Sukses

Melihat Ekonomi AS saat Debat Pertama Pilpres Joe Biden dan Donald Trump

Berikut kondisi ekonomi Amerika Serikat di tengah debat pertama Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan mantan Presiden AS Donald Trump.

Liputan6.com, Jakarta - Kampanye Bill Clinton dinilai benar-benar tepat saat ia melontarkan ungkapan terkenal “it’s the economy, stupid” pada 1992. Hal ini seiring ekonomi secara konsisten berada pada peringkat teratas saat pemilihan presiden (pilpres).

Mengutip CNN, Jumat (28/6/2024), pemilu kali ini bukan sebuah pengecualiaan, dengan hampir 90 persen responden dalam jajak pendapat ABC News pada Mei 2024 menunjukkan ekonomi adalah isu paling penting dalam menentukan siapa yang akan menjadi topik pembicaraan pada debat Kamis malam waktu setempat.

Presiden AS Joe Biden dan mantan Presiden AS Donald Trump memiliki pandangan berlawanan mengenai ekonomi. Keduanya akan menawarkan visi, kebijakan dan catatannya. Berikut sejumlah catatan ekonomi AS saat ini seperti dikutip dari laman CNN.

Pengangguran:

Pengangguran rendah, tetapi masih ada tanda-tanda peringatan pada masa depan. Tingkat pengangguran di Amerika Serikat tetap berada di bawah 4 persen selama 27 bulan yang merupakan rekor terpanjang dan sama dengan periode yang terjadi pada 1960-an. Rentetan penurunan itu terakhir bulan lalu, saat tingkat pengangguran naik menjadi 4 persen dari 3,9 persen.

Pada saat yang sama, jumlah lapangan kerja di Amerika Serikat baru-baru ini turun ke level terendah baru dalam tiga tahun terakhir yang merupakan tanda lain dari melemahnya pasar tenaga kerja. Artinya pencari kerja mungkin akan lebih sulit mendapatkan pekerjaan.

Secara khusus, pasar tenaga kerja bagi lulusan perguruan tinggi telah melemah. Tingkat pengangguran bagi penerima gelar sarjana berusia 20-29 tahun berada di atas 12 persen, meningkat hampir empat persen dari tahun lalu, menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Inflasi: Meningkat, tapi Mendingin

Inflasi melambat lebih dari perkiraan bulan lalu, turun menjadi 3,3 persen dari 3,4 persen pada April. Sebagai perbandingan, tahun lalu 4 persen, dan dua tahun lalu sebesar 9 persen.

Namun, ada alasan mengapa Anda mungkin merasa segala sesuatunya masih sangat mahal. Meski diskon mulai lebih banyak muncul di pengecer besar seperti Target dan Walmart serta raksasa makanan cepat saji yakni McDonald’s dan Wendy’s, pemotongan harga tidak terjadi secara menyeluruh.

Hal ini karena ketika inflasi mereda, berarti laju kenaikan harga melambat. Namun, hal ini tidak berarti harga sebenarnya yang dibayar untuk barang dan jasa lebih rendah dibandingkan tahun lalu.

Perumahan: Masih Tak Terjangkau

Harga rumah berada pada rekor tertinggi dan telah meningkat selama 11 bulan berturut-turut karena kekurangan rumah yang terus berlanjut. Hal ini sebagian disebabkan banyak pemilih rumah yang memiliki hipotek sangat rendah selama pandemi COVID-19 tidak ingin pindah dan berisiko harus membayar tingkat hipotek yang jauh lebih tinggi.

Rata-rata hipotek dengan suku bunga tetap selama 30 tahun baru-baru ini mencapai level tertinggi pada 2024. Meski sudah mulai turun, suku bunga hipotek masih lebih tinggi dibandingkan dekade sebelum 2022.

Tingkat suku bunga hipotek sangat tinggi karena inflasi berada di atas target the Federal Reserve (the Fed) sebesar 2 persen. Akibatnya, bank sentral menunda pemangkasan suku bunga yang sebaliknya akan membuat biaya hipotek menjadi lebih murah.

Sebaliknya, banyak calon pembeli rumah yang menyewa rumah lebih lama dari biasanya, sehingga harga sewa menjadi lebih tinggi.

 

3 dari 5 halaman

IMF Soal Perang Dagang AS-China: Rugikan Ekonomi Global

Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) buka suara terkait ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China, menyusul langkah Presiden Joe Biden menaikkan tarif impor pada kendaraan listrik dan barang lainnya dari China.

Mengutip CNBC International, Senin (20/5/2024) juru bicara IMF Julie Kozack mengatakan, bahwa AS akan lebih terbantu dengan mempertahankan sistem perdagangan terbuka daripada menerapkan bea masuk baru terhadap barang-barang China.

Kozack menilai, pembatasan perdagangan yang diumumkan Biden dapat mendistorsi perdagangan dan investasi, serta memecah rantai pasokan dan memicu tindakan serupa.

