan diluncurkannya buku saku dan video edukasi pengawasan berbasis risiko UMKM ini bisa bermanfaat dan mendorong pelaksanaan perizinan berbasis risiko di Indonesia.
"Mudah-mudahan dengan dua produk yang diluncurkan pada siang hari ini akan bermanfaat dan mendorong pelaksanaan perizinan berbasis risiko di negera kita yang saat ini menjadi pilar di ekonomi kita," ujarnya.
Lantaran, hal itu sejalan dengan rencana pemerintah yang akan terus melakukan reformasi struktural, salah satunya mengenai perizinan berbasis risiko.
Lebih lanjut, ia mengatakan saat ini Indonesia sedang menuju menjadi anggota OECD. Oleh karena itu, hal ini menjadi momen Indonesia untuk melakukan reformasi struktural jilid II. Di mana jilid pertama telah dilakukan melalui UU Cipta Kerja.
"Kita sudah di jilid yang kedua, kalau di jilid 1 undang-undang cipta kerja malah sudah diubah beberapa kali sekarang kita mulai untuk praktisnya untuk implementasinya kita masuk ke standar OECD," pungkasnya.
Â
Kemenko Perekonomian: Kebijakan EUDR Seiring Upaya Perbaikan Tata Kelola Sawit
Sebelumnya, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian menegaskan perbaikan tata kelola perkebunan sawit tidak tergantung pada kebijakan deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation-free Regulation (EUDR). Pemerintah mengklaim sudah ada rencana perbaikan tata kelola sawit Tanah Air.
Uni Eropa akan menerapkan kebijakan EUDR pada Januari 2025. Salah satu yang didasarnya adalah kelapa sawit dan hasil produksinya di Indonesia. Uni Eropa mengklasifikasikan kelapa sawit Indonesia masuk dalam kategori berisiko tinggi terjadi deforestasi.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Dida Gardera menuturkan, kebijakan EUDR sejalan dengan rencana yang sudah disusun pemerintah. Bahkan sudah ada langkah perbaikan sertifikasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) ke tingkat hilir.
"Intinya kebijakan dari EUDR itu seiring dengan upaya perbaikan kiita. Kemarin kita sudah revitalisasi ISPO yang sebelumnya hanya di hulu, atau perkebunan, sekarang sudah di hilir juga, kebetulan juga ada dorongan, vitamin, terkait dengan EUDR itu yang bisa jadi dorongan untuk kita melakukan perbaikan," kata Dida saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/3/2024).
Â
Â
Advertisement
Perlu Tata Kelola Perkebunan Sawit
Dia menegaskan, sebelum adanya kebijakan anti-deforestasi EUDR itu, pemerintah sudah mengamini perlunya tata kelola perkebunan sawit secara berkelanjutan. Dia enggan upaya perbaikan ini disebut karena dikte dari kebijakan yang dirilis Uni Eropa.
"Tetapi tanpa EUDR pun kita akan melakukan seperti traceability, itu sudah tuntutan kita juga untuk mengelola sawit secara berkelanjutan, jadi menyelam sambil minum air. Jadi bukan kita didikte, tapi kita memang sudah ada rencana, tinggal masalah timing (waktu) aja," kata dia.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indoneisa (Gapki) dan pemerintah meminta relaksasi kebijakan itu diterapkan pada 2026 mendatang. Dida mengatakan, ada negara lain yang juga meminta relaksasi serupa. "Semua negara yang terdampak meminta relaksasi," pungkasnya.
Â