Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari 1.000 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan yang bekerja di Kesekjenan terlibat praktik judi online. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana.
"Ada lebih dari 1.000 orang itu DPR, DPRD, sama Sekretariat Kesekjenan ada. Lalu transaksi yang kami potret itu lebih dari 63.000 transaksi yang dilakukan oleh mereka-mereka itu, dan angka rupiahnya hampir Rp 25 miliar," ungkap Ivan dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen di Jakarta, dikutip Jumat (28/6/2024),
Baca Juga
Melihat maraknya fenomena judi online yang menjadi keresahan masyarakat luas, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti,Trubus Rahadiansyah menilai bahwa pengawasan terhadap praktik judi online belum cukup ketat.
Advertisement
Ia juga menyebut, belum ada kebijakan spesifik untuk menertibkan praktik judi online yang dapat membuat pelaku mempertimbangkan tindakannya.
"Tetapi Pemerintah sendiri belum mengeluarkan suatu kebijakan/regulasi terkait judi online ini. (Perlakuan) terhadap korban dan pelaku tidak ada, penegakan hukumnya juga masih lemah," kata Trubus kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (28/6/2024).
Dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan dari judi online, Trubus mengajak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk segera mengambil tindakan, salah satunya dengan pengawasan konten di internet.
Ia pun berharap Kominfo bisa bekerja sama dengan Polri dan penegak hukum di seluruh negeri untuk menindak tegas pelaku/penyedia praktik judi online.
"Jadi tidak hanya pemblokiran yang selama ini dilakukan, tetapi kontennya juga harus diawasi. Perlu ada kolaborasi sinergitas antara kominfo, POLRI, kepolisian, jaksa agungm sehingga bisa tegas ketika dilaporkan dan diproses," pungkasnya.
Â
Edukasi
Selain itu, Trubus juga merekomendasikan diperluasnya edukasi pada masyarakat terkait bahaya dan risiko dari judi online. Misal, di tingkat RT RW, ke masyarakat, tokoh agama, kemudian organisasi/ormas keagaman.
"Kemudian membuat channel aduan. Jadi misalnya ada seseorang menerima uang transfer bansos tapi uangnya kemudian dipakai untuk judi online," tambahnya.
Senada, Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Lisman Manurung mengakui bahwa pemberantasan praktik judi online bukan hal yang mudah.
"Namun demikian mitigasi atau menekan jumlah orang terlibat, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama edukasi kepada publik apa itu judi online," jelasnya dalam keterangan terpisah pada Jumat (28/6).
Selanjutnya, masyarakat juga dapat memanfaatkan media sosial untuk mendapat informasi lebih banyak terkait bahaya judi online.
"Para pemuka agama perlu di-briefing untuk melengkapi pemahaman bagaimana praktek judi online itu," lanjut Lisman.
"Kedua, penyuluhan dan insentif bagi warga yang jauhi judi online. Penyuluhan di sekolah sekolah, dilakukan secara massif," bebernya.
Â
Advertisement
Layanan Konseling
Selain pemberian bantuan sosial, menurut Lisman, pemerintah juga bisa mempertimbangkan bantuan lain kepada korban judi online. Salah satunya, dengan layanan konseling untuk pemulihan.
"Bisa saja dibuat kategori baru untuk penerima bantuan/hibah, misalnya kompensasi pemulihan dari kecanduan judi. Bisa juga Kemensos mendorong LSM dan yayasan-yayasan keagamaan untuk terlibat dalam pemulihan dari kecanduan judi," katanya.