Sukses

Debat Capres AS 2024, Ini Catatan Ekonomi saat Pemerintahan Joe Biden dan Donald Trump

Jajak pendapat ABC News pada bulan lalu menunjukkan 46 persen responden percaya terhadap mantan Presiden AS Donald Trump soal ekonomi dibandingkan Joe Biden hanya 32 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Debat pertama Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan mantan Presiden AS Donald Trum pada kampanye 2024 telah memfokuskan kembali perhatian pada catatan ekonomi saat menjabat.

Mengutip Al Jazeera, Jumat (28/6/2024), pada pertemuan Kamis, 27 Juni 2024, para kandidat berselisih mengenai ekonomi. Joe Biden yang mendapatkan pujian seiring pemulihan dari pandemi COVID-19. Donald Trump klaim telah memimpin ekonomi terbesar dalam sejarah AS.

Baik Joe Biden dan Donald Trump menunjukkan kinerja yang kuat di bidang ekonomi tertentu. Akan tetapi, jajak pendapat secara konsisten menunjukkan pemilih lebih percaya pada kemampuan Partai Republik dalam menangani masalah ekonomi dan biaya hidup.

Dalam jajak pendapat ABC News/Ipsos yang dirilis bulan lalu, 46 persen responden mengatakan percaya kepada Trump dalam hal ekonomi dibandingkan Biden yang peroleh 32 persen.

Dalam hal inflasi, Donald Trump lebih diunggulkan dibandingkan Demokrat dengan persentase 30 persen. Jajak pendapat juga menunjukkan sebagian besar masyarakat Amerika Serikat memandang ekonomi sebagai prioritas yang berarti harapan terpilihnya kembali Biden kemungkinan besar akan tetap ada dan tidak tergantung pada kemampuannya untuk menyampaikan pesan ekonomi yang positif.

Berikut catatan ekonomi Trump dan Biden dalam empat bidang utama:

Pertumbuhan Ekonomi

Baik pemerintahan Biden dan Trump mencatat pertumbuhan yang kuat. Sejak pelantikan Biden, Produk Domestik Bruto (PDB) AS naik 8,4 persen jika disesuaikan dengan inflasi.

Di bawah kepemimpinan Trump, PDB tumbuh 6,8 persen, tetapi hal itu termasuk penurunan aktivitas ekonomi yang terjadi pada tahun pertama pandemi COVID-19.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Inflasi AS

Masa jabatan Joe Biden ditandai dengan inflasi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Donald Trump meski banyak faktor yang mendorong harga tinggi seperti gangguan rantai pasokan terkait COVID-19 yang berada di luar kendalinya.

Sejak Joe Biden menjabat, harga-harga telah naik lebih dari 19 persen.

Pekerjaan

Joe Biden dan Donald Trump sama-sama klaim telah memimpin pasar tenaga kerja yang kuat. Pengangguran turun ke level terendah dalam 53 tahun terakhir sebesar 3,4 persen pada Januari tahun lalu dan tetap berada di bawah 4 persen selama satu bulan sejak saat itu.

Tidak termasuk 2020, Trump juga mencatat periode pengangguran yang rendah dengan tingkat pengangguran mencapai titik terendah 3,5 persen pada akhir 2019.

Di bawah kepemimpinan Biden, ekonomi telah menambah sekitar 15,7 juta lapangan kerja. Sebaliknya, Donald Trump meninggalkan jabatannya dengan berkurangnya tiga juta pekerjaan, meski angka itu tidak dipengaruhi oleh pandemi COVID-19.

Namun, bahkan sebelum pandemi COVID-19 terjadi, penciptaan lapangan kerja tumbuh lebih lambat pada masa pemerintahan Trump dibandingkan pada masa pemerintahan Biden.

3 dari 5 halaman

Gaji di AS

Biden dan Trump meski sama-sama memimpin pertumbuhan upah yang solid di atas kertas, pekerja AS telah mengalami penurunan pendapatan secara riil di bawah kepemimpinan Biden karena inflasi.

Sedangkan di bawah pemerintahan Donald Trump, pertumbuhan upah tetap berada di atas inflasi sehingga hasilkan sedikit peningkatan pendapatan pekerja.

Sejak Maret 2021, harga konsumen mulai menyimpang dari pendapatan, sebelum tren mulai berbalik arah pada awal 2023.

Hasilnya adalah upah mingguan rata-rata riil turun 2,14 persen antara awal masa jabatan Biden, dan kuartal pertama 2024, menurut analisis FactCheck.org yang mengutip data Biro Statistik Tenaga Kerja AS.

Kabar positif bagi para pekerja AS adalah upah mulai meningkat lagi.

Pada Mei, upah riil naik 0,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun upah riil belum pulih ke level pada awal masa jabatan Biden.

"Meskipun pertumbuhan upah riil telah berubah sedikit positif dalam beberapa bulan terakhir, tingkat upah riil masih di bawah tingkat upah riil saat awal lonjakan inflasi yang mulai kita lihat pada kuartal pertama tahun 2021,” Federal Reserve Bank of Atlanta dalam sebuah analisis pada Kamis.

“Sederhananya, upah riil belum sepenuhnya mampu mengimbangi lonjakan inflasi yang tiba-tiba,”

 

4 dari 5 halaman

IMF Soal Perang Dagang AS-China: Rugikan Ekonomi Global

Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) buka suara terkait ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China, menyusul langkah Presiden Joe Biden menaikkan tarif impor pada kendaraan listrik dan barang lainnya dari China.

Mengutip CNBC International, Senin (20/5/2024) juru bicara IMF Julie Kozack mengatakan, bahwa AS akan lebih terbantu dengan mempertahankan sistem perdagangan terbuka daripada menerapkan bea masuk baru terhadap barang-barang China.

Kozack menilai, pembatasan perdagangan yang diumumkan Biden dapat mendistorsi perdagangan dan investasi, serta memecah rantai pasokan dan memicu tindakan serupa.

"Fragmentasi seperti ini bisa sangat merugikan perekonomian global," ujar Kozack dalam sebuah konferensi pers.

Ia mengungkapkan, IMF mengidentifikasi sekitar 3.000 pembatasan perdagangan global pada tahun 2023, naik dari 1.000 pembatasan pada 2019.

5 dari 5 halaman

Skenario Terburuk

Dalam skenario terburuk, ada risiko  fragmentasi blok-blok geopolitik sehingga mengurangi output ekonomi global sekitar 7% atau setara dengan menghilangkan PDB sebesar gabungan Jepang dan Jerman.

"Sehubungan dengan tarif, pandangan kami adalah bahwa AS akan lebih terlayani dengan mempertahankan kebijakan perdagangan terbuka yang penting bagi kinerja perekonomiannya," jelas Kozack.

"Kami juga mendorong AS dan China untuk bekerja sama menuju solusi yang mengatasi kekhawatiran mendasar yang memperburuk ketegangan perdagangan antara kedua negara," pungkasnya.

Selain itu, Kozack juga menyebut, Deputi Pertama Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath akan melakukan perjalanan ke Beijing dari 26 hingga 29 Mei mendatang untuk bertemu dengan pejabat pemerintah mengenai tinjauan tahunan Pasal IV IMF mengenai kebijakan ekonomi China.

Kenaikan tarif impor yang diumumkan AS pada China baru-baru ini juga mencakup produk tenaga surya, semikonduktor, hingga pasokan medis.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini