Liputan6.com, Jakarta Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) António Guterres menyerukan larangan terhadap pemasangan iklan di industri bahan bakar fosil dunia, untuk mengurangi risiko dampak dari perubahan iklim.
Sama seperti iklan tembakau yang dilarang karena ancaman terhadap kesehatan, Guterres menyebut, hal yang sama juga seharusnya berlaku pada periklanan di industri bahan bakar fosil.
Baca Juga
"Saya mendesak setiap negara untuk melarang iklan dari perusahaan bahan bakar fosil," ujar Guterres kepada audiensi di New York, dikutip dari BBC, Kamis (6/6/2024).
Advertisement
"Dan saya mendesak media berita dan perusahaan teknologi untuk berhenti menerima iklan bahan bakar fosil," katanya.
Pernyataan Guterres menandai kecaman paling keras terhadap industri-industri yang bertanggung jawab atas sebagian besar pemanasan global.
Pernyataan tersebut disampaikan menyusul keluarnya hasil studi baru yang menunjukkan laju pemanasan global telah meningkat.
Data dari badan iklim Uni Eropa menunjukkan, tercatat rekor suhu global baru dalam 12 bulan terakhir. Tingginya suhu disebabkan oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia, meskipun hanya sedikit pengaruhnya juga disebabkan oleh fenomena iklim El Niño.
"Kita harus menghadapi secara langsung pihak-pihak di industri bahan bakar fosil yang tanpa henti menghambat kemajuan selama beberapa dekade," ucap Guterres.
Dalam pidatonya, Sekjen PBB Guterres juga menekankan bahwa waktu adalah hal yang sangat penting, mengingat dampak kenaikan suhu sudah mulai terasa, seperti gelombang panas mematikan yang baru-baru ini di Asia atau banjir di Amerika Selatan.
Â
Â
Â
Â
Penanganan Perubahan Iklim Habiskan Dana Segini
Diwartakan sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa total anggaran pemerintah pusat untuk membiayai program penanganan perubahan iklim mencapai USD 37,8 miliar dalam kurun waktu 2016 sampai 2022.
Nilai pembiayaan tersebut setara Rp. 569 triliun.
"Secara kumulatif realisasi belanja perubahan iklim pemerintah pusat sejak 2016-2022 itu sudah mencapai Rp 569 triliun," kata Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kemenkeu, Boby Wahyu Hernawan dalam Acara Media Gathering, di Kawasan Puncak Bogor, Jawa Barat, Rabu (29/5).
Dia menyebut, total anggaran pengeluaran belanja untuk memitigasi program perubahan iklim tersebut rata-rata mencapai Rp 81,3 triliun per tahun. Atau setara 3,5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Angka Indonesia 3,5 persen itu sudah cukup bagus dibanding negara lain itu masih 2 persen atau di bawahnya. Jadi, ini sudah cukup bagus pemerintah Indonesia dalam menangani program iklim," bebernya.
Â
Advertisement
Anggaran Terbesar Digunakan Untuk Program Mitigasi
Dia merinci, pembiayaan anggaran perubahan iklim terbesar digunakan untuk program mitigasi senilai Rp. 332,84 triliun. Anggaran ini dipakai untuk program penurunan emisi gas rumah kaca meliputi industri hijau, pengolahan limbah, energi, hingga sektor transportasi.
Selanjutnya, anggaran dipakai untuk program adaptasi sebesar Rp. 214,2 triliun. Program ini menyasar penurunan kerentanan, peningkatan kapasitas adaptif dan pengurangan kerugian ekonomi melalui perbaikan kualitas air dan sektor kesehatan.
Kemudian, anggaran digunakan untuk program Co-benefit senilai Rp. 22,4 triliun. Penggunaan anggaran ini menyasar sektor kehutanan, pertanian, kelautan, dan pesisir.
Dia memproyeksikan, kebutuhan pendanaan aksi mitigasi untuk tahun 2018-2030 mencapai Rp4.002,44 triliun. Atau rata-rata membutuhkan anggaran Rp. 307,88 triliun per tahun.
Sementara total pendanaan mitigasi dari APBN (aksi mitigasi dan co-benefit) untuk tahun 2018-2022 sebesar Rp. 217,83 triliun. Nilai ini rata-rata Rp. 43,57 triliun per tahun.
"Sehingga APBN sejauh ini baru dapat memenuhi sekitar 14 persen dari kebutuhan pendanaan aksi mitigasi tiap tahunnya," tegasnya.