Sukses

OJK Gandeng Australia Susun Manajemen Risiko Iklim Perbankan

kerjasama OJK dengan Australia ini diharapkan dapat mendukung pengembangan kebijakan terkait risiko iklim di sektor perbankan ke depan untuk mengatasi tantangan dalam pengembangan risiko iklim.

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Kedutaan Australia dan Prospera (Australia Indonesia Partnership for Economic Development) meningkatkan kemitraan untuk memperkuat climate risk management bagi industri perbankan di Indonesia sebagai tindak lanjut penerbitan Panduan Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS) pada Maret 2024 lalu.

Penguatan kerja sama ini disambut dalam kegiatan Kick-Off Ceremony: OJK – Prospera – Moody’s Cooperation on Climate Risk Management Policy Development for Indonesian Banking Sector yang dilaksanakan secara hybrid di Jakarta.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan, kemitraan yang telah terjalin akan memperkuat hubungan antara Australia dan Indonesia dalam menghadapi tantangan dan peluang risiko iklim di masa depan.

"Kami berharap kolaborasi ini akan memberikan hasil yang penting, sehingga perbankan akan dilengkapi dengan panduan dan data yang lebih baik mengenai Climate Risk Management, sementara Indonesia akan mampu melakukan penilaian dampak iklim secara bank-wide dan mengembangkan kerangka peraturan untuk menilai risiko iklim," kata Dian dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (29/6/2024).

OJK mengungkapkan, kerja sama ini akan berlangsung selama dua tahun. Kemitraan tersebut meliputi 6 cakupan utama antara lain sebagai berikut:

  1. Pengembangan panduan manajemen risiko iklim dengan data yang lebih rinci.
  2. Pengembangan skenario climate risk stress test untuk Indonesia berdasarkan Skenario Network for Greening the Financial System (NGFS) terbaru.
  3. Pengembangan metodologi perhitungan dampak risiko iklim terhadap kinerja debitur bank baik untuk perusahaan besar maupun UMKM, serta dampak terhadap kinerja keuangan bank (bottom-up stress test)
  4. Pengembangan data proyeksi risiko fisik maupun risiko transisi yang sesuai dengan kondisi di Indonesia hingga tahun 2100.
  5. Perhitungan dampak risiko iklim terhadap kinerja industri perbankan dari sisi regulator (Climate Impact Assesment for Banking Industry Wide).
  6. Penyelenggaraan capacity building untuk OJK dan Bank terkait pengembangan manajemen Risiko Iklim.
2 dari 3 halaman

Dukung Kebijakan Risiko Iklim

OJK lebih lanjut mengatakan, outcome atas kerjasama tersebut diharapkan dapat mendukung pengembangan kebijakan terkait risiko iklim di sektor perbankan ke depan untuk mengatasi tantangan dalam pengembangan risiko iklim.

Hal itu antara lain mencakup keterbatasan data emisi dan data bencana serta kapasitas dan expertise dalam membangun metodologi perhitungan dampak risiko iklim. 

Selain itu, kerjasama ini diharapkan dapat mendukung perbankan untuk dapat mengembangkan, mengukur dan memitigasi dampak iklim, yang pada akhirnya diharapkan akan mendukung arah kebijakan transisi menuju Net Zero Emissions, tutup OJK.

3 dari 3 halaman

Perubahan Iklim Jadi Ancaman Terbesar Stabilitas Keuangan

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae melihat perubahan iklim menjadi isu yang penting diperhatikan tak hanya berdampak ke lingkungan hidup, tetapi juga pada sektor keuangan, perekonomian, dan masyarakat luas.

"Perubahan iklim merupakan ancaman paling besar terhadap stabilitas keuangan. Oeh karena itu penting untuk menilai kerentanan terhadap perubahan iklim di sektor perbankan," kata Dian dalam kegiatan OJK-Prospery-Moody's Cooperation of Climate Risk Management Policy Development for Indonesia Banking Sector yang disiarkan pada Jumat (28/6/2024).

Hal itu juga mengingat letak geografis Indonesia yang secara risiko fisik menduduki peringkat kedua negara yang paling terpapar di dunia. Adapun dari segi emisi karbon, Indonesia menduduki peringkat kelima negara penghasil emisi tertinggi dengan proporsi 2,3 persen.

"Sementara itu, dari sisi portofolio perbankan, kami juga menyadari bahwa alokasi kredit pada sektor yang memiliki intensitas karbon tinggi cukup besar. Terhitung sekitar 40% dari total kredit di industri perbankan (terkait)," beber Dian.

Ia menambahkan, uji tekanan risiko iklim yang dilakukan di Indonesia menunjukkan kerugian sektor perbankan akan lebih tinggi jika terjadi skenario transisi yang tidak teratur.

"Temuan ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan tindakan proaktif, tata kelola, dan kerangka manajemen risiko yang kuat di perbankan Indonesia untuk memitigasi potensi dampak risiko keuangan terkait iklim, juga memastikan keselarasan dengan kebijakan global yang memperbarui praktik terbaik industri, dan tuntutan dari pemangku kepentingan," imbuhnya.