Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat hingga 31 Mei 2024, pemerintah mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp24,99 triliun.
Jumlah tersebut berasal dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp20,15 triliun, pajak kripto sebesar Rp 746,16 miliar, pajak fintech (P2P lending) sebesar Rp2,11 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) sebesar Rp1,99 triliun.
Baca Juga
Sementara itu, hingga Mei 2024 pemerintah telah menunjuk 172 pelaku usaha PMSE menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada Mei 2024, tidak terdapat penunjukan, pembetulan/perubahan data maupun pencabutan pemungut PPN PMSE.
Advertisement
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan, keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 157 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE sebesar Rp20,15 triliun.
"Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp5,51 triliun setoran tahun 2022, Rp6,76 triliun setoran tahun 2023, dan Rp3,25 triliun setoran tahun 2024,” kata Dwi dalam keterangan DJP, Jumat (21/6/2024).
Adapun penerimaan pajak kripto telah terkumpul sebesar Rp746,16 miliar hingga Mei 2024. Penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, dan Rp278,88 miliar penerimaan 2024.
“Penerimaan pajak kripto tersebut terdiri dari Rp351,34 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp394,82 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger,” ujarnya.
Pajak Fintech
Kemudian, pajak fintech (P2P lending) juga telah menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp2,11 triliun sampai dengan Mei 2024. Penerimaan dari pajak fintech berasal dari Rp446,39 miliar penerimaan tahun 2022, Rp1,11 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp549,47 miliar penerimaan tahun 2024.
Pajak fintech tersebut terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp713,51 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp256,9 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp1,14 triliun.
Penerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan pajak SIPP. Hingga Mei 2024, penerimaan dari pajak SIPP sebesar Rp1,99 triliun.
Penerimaan dari pajak SIPP tersebut berasal dari Rp402,38 miliar penerimaan tahun 2022, sebesar Rp1,12 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp469,4 miliar penerimaan tahun 2024. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp134,1 miliar dan PPN sebesar Rp1,85 triliun.
“Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia,” ujar Dwi.
Ke depannya, kata Dwi, Pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.
Advertisement
Bappebti: Banyak Nasabah Transaksi di Luar Negeri Imbas Pajak Kripto di Indonesia
Sebelumnya, Pemerintah resmi mengenakan pajak untuk aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 yang berlaku sejak 1 Mei 2022. Permenkeu tersebut mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.
Terkait hal ini, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Tirta Karma Senjaya menuturkan, pajak kripto di Indonesia berdampak kepada nilai transaksi kripto dalam negeri.
"Dengan pengenaan pajak sebesar saat ini menambah biaya bagi para nasabah. Banyak nasabah yang transaksi di exchange luar negeri,” kata Tirta dalam acara Talkshow Indodax, ditulis Rabu (28/2/2024).
Tirta menambahkan pengenaan dua pajak untuk aset kripto yaitu PPH dan PPN karena aset kripto saat ini masih dianggap sebagai barang komoditas. Tirta berharap pajak kripto bisa dikenakan setengahnya mengingat industri kripto di tanah air yang masih baru.
"Kalau dikenakan langsung besar, industri kripto Indonesia masih embrio. Secara keseluruhan industri kripto masih baru. Industri yang masih baru perlu diberi ruang untuk bertumbuh,” ujar Tirta.
Harapan Pelaku Industri
Terkait peralihan pengawas aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan dapat menjadi evaluasi untuk Dirjen Pajak karena nantinya aset kripto akan masuk dalam sektor keuangan.
"Biasanya pajak ada evaluasi kalau pajak aset kripto tidak direduksi, setidaknya pengenaannya tidak PPh dan PPn. Kami bersama asosiasi siap berkoordinasi dengan Dirjen Pajak,” lanjut Tirta.
Meskipun begitu, menurut Tirta pengenaan pajak untuk aset kripto memberikan kontribusi luar biasa pada negara. Bahkan pajak aset kripto lebih dari 50 persen pajak fintech.
Dari sisi pelaku industri, CEO Indodax, Oscar Darmawan berharap pajak PPn untuk aset kripto dihilangkan dan hanya mengenakan PPh seperti transaksi di pasar saham.
“Perkembangan regulasi semakin baik di Indonesia dengan adanya pajak kripto baik PPh dan PPn, tetapi dengan tidak adanya PPN, itu lebih baik,” pungkasnya.
Advertisement