Liputan6.com, Jakarta Ekonom Syarif Hidayatullah Jakarta Fahmi Wibawa menyampaikan perlu adanya aturan pengimbang relaksasi impor yang diterapkan guna lindungi industri pengolahan (manufaktur) dalam negeri.
"Jika pemerintah tidak bersikap imbang dengan mendukung industri manufaktur, dikhawatirkan badai manufaktur akan terjadi dalam waktu singkat di Indonesia. Perlu diketahui, tidak ada negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik dari tingginya impor di negara tersebut,” kata dia dikutip dari Antara, Selasa (25/6/2024).
Menurut dia, relaksasi impor yang diterapkan melalui Permendag 8/2024 dikhawatirkan bisa membuat industri dalam negeri semakin terpuruk karena terbanjiri oleh produk jadi impor. Selain itu dampak lain dari relaksasi perdagangan ini turut meningkatkan nilai impor, sehingga memberikan dampak buruk terhadap nilai tukar Rupiah yang terus menurun.
Baca Juga
Fahmi menilai produk impor tetap dibutuhkan oleh Indonesia, dengan catatan barang yang dibeli merupakan bahan baku atau produk yang memiliki permintaan tinggi namun belum mampu diproduksi oleh industri domestik.
Advertisement
"Artinya dukungan terhadap perdagangan internasional tidak harus dengan membuka pintu tanpa menyaring dengan bijak," katanya.
Lartas
Ia menyampaikan aturan yang menggantikan larangan dan pembatasan (lartas) tersebut dinilai sebagai karpet merah untuk masuknya produk impor barang jadi ke pasar domestik, itu karena enam peraturan yang tertera di antaranya secara eksplisit menyiratkan relaksasi impor.
Lebih lanjut, dirinya merekomendasikan aturan relaksasi perdagangan internasional ini kembali dibahas dengan melibatkan asosiasi industri, serta kamar dagang di Indonesia.
"Sebaiknya kembali direvisi dengan mengikutsertakan asosiasi-asosiasi industri dan kamar dagang, supaya duduk bersama guna mengetahui secara detail aspirasi dari kedua belah pihak. Karena jika kebijakan impor ini terelaksasi sangat luas, efek domino yang terjadi bukan main bahayanya,” katanya.
Industri Tekstil
Sebelumnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan perlu perlakuan khusus bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) agar bisa berdaya saing dengan barang-barang impor.
"Jadi memang treatment impor ini tidak bisa disamaratakan, jadi kalau memang industri seperti TPT ini harus punya satu kebijakan khusus," kata Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani di Jakarta, Kamis (20/6).
Dirinya mengatakan, baik produsen maupun mekanisme daripada importasi mesti dipersiapkan dengan baik. Hal ini supaya pelaku industri TPT dalam negeri mampu bersaing dengan produk barang jadi impor. Selain itu menurut dia, pemerintah juga mesti memastikan bahwa produk yang masuk bukan merupakan barang TPT ilegal.
Advertisement
Industri Tekstil Tak Boleh Dikorbankan Demi Kembangkan Industri Microchip
Sebelumnya, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan salah satu sektor yang mendapat prioritas pengembangan untuk memacu perekonomian nasional. Hal ini tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) dan Making Indonesia 4.0 yang disusun oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
“Jadi, roadmap tersebut juga bertujuan untuk mengembalikan kejayaan industri TPT nasional seperti pada masanya,” kata Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief dalam keterangan tertulis, Jumat (21/6/2024).
Oleh karena itu, Kemenperin telah menjalankan pengembangan lanjut pusat desain dan pusat inovasi teknologi untuk meningkatkan daya saing industri tekstil. Selain itu, meningkatkan kemampuan, kualitas dan efisiensi industri TPT termasuk industri kecil dan industri menengah melalui pelatihan desain dan teknologi proses termasuk untuk mewujudkan industri hijau.
Industri TPT tetap akan menjadi andalan manufaktur untuk penyerapan tenaga kerja terutama tenaga kerja yang high skill mengikuti perkembangan tekologi TPT dunia.
“Tidak ada dalam roadmap Kemenperin (RIPIN, KIN dan Making Indonesia 4.0) yang menyebutkan bahwa industri TPT diarahkan menuju sunset industry. Malah sebaliknya, industri TPT didorong untuk menjadi industri yang kuat dan berdaya saing dengan penerapan teknologi 4.0,” imbuh Febri.
Industri TPT serta industri elektronika dan industri pembuatan microchip merupakan industri yang juga harus terus dikembangkan secara bersama untuk mendukung industri manufaktur nasional. Ketiga industri tersebut memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia terutama industri TPT yang mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi.
Oleh karena itu, majunya salah satu sektor industri tersebut tidak boleh mengorbankan industri yang lainnya. “Jangan sampai industri TPT disubstitusi dengan industri elektronik dan industri pembuatan microchips karena industri tersebut sama-sama penting. Jadi, salah satu jangan ada yang dikorbankan,” tegasnya.
Pengendalian Impor
Febri juga menyoroti bahwa berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, sebenarnya telah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan industri TPT nasional.
“Sejak pemberlakuan Permendag 36/2023, kinerja industri TPT tumbuh bagus. Jadi, jangan pernah berpersepsi bahwa industri TPT tidak bisa rebound atau dianggap sebagai sunset industry,” ujarnya.
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan sektor padat karya dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 3,98 juta tenaga atau memberikan kontribusi sebesar 19,47% terhadap total tenaga kerja di sektor manufaktur pada tahun 2023. Pada triwulan I tahun 2024, industri TPT berkontribusi sebesar 5,84% terhadap PDB sektor manufaktur serta memberikan andil terhadap ekspor nasional sebesar USD11,6 miliar dengan surplus mencapai USD3,2 miliar.
Dampak dari pengendalian impor tersebut terlihat dari turunnya volume impor dibandingkan sebelum pemberlakuan Permendag 36/2023. Impor pakaian jadi yang pada Januari dan Februari 2024 berturut turut sebesar 3,53 ribu ton dan 3,69 ribu ton, turun menjadi 2,20 ribu ton pada bulan Maret 2024 dan 2,67 ribu ton di pada bulan April 2024.
Sementara itu, impor tekstil juga mengalami penurunan, dari semula 193,4 ribu ton dan 153,2 ribu ton pada Januari dan Februari 2024, menjadi 138,2 ribu ton dan 109,1 ribu ton pada Maret dan April 2024.
“Demikian juga jika membandingkan data impor secara year on year (YoY), terjadi penurunan impor pakaian jadi yang sebelumnya sebesar 4,25 ribu ton pada Maret 2023 menjadi 2,2 ribu ton pada Maret 2024,” Menperin menerangkan.
Advertisement