Liputan6.com, Jakarta Bank Indonesia (BI) mencatat modal asing mengalir keluar pada pekan ketiga Juni 2024. Namun jika dihitung sejak awal 2024, tercatat masih lebih banyak modal asing yang masuk ke Indonesia.
Asisten Gubernur Bank Indonesia Erwin Haryono menjelaskan, berdasarkan data transaksi 19-21 Juni 2024, nonresiden di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp 0,78 triliun.
Baca Juga
“Nonresiden tercatat jual neto Rp 0,78 triliun terdiri dari jual neto Rp 1,42 triliun di pasar saham, beli neto Rp 0,45 triliun di SBN dan beli neto Rp 0,19 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI),” kata Erwin dikutip dari situs resmi Bank Indonesia, Minggu (22/6/2024).
Advertisement
Erwin menambahkan, selama 2024, berdasarkan berdasarkan data setelmen sampai dengan 21 Juni 2024, nonresiden jual neto Rp 42,10 triliun di pasar SBN, jual neto Rp 9,3 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp 117,77 triliun di SRBI.
Dengan melihat realisasi angka ini, investor asing atau modal asing masih mempercayai pasar keuangan di Indonesia karena lebih banyak aliran modal asing masuk dibanding dengan keluar.
“Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia,” jelas Erwin.
Adapun Premi CDS Indonesia 5 tahun per 20 Juni 2024 sebesar 76,04 bps, relatif stabil dibandingkan 14 Juni 2024 sebesar 76,40 bps.
Untuk nilai tukar rupiah ditutup pada level (bid) Rp 16.425 per dolar AS dan Yield SBN (Surat Berharga Negara) 10 tahun turun ke 7,10%.
Anjlok Akibat Teka Teki The Fed, Bos BI Pede Rupiah Perkasa Lagi
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk melaporkan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang tengah melemah.
Menurut dia, kurs rupiah selalu dipengaruhi oleh dua faktor utama, fundamental dan sentimen jangka pendek. Untuk faktor fundamental, Perry meyakini rupiah seharusnya bakal menguat.
Pasalnya, ekonomi nasional kini tengah dipengaruhi sejumlah indikator positif semisal inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi tinggi, pertumbuhan kredit bagus, hingga imbal hasil investasi.
Namun, Perry menilai rupiah goncang akibat faktor-faktor teknikal jangka pendek. Mulai dari konflik geopolitik di Timur Tengah hingga teka teki kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed.
"Contohnya bulan Mei terjadi, kemudian ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Demikian juga pada waktu itu Fed fund rate yang diperkirakan akan turun tiga kali rupanya enggak jadi, paling banter akhir tahun ini cuma sekali," ungkapnya, Kamis (20/6/2024).
Merespon kebijakan moneter The Fed yang angin-anginan, BI sempat menaikan suku bunga acuan. Perry mengklaim itu sukses membuat nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh level Rp 16.600 per dolar AS turun menjadi Rp 15.900.
Perry juga tak memungkiri rupiah yang sempat menguat kini kembali terperosok ke level mendekati Rp 16.400 per dolar AS, lagi-lagi gara-gara ulah The Fed.
"Faktor globalnya masih Fed Fund Rate ini msh tebak-tebakan sampai akhir tahun mau turun berapa kali. Perkiraan kami sekali hanya akhir tahun saja," imbuh Perry.
"Tapi juga ada kenaikan suku bunga obligasi pemerintah Amerika yang tempo hari hanya 4,5 persen sekarang naik menjadi 6 persen karena memang untuk membiayai utang di Amerika. Demikian juga bank sentral Eropa sudah mulai menurunkan suku bunga. Ini yang menyebabkan kenapa sentimen-sentimen global ini memberikan dampak kepada pelemahan nilai tukar," urainya.
Advertisement
Pelemahan Rupiah
Tak hanya dari luar, pelemahan rupiah turut ditekan oleh sentimen-sentimen di tingkat domestik. Seperti pada kuartal II, khususnya Juni 2024 ketika terjadi kenaikan permintaan dari korporasi.
"Biasa kalau triwulan II itu korporasi perlu repatriasi dividen. Perlu juga membayar utang. Tapi biasanya nanti di triwulan III sudah enggak ada lagi. Dan juga yang terakhir disampaikan oleh bu Menteri Keuangan, masalah persepsi sustainibilitas fiskal ke depan yang itu membuat sentimen-sentimen kemudian itu menjadi tekanan nilai tukar rupiah," paparnya.
Kendati begitu, Perry meyakini perkembangan nilai tukar rupiah ke depan akan menguat lagi, meskipun dalam jangka pendek tertekan oleh berbagai sentimen negatif.
"Rupiah secara fundamental itu trennya, jangan ditanya hari per hari loh, ini trennya akan menguat. Inflasi kita rendah, growth bagus, kreditnya bagus. Tapi dari hari ke hari, minggu ke minggu memang faktor sentimen itu akan mempengaruhi gerakannya," tuturnya.