Liputan6.com, Jakarta Bank Sentral Eropa (ECB) memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin, menandai langkah pertama sejak tahun 2019.
Penurunan suku bunga ECB telah diantisipasi secara luas dalam beberapa hari terakhir, meskipun tekanan inflasi masih menghantui 20 negara zona euro.
Melansir CNBC International, Kamis (6/6/2024) ECB memangkas suku bunga utamanhya menjadi 3,75%, turun dari rekor 4% sejak September 2023.
Advertisement
"Berdasarkan penilaian terkini terhadap prospek inflasi, dinamika inflasi yang mendasarinya, dan kekuatan transmisi kebijakan moneter, kini tepat untuk mengurangi tingkat pembatasan kebijakan moneter setelah sembilan bulan mempertahankan suku bunga tetap stabil," kata Dewan Pengurus ECB dalam keterangannya.
Dalam proyeksi makroekonomi terbaru yang akan dianalisis secara cermat oleh investor, staf ECB menaikkan perkiraan inflasi rata-rata tahunan zona Euro untuk tahun 2024 menjadi 2,5% dari sebelumnya 2,3%.
ECB juga menaikkan perkiraan inflasi Eropa tahun 2025 menjadi 2,2% dari 2%. Sedangkan proyeksiinflasi zona Euro tahun 2026 tetap pada 1,9%.
Dean Turner, kepala ekonom zona euro di UBS Global Wealth Management, mengatakan bahwa pemangkasan lebih lanjut pada pertemuan ECB berikutnya pada bulan Juli 2024 sudah tidak mungkin terjadi, namun sudah dikesampingkan oleh angka-angka terbaru.
"Sedikit peningkatan pada perkiraan inflasi sudah diperkirakan, inflasi telah mencetak sedikit lebih panas dari perkiraan pasar, namun dalam hal waktu pemangkasan berikutnya saya masih memperkirakan pada bulan September mendatang," ungkap Turner.
Penurunan suku bunga ECB di bulan Juni ini menempatkannya di depan Federal Reserve AS, karena bank sentral terbesar di dunia itu masih terhambat oleh tingkat inflasi AS.
Kanada pada hari Rabu menjadi negara G7 pertama yang memangkas suku bunga pada siklus saat ini, sementara bank sentral Swedia dan Swiss telah mengumumkan penurunan suku bunga mereka sendiri tahun ini.
Â
Â
Jika The Fed Tak Pangkas Suku Bunga, Bagaimana Dampaknya ke Rupiah?
Suku bunga The Federal Reserve (the Fed) atau Fed Funds Rate (FFR) diproyeksikan turun mulai pada kuartal III-2024. Namun, jika hal itu tidak terjadi akan mengakibatkan volatilitas pada imbal hasil US treasury, yang mana dapat mempengaruhi arus modal ke pasar negara berkembang, termasuk ke Indonesia.
Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, menilai apabila penurunan suku bunga The Fed tidak terjadi akan berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang akan semakin melemah.
"Mengenai penurunan suku bunga The Fed bagaimana jika tidak ada penurunan, ini bisa mengakibatkan volatilitas pada imbal hasil US treasury, di mana peningkatan volaitilitas imbal hasil US Treasury ini bisa mempengaruhi arus modal atau arus dana ke emerging market termasuk ke Indonesia dan mengurangi kestabilan nilai tukar," kata Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman, kepada Liputan6.com, di Jakarta, Jumat (24/5/2024).
Jika nilai tukar rupiah terganggu, Bank Indonesia harus melakukan intervensi di pasar valuta asing (Valas) lebih banyak, dan intervensi ini akan berdampak negatif pada likuiditas perbankan.
Â
Advertisement
Selisih yang Sempit
Terkecuali apabila Bank Indoensia melakukan sterilisasi dari intervensinya tersebut dengan cara menambah kembali likuiditas di perbankan, baik dengan cara intervensi di pasar obligasi.
"Yang dimana pembelian SBN di pasar sekunder akan menambah likuiditas maupun dengan perubahan tingkat GWM atau penurunan tingkat GWM dimana ini juga akan menambah supply rupiah di perbankan," tutur dia.
Di sisi lain, jika penurunan suku bungan The Fed benar terjadi, Helmi memproyeksikan suku bunga Bank Indonesia atau BI-Rate akan berjalan lebih lambat dibandingkan The Fed.
"Alasan mengapa kami berekspektasi bahwa penurunan suku bunga BI-Rate ini akan lebih lambat dari The Fed adalah karena kami mempertimbangkan diferensial suku bunga antara rupiah dan dolar yang saat ini berada cukup sempit, selisihnya cukup sempit," pungkasnya.