Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menilai korban judi online tidak layak masuk dalam kategori penerima bantuan sosial (bansos).
"Jangan menjadikan pemain judi online sebagai korban, dan tidak perlu diberikan bansos khusus judi online," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Selasa (18/6/2024).
Baca Juga
Menurutnya, jika memang korban judi online termasuk kategori masyarakat miskin maka layak diberikan bansos. Sebaliknya jika tidak layak diberikan bansos, tidak perlu dikasihani.
Advertisement
"Dengan mereka punya dana untuk judi online, seharusnya tahu bahwa mereka sebagian besar bukan berasal dari keluarga miskin dan miskin ekstrim," ujarnya.
Ia menilai Indonesia saat ini darurat judi online. Permainan judi online sudah meraja rela, bahkan pelaku judi online hingga rela kehilangan keluarga dan berujung dengan hilangnya nyawa. Pemerintah pun sampai turun tangan mengeluarkan kebijakan terkait judi online dengan membentuk satuan tugas (Satgas).
Adapun alasan maraknya judi online di Indonesia lantaran dalam judi online terdapat karakteristik permainan zero sum game dimana player dan bandar memiliki kesempatan menang dan kalah. Jika player menang maka bandar kalah, demikian pula sebaliknya.
Namun, bedanya adalah sistem yang dimainkan dalam judi online dibuat oleh bandar yang mana tidak mungkin akan dikalahkan oleh player secara agregat atau semua player, maka sudah pasti player akan kalah pada waktu tertentu.
Aliran Keuangan
Selain skema permainan yang menarik, Nailul menilai maraknya judi online ini lantaran ada arus informasi yang masif mengenai judi online. Dimana banyak diiklankan oleh influencer dan kreator konten yang mempunyai follower yang besar.
"Informasi ini sampai ke masyarakat yang hanya berisi peluang menang dan benefit yang didapatkan tanpa mengenyam informasi bahwa judi itu ilegal. Dampaknya masyarakat mengetahui situs slot tersebut dan memainkan permainan ilegal," jelasnya.
Sebenarnya, untuk memberantas judi online ini bisa dilakukan dengan menelusuri aliran keuangannya. Dimana pada banyak situs judi online menggunakan akun keuangan resmi di dalam negeri. Bandar menggunakan akun keuangan baik perbankan maupun non perbankan resmi Indonesia.
"Harusnya memang mudah menelusuri arus uang tersebut, maka dari itu perlu sinkronisasi dari akun keuangan dengan data kependudukan," ujarnya.
Di sisi lain ia menilai pembentukan satgas sudah bagus, namun memang tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cepat dan tangkas. Ia berharap jangan sampai satgas hanya berfungsi sebagai edukator tanpa penyelesaian jangka pendek.
"Permasalahan ujungnya adalah informasi mengenai judi online, itu yang harus dibatasi. Ujung lainnya adalah aliran dana, itu yang harus disumbat," pungkasnya.
Advertisement
Menko Muhadjir Jelaskan soal Usulan Korban Judi Online Bisa Terima Bansos
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan panjang lebar, terkait pernyataanya soal korban judi online (judol) mendapatkan bantuan sosial atau bansos.
Muhadjir mengakui, pernyataan tersebut menjadi kontroversi publik. Dia menilai hal itu disebabkan interpretasi yang keliru oleh masyarakat.
“Jadi saya sudah mencermati reaksi dari masyarakat tentang usulan saya, nanti mereka yang jadi korban judi online itu bisa mendapat bantuan sosial dengan kriteria tertentu. Saya tangkap, dari opini masyarakat itu ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa korban judi online itu adalah pelaku,” kata Muhadjir kepada awak media di Jakarta, Senin (17/6/2024).
Muhadjir menjelaskan, perlu dibedakan antara pelaku dan korban. Pelaku yang dimaksud adalah penjudi dan bandar judi online.
“Jadi tidak begitu, menurut KUHP Pasal 303 maupun UU ITE 11 th 2008 Pasal 27, pelaku judi adalah tindak pidana, karena itu para pelaku baik itu pemain maupun bandar itu adalah pelanggar hukum dan harus ditindak dan itu lah tugas siber satgas penumpasan judi online itu menjadi tugas utama mereka,” beber Muhadjir.
