Sukses

Energi Terbarukan Setrum Smelter Nikel Merah Putih di Kolaka

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) Arifin Tasrif menuturkan, climate change menuntut untuk mereduksi semua emisi karbon. PLN pun telah sediakan energi bersih.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) Arifin Tasrif resmi meluncurkan soft energize (pemberian tegangan listrik) ke smelter nikel Merah Putih milik PT Ceria Nugraha Indotama di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Tegangan listrik ini bersumber dari layanan energi baru terbarukan (EBT) PLN.

Arifin menilai, terobosan ini menjawab kebutuhan langkah dekarbonisasi global dan sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060.  "Climate Change menuntut kita mereduksi semua emisi karbon. PLN sudah menyediakan energi bersih. Selanjutnya untuk pengembangan diharapkan bisa memberikan energi bersih ke pelanggan, termasuk industri. Pemerintah berkewajiban untuk mendukung kebutuhan energi bersih ini," kata Arifin dalam keterangan tertulis, Kamis (4/7/2024).

Menurut dia, selama ini smelter-smelter yang di Sulawesi masih menggunakan sumber energi dari batu bara yang diperkirakan mencapai kurang lebih 20 giga watt (GW) dan menghasilkan emisi karbon cukup besar. 

"Ini tentu saja akan menjadi tantangan ya buat industri smelter yang ada disini. Mengapa? Karena sekarang ini dunia menuntut industri menghasilkan green product dengan menggunakan energi bersih. Negara-negara Eropa, sudah mendorong pemakaian energi bersih dan sudah mulai akan menerapkan Cross Border Carbon Mechanism," ungkapnya. 

"Beberapa negara Eropa bahkan sudah ada yang menerapkan pajak karbon yang cukup tinggi, ya di Skandinavia sudah di atas USD 100 per ton. Ini harus kita antisipasi," pinta Arifin. 

 

 

2 dari 4 halaman

Sumber Pasokan Listrik

Adapun sumber pasokan listrik di industri Ceria Group antara lain, perseroan memiliki Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) dengan PT PLN (Persero) sebesar 414 MVA (352 MW) listrik dari sumber tenaga ramah lingkungan, seperti diatur dalam Pembelian Sertifikat Energi Terbarukan (REC). 

Penggunaan sertifikat REC oleh Ceria akan meningkat secara bertahap mulai dari sekitar 80.000 unit pada 2024 menjadi 2,2 juta unit pada 2030. Setiap 1 unit sertifikat REC mewakili 1 Megawatt-jam (MWh) konsumsi energi listrik.

Untuk menjaga keandalan dan stabilitas listrik industri Ceria Group, PLN juga membangun Pembangkit Listrik Mobile Barge Mounted berkapasitas 2 x 60 MW (BMPP) dilengkapi dengan Terminal LNG dan fasilitas Regasifikasi di lokasi Ceria.

Selain itu, PLN melalui anak perusahaannya PLN Batam, akan segera membangun Pembangkit Listrik Terintegrasi di kawasan Ceria, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTMG) berkapasitas 200 MW. Rencana masa depan akan ditambahkan Pembangkit Listrik Tenaga Siklus Gabungan (PLTGU) berkapasitas 200 MW.

3 dari 4 halaman

Ternyata Ini Ganjalan Saat Indonesia Gencar Bangun Smelter

Sebelumnya, ternyata pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter) masih memiliki tantangan tersendiri. Tantangan berasal dari pasokan atau penyediaan tenaga listrik.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, tenaga listrik yang dibutuhkan untuk smelter sangat besar, dan mayoritas masih dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan dasar batu bara yang menghasilkan emisi gas buang cukup besar.

Ternyata pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter) masih memiliki tantangan tersendiri. Tantangan berasal dari pasokan atau penyediaan tenaga listrik.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, tenaga listrik yang dibutuhkan untuk smelter sangat besar, dan mayoritas masih dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan dasar batubara yang menghasilkan emisi gas buang cukup besar.

Arifin melanjutkan bahwa hal tersebut menjadi tantangan bagi industri smelter, karena sekarang dunia menuntut produk-produk yang merupakan hasil dari pemanfaatan energi bersih.

"Negara Eropa sudah berpacu untuk mendorong pemakaian energi bersih dan sudah mulai menerapkan mekanisme yang disebut 'Cross Border Carbon Mechanism', nanti disitu ada masalah perpajakan emisi gas CO2 ke depan," imbuhnya.

Melalui penerapan Cross Border Carbon Mechanism, tambah Arifin, nantinya akan ada pengenaan pajak karbon, sehingga produk industri dalam negeri akan terbebani dengan pajak karbon tersebut serta akan menjadi mahal dan tidak kompetitif.

Pemerintah sedang menyusun rencana untuk bisa menyediakan tenaga listrik dengan energi yang memiliki emisi karbon yang rendah.

Itu karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar, seperti prospek sumber gas di Blok Masela yang akan produksi pada tahun 2030 dengan proyeksi sebanyak 10,5 juta ton LNG per tahun.

Kemudian di Selat Makassar ada lapangan miliki ENI yang akan produksi pada 2027-2028, serta satu blok di Sumatera Bagian Utara, yakni Blok Andaman.

 

4 dari 4 halaman

Potensi Lain

Potensi besar lain, jelas Arifin, adalah energi matahari di Indonesia, kemudian potensi angin, namun karena terbatas industri pendukungnya, maka potensi-potensi besar tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Potensi lain yang belum dimaksimalkan adalah potensi hidro yang berlokasi di Kalimantan Utara dan Papua.

Dengan memanfaatkan potensi-potensi tersebut, maka produk-produk yang dihasilkan berasal dari energi yang rendah emisi sehingga harganya bisa kompetitif.

"Tentu saja itu bisa menjadi peluang besar yang bisa ditangkap oleh industri, bagaimana kita itu bisa menyiapkan produk-produk yang didukung oleh energi bersih untuk bisa bersaing secara global. Produk kita pun juga tidak tergantung kepada satu pasar yang belum menerapkan Cross Border Carbon Mechanism, karena produknya sudah standar internasional dan kompetitif," pungkasnya.