Sukses

Tanpa Bayar Utang, Ekonom Sebut Pemerintah Masih Nombok Belanja

Direktur Program INDEF, Eisha M. Rachbini menuturkan, pendapatan Indonesia masih belum cukup untuk biayai belanja negara di luar utang.

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Developmen of Economic and Finance (INDEF) menyoroti tingkat besaran utang jatuh tempo yang menjadi beban pemerintahan perdana Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ternyata, besaran belanja pemerintah masih lebih besar ketimbang pendapatan meski tanpa pembayaran bunga utang.

Direktur Program INDEF, Eisha M. Rachbini mengatakan, pemerintah ke depan menjadi gali lubang-tutup lubang dalam persoalan utang ini. Lantaran, seluruh belanja pemerintah memerlukan utang baru.

"Sebenarnya kita punya utang yang harus dibayar ketika jatuh tempo, lalu ketika kita bayar tapi kita juga masih defisit. Kita harus bayar lagi, ke depan penerimaan kita belum sanggup untuk membayar belanja kita. Jadi utang yang lama kita bayar, kemudian kita memunculkan utang yang baru lagi," ungkap Eisha dalam Diskusi Publik Indef, di Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Dia mengantongi data, anggaran pemerintah ternyata masih defisit meski dihitung tanpa pembayaran bunga utang. Ini terlihat dari besaran keseimbangan primer dari tahun ke tahun.

"Kalau kita lihat data keseimbangan primer, bahwa di luar pembayaran bunga utang pun kita masih defisit. Jadi ini yang kira-kira perlu ini ya, bahwa pendapatan kita masih belum cukup untuk membiayai belanja-belanja negara kita di luar utang tersebut," bebernya.

Terlihat, dalam 3 tahun terakhir memang tercatat adanya penurunan besaran defisit keseimbangan primer. Namun, pada 2022-2024 angkanya berada di bawah Rp 100 triliun.

Eisha juga mencatat, pada periode yang sama tadi, pembayaran bunga utang masih lebih besar dari alokasi belanja lainnya. Pada 2022, 16,9 persen APBN digunakan untuk bunga utang, lalu 2023 19 persen untuk bunga utang, serta 2024 sebesar 20,3 persen untuk membayar bunga utang.

"Ini yang saya katakan keberlanjutan fiskal kita ke depan yang harus sebenarnya dilihat generasi mendatang jangan sampai diwarisi utang yang lebih besar lagi. Dan ini akan berdampak pada pertumbuhan kita atau daya saing ke depan itu generasi mendatang," bebernya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pembiayaan Utang Pemerintah Turun Padahal Belanja Naik, Kok Bisa?

Sebelumnya, Pemerintah telah mencairkan utang baru Rp 132,2 trilun dari Januari hingga Mei 2024. Nilai utang ini turun 12,2 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu atau secara year on year (yoy).

"Kalau kita lihat sampai dengan Mei (2024) pembiayaan utang kita Rp 132,2 triliun. ini turun 12,2 persen," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual APBN Kita Juni 2024 di Jakarta, Kamis (27/6/2024).

Penurunan pencairan utang ini disebabkan penggunaan sumber dari saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya. Meskipun, penerimaan pajak mengalami penurunan yang menyebabkan defisit APBN sebesar Rp 21,8 triliun per Mei 2024.

"Tentu teman-teman bertanya kok bisa pembiayaan utang turun pada saat penerimaan negara turun, padahal belanjanya naik. karena kita juga menggunakan sumber yang berasal dari SAL tahun sebelumnya," ujarnya.

 

3 dari 4 halaman

Kelola Kebijakan Fiskal

Bendahara negara ini mengatakan penurunan nilai penarikan utang ini buah dari keberhasilan pemerintah dalam mengelola kebijakan fiskal. Dia memastikan pemerintah akan tetap mengelola utang secara berhati-hati.

"ini tidak terlepas dari pengelolaan fiskal yang extremely hati-hati dari semenjak terjadinya pandemi, dan tentu pada saat terjadinya recovery kita terus menjaga dan mengantisipasi akan normalisasi seperti ini, dan ini sekarang terjadi," bebernya.

Sri Mulyani mencatat, realisasi pembiayaan SBN mencapai Rp 141,6 triliun atau turun 2 persen secara yoy dibandingkan Mei 2023 sebesar Rp 144,5 triliun. Sementara pembiayaan non-utang naik 49,2 persen menjadi Rp 47,6 triliun per Mei 2024 dibandingkan Mei 2023 senilai Rp 31,9 triliun.

"Jadi, kalau kita lihat realisasi pembiayaan 31 mei mencapai Rp84,6 triliun itu turun 28,7 persen pada saat APBN mengalami tekanan penerimaan, belanja naik, dan guncangan global yang luar biasa. Ini adalah suatu langkah yg disebut manajemen fiskal secara sangat prudent dan antisipatif," pungkasnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

 

4 dari 4 halaman

APBN Surplus, Pemerintah Kok Masih Tarik Utang Rp 104,7 Triliun

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencatat, realisasi pembiayaan utang mencapai 104,7 triliun per Maret 2024. Meskipun, APBN masih mencatatkan surplus hingga Maret 2024.

"Walaupun tadi APBN kita masih surplus, namun untuk pengelolaan pembiayaan termasuk issuance (penerbitan) dari surat berharga negara kita itu adalah berdasarkan strategi 1 tahun. kita lihat untuk pembiayaan terealisasi Rp104,7 triliun," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Jumat (26/4).

Sri Mulyani menyebut, penarikan utang tersebut turun lebih dari 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Saat itu, penarikan utang pemerintah mencapai Rp225,4 triliun pada periode yang sama tahun lalu, mencapai Rp225,4 triliun. 

"Ini nilainya jauh lebih rendah dari tahun lalu atau turun drastis 53,6 persen dibanding pembiayaan utang tahun lalu yang mencapai Rp225,4 triliun," ujarnya.

Secara rinci, realisasi penarikan utang berasal dari surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 104 triliun. Di susul penarikan utang yang diperoleh dari pinjaman nilainya mencapai Rp 600 miliar.

Penarikan Utang

Sri Mulyani menyebut, turunnya penarikan utang ini disebabkan oleh sejumlah hal yang menjadi pertimbangan pemerintah. Yakni, tren pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS hingga tren kebijakan suku bunga tinggi oleh bank sentral AS maupun Eropa.

"Ini semuanya akan terus kita waspadai dan akan menentukan arah dari pembiayaan kita," bebernya.

Dia memastikan pemerintah akan tetap berhati-hati dalam melakukan penarikan utang baru. Antara lain dengan memperhatikan situasi terkini perkembangan perekonomian global.

"Di dalam startegi pembiayaan kita akan tetap mengelola secara prudent, hati-hati, dan kita melakukan strategi yang cukup pragmatis dan oportunis, supaya kita bisa memilih timing yang pas," ucapnya.

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.