Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) merasa dirugikan dengan adanya pasal terkait jarak penjualan rokok sejauh 200 meter dari instansi pendidikan.
Baca Juga
Sekretaris Jenderal APPSI, Mujiburrohman, mengatakan bahwa aturan zonasi penjualan rokok mustahil untuk diimplementasikan dan cenderung mendiskriminasi para pedagang pada wilayah tertentu, mengingat banyaknya para pedagang kecil di Indonesia.
Advertisement
“Kalau dari sisi pedagang, jelas aturan zonasi penjualan rokok itu sangat merugikan karena di Indonesia ini kan lembaga pendidikannya banyak yang berdekatan. Nah pedagang yang dekat dengan lembaga pendidikan pasti akan turun omzetnya,” kata Mujiburrohman, Rabu (3/7/2024).
Dia menjelaskan selama ini produk rokok telah memberikan kontribusi besar bagi pendapatan pedagang kecil. Oleh karena itu, dia menyesalkan sikap pemerintah yang tidak menyertakan para pedagang kecil sebagai pihak terdampak.
“Jadi, para pedagang ini ya jelas keberatan karena produk rokok sendiri telah menjadi penjualan utama kami dan sekitar 50 persenan omzet pedagang di pinggiran jalan itu berasal dari rokok dan mirisnya kami belum dapat dan tidak tahu pasti seperti apa,” tambahnya.
Selain itu, Mujiburrohman mempertanyakan urgensi aturan zonasi. Dia berpendapat aturan-aturan semacam itu hanya akan memperparah keadaan saat ini dan akan menyasar jauh dari tujuan utama untuk membatasi konsumsi rokok. Baginya, aturan tersebut hanya akan merugikan para pedagang dan rakyat kecil.
“Aturan ini justru terlihat seakan-akan pemerintah tidak ingin ada penjualan rokok sama sekali dan terkesan mengorbankan pedagang kecil,” tegas Mujiburrohman.
Peritel Berpotensi Rugi Rp 20 Triliun Imbas Ketentuan Ini
Sebelumnya, Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) tegas menolak pasal tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan atau RPP Kesehatan. Lantaran, aturan pelaksana dari Undang-Undang (UU) tentang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 ini dinilai berpotensi mengancam keberlangsungan usaha ritel.
Ketua Dewan Penasihat Hippindo Tutum Rahanta mengutarakan, sebagai salah satu komoditas yang diperjualbelikan di ritel, produk tembakau semisal rokok menyumbang angka pendapatan usaha yang besar. Sehingga aturan ini dipastikan akan merugikan usaha.
Pada 2023, estimasi total nilai penjualan produk tembakau nasional pada ritel modern mencapai Rp 40 triliun. Itu berpotensi hilang hingga Rp 20 triliun lebih akibat aturan tersebut gara-gara rokok dilarang diperjualbelikan di area tertentu dekat sekolah.
"Jika aturan ini disahkan, maka diperkirakan lebih dari setengah jumlah pendapatan tersebut akan lenyap. Hal ini karena terdapat ratusan ribu ritel modern yang akan terdampak dari aturan tembakau di RPP Kesehatan, khususnya dari rencana larangan penjualan rokok dengan zonasi 200 meter dari tempat pendidikan dan tempat bermain anak," kata Tutum, Rabu (3/7/2024).
Tutum lantas menyayangkan adanya polemik aturan tembakau di RPP Kesehatan yang saat ini masih jadi perdebatan. Padahal, aturan produk tembakau yang saat ini berlaku dinilai sudah baik dari sisi peraturan dan implementasinya. Pelaku usaha juga sudah menaati aturan penjualan produk tembakau sesuai ketentuannya.
"Aturan yang berlaku saat ini untuk tata cara penjualan rokok itu sudah komprehensif. Dengan memperketat aturan tembakau di RPP Kesehatan, seperti aturan zonasi 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain anak, ini akan menjadi sangat bias dan menimbulkan ketidakpastian di lapangan," tegasnya.
Advertisement
Bakal Ganggu Usaha
Selain itu, Tutum juga melihat aturan penjualan produk tembakau yang tercantum di RPP Kesehatan akan mengusik keberlangsungan usaha dan aturan yang sebelumnya sudah berlaku.
"(Penjualan) kalau diganggu pasti akan berdampak terhadap timbulnya kesempatan lain. Saya kira nanti (akan) timbul (penjualan produk tembakau) di pasar gelap dan membludak. Sehingga pemerintah nanti akan sulit untuk mengontrol peredarannya," imbuhnya.
Fenomena ini menegaskan aturan zonasi 200 meter untuk penjualan produk tembakau belum tentu dapat dikontrol dampaknya di lapangan dan akan menimbulkan ketidakpastian usaha. Oleh karena itu, Tutum menegaskan, jangan sampai ada aturan baru bagi produk tembakau yang menganggu penjualan peritel.
"Selama barang yang dijual (adalah produk) legal, maka sebaiknya diatur saja, tapi jangan sampai ganggu proses penjualannya di lapangan. Sekali lagi, implementasi (dari aturan tembakau di RPP Kesehatan) itu akan berpotensi menimbulkan perdebatan dan ketidakpastian," ungkapnya.