Lalu Siapa yang Layak Disebut Korban Judi Online?
Muhadjir menegaskan, korban judi online adalah mereka yang tergolong bukan pelaku. Sehingga mereka yang layak disebut korban adalah keluarga atau individu terdekat dari para penjudi yang dirugikan baik secara material, finansial maupun psikologis.
“Mereka yang disantuni, kalau mereka itu yang kehilangan harta benda, kehilangan sumber kehidupan maupun mengalami trauma psikologis, kalau mereka itu nanti berupa keluarga. Jadi keluarga ya sekali lagi, keluarga dan keluarga itu jatuh miskin, maka itulah yang nantinya mendapatkan bantuan sosial,” yakin Muhadjir.
Muhadjjr berlasan, keluarga miskin menjadi tanggung jawab negara, sesuai UUD pasal 34 ayat 1 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Jadi, orang miskin itu tidak hanya korban judi online saja.
“Semua orang miskin itu menjadi tanggung jawab negara untuk diberi santunan dan itu kemudian akan diproses, akan dicek juga standar, kriteriannya cocok tidak dengan yang ditetapkan Kementerian Sosial, kemudian ada verifikasi, kalau memang dipastikan bahwa dia memang telah jatuh miskin akibat judi online ya dia akan dapat bansos,” beber Muhadjir.
“Jadi jangan bayangkan terus pemain judi kemudian miskin dan langsung dibagi-bagi bansos, bukan begitu,” imbuh dia menandasi.
Advertisement
MUI Tak Sepakat Korban Judi Online Masuk Kategori Penerima Bansos
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons rencana pemerintah untuk menjadikan korban judi online sebagai penerima bantuan sosial (bansos).
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Asrorun Niam Sholeh tak sepakat dengan rencana tersebut. Justru ia menilai, korban judi online seharusnya tidak masuk dalam kategori penerima bansos.
"Kita juga harus konsisten ya, di satu sisi kita memberantas tindak perjudian salah satunya adalah melakukan langkah-langkah preventif, di sisi yang lain harus ada langkah disinsentif bagaimana pejudi justru jangan diberi bansos," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh di Kantor MUI Pusat, Jakarta, dilansir dari Antara Sabtu (15/6/2024).
Niam mengatakan, bansos yang diberikan kepada pejudi berpotensi digunakan kembali untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum tersebut.
Ia menekankan tidak ada istilah korban dari judi daring, ataupun kemiskinan struktural akibat dampak judi online, karena berjudi merupakan pilihan hidup pelakunya.
Berbeda dengan pinjaman daring (pinjol), kata dia, terdapat sejumlah penyedia layanan yang melakukan kecurangan, dan menyebabkan penggunanya tertipu lalu menjadi korban.
"Masa iya kemudian kita memprioritaskan mereka? tentu ini logika yang perlu didiskusikan. Kalau tahu uangnya terbatas untuk kepentingan bansos, prioritaskan justru orang yang mau belajar, orang yang mau berusaha, orang yang gigih di dalam mempertahankan hidupnya, tetapi karena persoalan struktural dia tidak cukup rezeki. Ini yang kita intervensi, jangan sampai kemudian itu enggak tepat sasaran," ucap Niam.
Selanjutnya
Menurut Niam, pemerintah tak perlu melakukan tindakan restoratif kepada para pelaku tindak pidana perjudian. Sebab, kata dia, pelaku judi melakukan hal tersebut dalam keadaan sadar.
Adapun secara khusus ia mengapresiasi upaya pemerintah dalam memberantas judi online, melalui pembentukan satuan tugas guna memberantas tindak pidana tersebut.
"Dalam melakukan tindakan pencegahan dan juga penindakan hukum secara holistik, jangan tebang pilih, karena ada juga platform digital yang sejatinya dia bergerak kepada perjudian online, tetapi dibungkus dalam bentuk permainan dan sejenisnya. MUI secara khusus memberikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap upaya pemerintah dalam memberantas tindak perjudian melalui Satgas Judi Online," tuturnya.
Advertisement