Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengakui implementasi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja membutuhkan waktu. Mengingat ada harapan tinggi yang sebelumnya ditaruh para kalangan pengusaha itu.
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengatakan awalnya pelaku usaha menaruh harapan adanya penyederhanaan dari berbagai regulasi. Salah satunya dengan hadirnya online single submission (OSS).
"Bayangin saja itu berapa banyak regulasi dan perizinan yang di turunkan. Maksudnya begini, harapan tinggi adalah kita datang dari satu sisi yang over banget kemudian dilakukan perbaikan, tentu saja saat implentasi seperti OSS kan tidak mudah," ucap Shinta saat ditemui di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Advertisement
Dia menyadari, implementasi penyederhanaan birokrasi itu ternyata membutuhkan waktu untuk diterapkan secara penuh. Bisa dibilang, pada sisi itu belum bisa diatasi dalam jangka pendek.
"Harapan tinggi mungkin dari awal karena kita begitu ingin menyelesaikan semua masalah, akhirnya kita tahu bahwa ini gakan bisa terselesaikan dalam jangka waktu pendek," ujarnya.
Kendati begitu, Shinta mengapresiasi langkah pemerintah yang mau menyederhanakan peraturan dan proses birokrasi. Itu yang menjadi alasan para pengusaha mengawal pembentukan omnibus law Cipta Kerja sejak awal.
"Omnibus law kita angkat topi karena buat Omnibus law saja diputusin pemerintah luar biasa. Makanya kita dukung dari pertama, karena kita apresiasi sekali, cuman kita katakan bahwa implementasinya butuh waktu. Makanya kita awalnya yang terlalu tinggi harapannya mau semuanya diberesin. Akhirnya tidak bisa terjadi di lapangan," beber Shinta Kamdani.
Â
Barang Impor Rebut Pasar Produk Lokal
Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan barang jadi impor menggerus pasar produk lokal. Padahal, secara persentase, jumlah impor bahan jadi tidak terlalu besar.
Shinta menguraikan, porsi paling besar impor adalah bahan baku dan bahan penolong yang ditaksir mencapai sekitar 75 persen. Sementara itu, impor barang jadi atau bahan jadi hanya sekitar 20 persen.
"Kalau kita lihat trennya ini sekarang yang semua lagi heboh adalah masuknya impor bahan jadi. Bahan jadi itu, itu tuh less than 20 persen, cuma 20 persen, sekarang," kata Shinta dalam Kajian Tengah Tahun INDEF 2024 bertajuk 'Presiden Baru, Persoalan Lama', di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Dia mengungkap tantangannya datang dari harga jual pada produk impor tersebut. Dengan harga yang lebih murah dan kualitas produk yang hampir setara, membuat produk lokal kalah saing di pasar dalam negeri.
"Cuma yang jadi permasalahan itu harganya dan kualitasnya. Jadi harganya jauh lebih murah dan kualitasnya mungkin lebih baik daripada dalam negeri. Jadi bukan kualitas dalam negeri.. sama lah ya, tapi jelas harganya murah," bebernya.
Â
Advertisement
Barang Impor Terlalu Murah
Dia mengatakan, dengan murahnya barang impor itu, banyak pelanggan beralih. Alhasil, semakin banyak produk impor yang masuk ke Indonesia berdasarkan pada permintaan tadi.
Shinta meminta permasalahan ini perlu menjadi perhatian bersama. Utamanya, pada pemerintah selanjutnya di bawah nakhoda Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
"Ini yang sesuatu yang menurut saya perlu diperhatikan karena kalau kita lihat apakah kita siap, mungkin industri dalam negeri ktia siap tapi dia tetap perlu produksi dengan bahan baku dari luar. Kita belum bisa nih sendiri," sebutnya.