Liputan6.com, Jakarta - Indonesia terus berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca, salah satunya dari sektor energi, melalui pengembangan energi terbarukan, implementasi konservasi energi, maupun penerapan teknologi bersih.
Salah satu upaya yang ditempuh dalam penerapan teknologi bersih adalah pengembangan dan pemanfaatan Carbon Capture and Storage dan Carbon Capture Utilisation and Storage (CCS/CCUS).
Baca Juga
"Saat ini, Indonesia memiliki total sekitar 15 proyek potensial CCS/CCUS dengan target onstream tahun 2026 - 2030. Dua cekungan yang sedang didorong Pemerintah untuk dijadikan CCS Hub di wilayah Asia Timur dan Australia yaitu cekungan Sunda Asri dan cekungan Bintuni," ujar Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Ariana Soemanto saat Oil and Gas Session pada pertemuan Indonesia - Norway Bilateral Energy Consultation (INBEC) di Hotel Pullman Jakarta, Senin, 1 Juli 2024, seperti dikutip dari keterangan resmi, Selasa (2/7/2024).
Advertisement
Indonesia dikenal memiliki cekungan sedimen terbesar di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki potensi sumber daya penyimpanan karbon di 20 cekungan dengan kapasitas 573 Giga ton Saline Aquifer dan 4,8 Giga Ton depleted oil and gas reservoir yang tersebar di berbagai wilayah di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Ariana juga menjelaskan skema CCS di Indonesia dibagi menjadi dua pilihan. Pilihan pertama adalah penyelenggaraan CCS berdasarkan Kontrak Kerja Sama Migas, rencana kegiatan CCS dapat diusulkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama dalam POD I maupun POD lanjutan atau revisinya.
Kedua, CCS dapat dikembangkan sebagai usaha tersendiri, melalui Izin Eksplorasi Zona Target Injeksi dan Izin Operasi Penyimpanan Karbon.
Untuk mendukung pengembangan CCS/CCUS, Pemerintah juga telah mengimplementasikan berbagai kebijakan, antara lain pembentukan CCS/CCUS National Centre of Excellence bersama dengan lembaga penelitian dan universitas, memperkuat kerja sama internasional di bidang CCS/CCUS, serta menyusun regulasi dan kebijakan turunan.
"Saat ini, telah terbit Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 tahun 2023 dan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 14 tahun 2024 yang menjadi landasan hukum kuat untuk pengembangan dan penerapan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) di Indonesia," ujar Ariana.Â
Â
Apa Dampak Emisi Gas Rumah Kaca?
Mengutip laman environment-indonesia.com, jejak karbon adalah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia antara lain produksi energi, transportasi, dan industri. Emisi gas rumah kaca ini menjadi salah satu penyebab utama perubahan iklim dan pemanasan global.
Perubahan iklim akibat pemanasan global telah menjadi perhatian utama seluruh negara saat ini yang membutuhkan langkah konkret untuk menjaga dan merawat bumi. Banyak faktor yang membuat krisis perubahan iklim, salah satunya akibat jejak karbon.
Efek Emisi Gas Rumah Kaca pada Perubahan Iklim
Emisi gas rumah kaca seperti karbondioksida, metana dan nitrogen oksida menyebabkan efek rumah kaca dan pemasan global, sehingga memicu peningkatan suhu global, pencairan es dan perubahan pola cuaca yang ekstrem.
Â
Advertisement
Apa Faktor Utama yang Memicu Terjadinya Efek Rumah Kaca?
Mengutip laman dlh.slemankab.go.id, faktor utama yang memicu terjadinya efek rumah kaca adalah meningkatnya konsentrasi karbondioksida dan gas-gas lain di atmosfer. Peningkatan karbondioksida di bumi disebabkan oleh banyaknya pembakaran bahan bakar minyak dan bahan sejenisnya.
Energi yang diserap ke bumi kemudian dipantulkan lagi dalam bentuk radiasi inframerah. Akan tetapi sebagian besar zat inframerah yang dipantulkan oleh permukaan bumi tertahan oleh awan. Selain itu juga tertahan oleh zat-zat yang mengandung karbondioksida (CO2). dan kembali lagi ke permukaan bumi.
Sri Mulyani: Butuh Rp 4.200 Triliun Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah memiliki komitmen kuat guna menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), yang dibuktikan dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC).
"Indonesia belum lama ini juga telah menyerahkan Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC). Penyerahan NDC tersebut dalam rangka untuk menetapkan komitmen yang telah dicanangkan oleh setiap negara guna mengurangi emisi CO2, dan dalam Paris agreement ini juga telah dituangkan," kata Menkeu dalam Southeast Asia Development Symposium (SEADS) 2023: Imaging a Net Zero ASEAN, di Bali, Kamis (30/3/2023).
Menurut Menkeu, dampak perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama. Sebagai negara yang tergolong rawan terhadap ancaman perubahan iklim, Indonesia meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2016 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan 2020-2024.
Di dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan, dengan penurunan sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Kemudian, target tersebut ditingkatkan menjadi 31,8 persen dengan upaya sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional.
Pembiayaan Iklim
Namun, sebagaimana yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), untuk mencapai komitmen tersebut, pembiayaan menjadi instrumen yang sangat penting. Adapun berdasarkan estimasi, total pembiayaan iklim yang dibutuhkan dalam E-NDC mencapai Rp 4.200 triliun.
"Tidak bisa ada komitmen tanpa ada sumber daya pendukungnya, dan berdasarkan estimasi yang berdasarkan total pembiayaan iklim yang dibutuhkan E-NDC mencapai Rp 4.200 triliun, mungkin kalau saya sebut dalam rupiah yaitu sekitar USD 281 miliar hingga 2030," kata Sri Mulyani.
Â
Â
Advertisement