Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) guna melaporkan kondisi perekonomian global dan dampaknya ke Indonesia. Termasuk membahas beberapa kemungkinan dampak negatif dari pergerakan ekonomi global.
Sri Mulyani tak sendiri, dia turut didampingi oleh Gubernur Bank Indonesia Perey Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, dan Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa. Para Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) itu menyoroti dinamika politik global dan pengaruhnya terhadap ekonomi nasional.
Baca Juga
"Itu menyangkut global politic dan berbagai perkembangan yang terjadi dari perekonomian di Amerika Serikat, Eropa dan RRT yang memiliki potensi pengaruh spill over ke perekonomian kita," kata Sri Mulyani di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Advertisement
Dia mengatakan, ada ancang-ancang yang perlu dipersiapkan guna mengantisipasi dampak dari kenaikan suku bunga The Fed.
"Itu akan kita pantau bagaimana meminimalkan dampak negatif kalau terjadi keputusan mengenai Fed fund rate, yang beberapa kali akan menurunkan suku bunga dan juga perkembangan di Eropa," ucapnya.
Selain bicara mengenai dampal ekonomi global, Sri Mulyani juga melaporkan terkait pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menurutnya, hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor fundamental.
"Kalau kita lihat dari fundamental seperti indeks penjualan riil masyarakat yang mencerminkan konsumsi masyarakat mengalami pemulihan terutama pada Mei Juni ini, kemudian Mandiri Spending Index (MSI), confidence masyarakat, konsumsi semen, konsumsi listrik, PMI semuannya masih dalam relatif terjaga," urainya.
"Ini menjadi pondasi yang cukup baik untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kita di kuartal II ini yang masih terjaga seperti yang terjadi di kuartal I," sambung Bandahara Negara itu.
Â
Kondisi Lainnya
Lebih lanjut, dia menuturkan posisi kredit perbankan mengalami kenaikan, baik pada kredit investasi, modal kerja, hinggq konsumsi. Dia bilang, ini menggambarkan fungsi intermediari perbankan juga mengalami hal yang positif atau meningkat cukup baik.
Sri Mulyani mencatat jumlah pertumbuhan kredit mencapai 12,3 persen dan total peningkatan dari dana pihak ketiga juga meningkat 8,1 persen.
"Kami di KSSK menjelaskan memantau stabilitasi sistem keuangan, baik dari perbankan maupun instituasi non bank, juga pergerakan dari kurs kemudian yeild surat berharga dan saham," ujar dia.
Dia memprediksi, kebijakan penurunan suku bunga Amerika Serikat hanya akan terjadi sekali. Maka, disinyalir akan terjadi arus keluar modal (capital outflow) sebagai akibat keputusan tersebut.
"Dengan adanya policy di as yang subungnya tetap tinggi dan penurunan subung diperkirakan hanya akan terjadi sekali, maka kita juga melihat capital outflow yang terjadi akibat dari kebijakan tersebut, dan dampaknya ke perekonomian di dalam negeri," jelasnya.
Advertisement
Aturan Masih Berantakan, Peningkatan Daya Saing Bukan Modal Kuat Tarik Investasi
Indonesia sukses mencatat kenaikan peringkat daya saing, dari posisi 34 dunia menjadi 27. Alhasil, daya saing Indonesia kini berada di posisi 3 besar ASEAN di bawah Singapura dan Thailand.Â
Namun begitu, sejumlah pengusaha menilai capaian itu belum serta-merta jadi modal bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi. Khususnya menyoal faktor efisiensi pemerintah terkait perundangan bisnis, dimana Indonesia masih bercokol di peringkat 42.Â
Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Anggawira memaparkan beberapa PR yang harus dilakukan untuk mendongkrak indikator perundangan bisnis. Â
Meskipun ada kenaikan 7 peringkat daya saing dari 49 ke 42, ia menilai beberapa indikator seperti aturan perdagangan, persaingan, dan ketenagakerjaan masih perlu diperbaiki. Pertama, terkait reformasi regulasi bisnis.Â
"Memperbaiki dan menyederhanakan regulasi yang mengatur perdagangan, persaingan, dan ketenagakerjaan untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Hal ini termasuk mengurangi birokrasi dan mempercepat proses perizinan," jelasnya kepada Liputan6.com, Rabu (19/6/2024).
Anggawira juga menekankan peningkatan kualitas institusi untuk memperkuat institusi hukum dan pengawasan. Sehingga memastikan bahwa regulasi dilaksanakan dengan adil dan transparan, serta memberikan perlindungan yang memadai bagi pelaku usaha dan pekerja.
Pemerintah pun diminta melakukan peningkatan kompetensi kompetensi tenaga kerja, dengan mengembangkan program pelatihan dan pendidikan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja. "Sehingga mereka dapat bersaing di pasar kerja yang semakin global," imbuhnya.
Terakhir, ia memohon pemerintah konsisten dalam menerapkan suatu kebijakan. "Memastikan kebijakan pemerintah konsisten dan dapat diandalkan, sehingga pelaku usaha memiliki kepastian dalam perencanaan dan investasi jangka panjang," pintanya.
Â
Hal Fundamental
Senada, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bob Azam berpikir bahwa Indonesia masih bergulat dengan hal-hal fundamental dalam membangun daya saing, terutama untuk menarik investasi berorientasi ekspor.Â
"Harga energi yang tidak kompetitif, regulasi yang tidak konsisten, serta labor issue dan produktifitas tenaga kerja yang rendah membuat cost of doing business di Indonesia mahal dan tidak menarik bagi investor," ungkap dia kepada Liputan6.com.Â
"Selain itu juga tidak ada nya FTA (Free Trade Agreement) dengan negara-negara tujuan ekspor yang daya belinya kuat seperti Amerika Serikat dan Eropa juga jadi kendala kita saat ini," tegas Bob Azam.Â
Bob lantas berkesimpulan bahwa peningkatan daya saing ini tidak akan berarti banyak jika tak diiringi dengan regulasi yang rapi dari pemerintah.Â
"Betul, salah satunya regulasi harus konsisten dan bisa dibawakan ke investor atau kirim signal yang jelas. Investasi hanya terjadi pada pasar yang bertumbuh, jadi daya beli juga harus jadi perhatian," tuturnya.Â
Advertisement