"Fragmentasi seperti ini bisa sangat merugikan perekonomian global," ujar Kozack dalam sebuah konferensi pers.

Ia mengungkapkan, IMF mengidentifikasi sekitar 3.000 pembatasan perdagangan global pada tahun 2023, naik dari 1.000 pembatasan pada tahun 2019.

Skenario Terburuk

Dalam skenario terburuk, ada risiko  fragmentasi blok-blok geopolitik sehingga mengurangi output ekonomi global sekitar 7% atau setara dengan menghilangkan PDB sebesar gabungan Jepang dan Jerman.

"Sehubungan dengan tarif, pandangan kami adalah bahwa AS akan lebih terlayani dengan mempertahankan kebijakan perdagangan terbuka yang penting bagi kinerja perekonomiannya," jelas Kozack.

"Kami juga mendorong AS dan China untuk bekerja sama menuju solusi yang mengatasi kekhawatiran mendasar yang memperburuk ketegangan perdagangan antara kedua negara," pungkasnya.

Selain itu, Kozack juga menyebut, Deputi Pertama Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath akan melakukan perjalanan ke Beijing dari 26 hingga 29 Mei mendatang untuk bertemu dengan pejabat pemerintah mengenai tinjauan tahunan Pasal IV IMF mengenai kebijakan ekonomi China.

Kenaikan tarif impor yang diumumkan AS pada China baru-baru ini juga mencakup produk tenaga surya, semikonduktor, hingga pasokan medis.

4 dari 5 halaman

Ekonom: Tarif Impor Barang China Tak Pengaruhi Kebijakan Moneter AS

Ekonom memperkirakan pemberlakukan tarif impor baru oleh Amerika Serikat terhadap barang dari China, akan memiliki dampak jangka pendek yang minim terhadap PDB, inflasi dan kebijakan moneter negara itu.

"Tarif yang diumumkan terhadap China oleh pemerintahan Biden menandakan konflik ekonomi musim dingin yang panjang dan dingin antara AS dan China," kata ekonom Joe Brusuelas di RSM US, dikutip dari CNN Business, Rabu (15/5/2024). 

Kemudian Ryan Sweet, kepala ekonom AS di Oxford Economics, mengatakan bahwa pemberlakukan tarif impor barang China oleh Biden kemungkinan tidak akan mempengaruhi kebijakan moneter.

"Tarif tambahan pada dasarnya adalah kesalahan pembulatan inflasi dan PDB, dan tidak berdampak pada kebijakan moneter," tulis Ryan Sweet dalam sebuah catatan, ketika laporan pertama kali mengindikasikan bahwa perubahan kebijakan tarif AS akan segera dilakukan.

"The Fed tidak akan membuat masalah besar, sehingga tarif tidak akan memberikan amunisi tambahan untuk membenarkan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama," jelasnya.

 

 

5 dari 5 halaman

Tarif Impor Barang China

Sebagai informasi, tarif impor barang China oleh AS kali ini merupakan kelanjutan dari program mantan Presiden Donald Trump senilai USD 300 miliar pada tahun 2018 dan 2019, yang mengenakan tarif besar terhadap China dan berbagai mitra dagang lainnya dan masih berlaku.

Trump sendiri telah membuat janji-janji kampanye untuk menerapkan tarif yang lebih tinggi lagi jika ia terpilih kembali menjadi Presiden AS, tidak hanya untuk China namun juga tarif 10% untuk semua impor, yang menurut para ekonom tidak hanya akan mengakibatkan hilangnya lapangan kerja secara signifikan di AS namun juga memicu inflasi.

Tarif terbaru, yang akan diberlakukan mulai sekarang hingga tahun 2026, dilakukan di tengah pasar kerja AS yang solid, pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan belanja konsumen yang kuat.

"(Dampak) tarif biasanya lebih masuk akal secara politis daripada ekonomi," kata Sweet.

Sebagai informasi, tarif impor barang China oleh AS kali ini merupakan kelanjutan dari program mantan Presiden Donald Trump senilai USD 300 miliar pada tahun 2018 dan 2019, yang mengenakan tarif besar terhadap China dan berbagai mitra dagang lainnya dan masih berlaku.

Trump sendiri telah membuat janji-janji kampanye untuk menerapkan tarif yang lebih tinggi lagi jika ia terpilih kembali menjadi Presiden AS, tidak hanya untuk China namun juga tarif 10% untuk semua impor, yang menurut para ekonom tidak hanya akan mengakibatkan hilangnya lapangan kerja secara signifikan di AS namun juga memicu inflasi.

Tarif terbaru, yang akan diberlakukan mulai sekarang hingga tahun 2026, dilakukan di tengah pasar kerja AS yang solid, pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan belanja konsumen yang kuat.

"(Dampak) tarif biasanya lebih masuk akal secara politis daripada ekonomi," kata Sweet.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini