Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Melchias Markus Mekeng nampak geram kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini lantaran, lembaga keuangan itu dinilai merugikan negara atas tindakan tak menempati gedung yang sudah disewa.
Bukan tanpa alasan, Mekeng mengutip laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Baca Juga
"Saya agak sedih sama OJK pak Ketua, karena saya baru di kasih laporan hasil BPK, tanggal 3 Mei yang menyatakan bahwa OJK itu opininya Wajar Dengan Pengecualian (WDP)," ujar Mekeng, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Ketua Dewan Komisioner OJK, dikutip Jumat (28/6/2024).
Advertisement
Dia mensinyalir, kerugian negara itu diduga atas tindakan OJK yang menyewa gedung dengan nilai sekitar Rp 400 miliar. Namun, kata Mekeng, gedung itu belum ditempati hingga saat ini. "Gedung itu sampai detik ini tidak digunakan," tegas dia.
Dia menyoroti OJK yang memiliki tugas membuat pengaturan, hingga memeriksa industri jasa keuangan. Untuk itu, dia meminta Komisi XI DPR ikut mengambil langkah menghadapi masalah ini.
"Jadi saran saya kita harus tegas karena ini laporan dari BPK sebuah lembaga resmi negara bahwa OJK itu WDP. Kalau sekarang tidak diselesaikan," ucapnya.
Mekeng meminta OJK untuk menindaklanjuti laporan BPK tersebut. Dia berharap persoalan ini bisa rampung tahun ini.
"Jadi hemat saya pimpinan, komisi XI harus mengambil kangkah yang tegas terhadap masalah ini supaya tahun depan tidak jadi disclaimer, kalau disclaimer ktia juga bertanggung jawab ini, karena kita membiarkan ini," katanya.
OJK Target Kantongi Iuran Rp 16,6 Triliun pada 2025
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) targetkan mengantongi pungutan dari industri keuangan pada 2025 sebesar Rp 8,52 triliun. Jumlah itu lebih besar dibanding target 2024 senilai Rp 8,07 triliun.
Namun, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara mengatakan, pihak otoritas pada 2025 akan mendapat dobel penerimaan lantaran digabung dengan pungutan 2024, untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi, dan pengadaan aset.
"Untuk 2025, OJK memiliki dua sumber penerimaan, yaitu dari iuran yang diterima tahun 2024 digunakan di 2025," ujar Mirza dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (26/6/2024).
Adapun hasil pungutan 2024 yang akan digunakan untuk membiayai program 2025 ini merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Namun, Mirza menekankan, penerimaan dobel ini hanya akan berlaku untuk 2025 dan kembali normal di tahun berikutnya.
"Dengan adanya UU P2SK, maka iuran yang diterima di 2025 itu juga digunakan di 2025. Jadi khusus untuk tahun 2025, dan hanya untuk tahun 2025, OJK miliki dua sumber penerimaan, yaitu dari iuran tahun 2024 dan dari iuran 2025," terang dia.
Advertisement
Kegiatan Operasional OJK
"Iuran dari 2025 itu diterima Rp 8,075 triliun, dan dari 2025 diproyeksikan diterima Rp 8,52 triliun. Sehingga untuk RKA tahun 2025 total penerimaan OJK adalah Rp 16,6 triliun," Mirza menambahkan.
Mirza menyampaikan, kegiatan operasional OJK pada 2035 terbagi dalam sembilan bidang. Antara lain, pengawasan sektor perbankan dengan anggaran sebesar Rp 1,75 triliun, pengawasan sektor pasar modal hingga bursa karbon dengan anggaran Rp 983 miliar.
Selanjutnya, pengawasan sektor perasuransian senilai Rp 589 miliar, pengawasan sektor lembaga pembiayaan Rp 445 miliar, pengawasan sektor inovasi teknologi Rp 145 miliar, kegiatan pengawasan perilaku pelaku usaha jasa keuangan Rp 501 miliar, audit internal dan manajemen risiko Rp 249 miliar.
Lalu, kegiatan terkait kebijakan strategis dengan anggaran Rp 2,3 triliun, dan manajemen strategis termasuk pengadilan infrastruktur logistik OJK dan PPh badan Rp 6,2 triliun. "Jadi total pengeluaran dalam RKA 2025 sebesar Rp 13,2 triliun," pungkas Mirza.