Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memproyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 akan mengalami kenaikan sebesar 2,70 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Maka kami telah menyampaikan bahwa di keseluruhan prognosis APBN 2024 akan mengalami kenaikan defisit," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran, Selasa (9/7/2024).
Oleh karena itu, Pemerintah akan menggunakan sisa anggaran lebih dari tahun sebelumnya sebesar Rp100 triliun untuk menangani defisit APBN 2024.
"Untuk itu akan digunakan sisa anggaran lebih tahun yang sebelumnya sebanyak Rp100 triliun," ujarnya.
Advertisement
Defisit APBN 2025
Sementara itu, untuk pihaknya dengan DPR menyepakati bahwa defisit APBN 2025 di kisaran 2,29 - 2,82%. Hal ini memberikan sinyal komitmen yang kuat dari Pemerintah dalam menjaga disiplin fiskal kedepannya.
Dikutip dari paparan Menkeu, tercatat sampai dengan Semester I 2024, defisit APBN masih terjaga sebesar Rp77,3 trilyun, atau -0,34% PDB, dengan keseimbangan primer masih mencatatkan surplus sebesar RP162,7 trilyun.Untuk pembiayaan Anggaran mencapai Rp168,0 triliun (32,1% APBN 2024) dengan berbagai upaya untuk tetap menjaga pembiayaan yang prudent dan efisien.
Maka dengan mencermati dinamika dan prospek ekonomi global dan domestic 2024, outlook pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp2.802,5 triliun atau tumbuh 0,7% (yoy).
Peningkatan ini utamanya dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi yang terjaga dan positif, implementasi reformasi perpajakan, peningkatan dividen BUMN dan peningkatan layanan Kementerian/Lembaga.
Sementara itu outlook belanja negara 2024 diperkirakan mencapai Rp3.412,2 triliun atau 102,6% dari pagu APBN 2024. Hal ini seiring peran APBN sebagai shock absorber untuk tetap menjaga momentum pertumbuhan, melindungi daya beli dan mendukung pencapaian target-target prioritas pembangunan nasional.
Penerimaan Negara Semester I-2024 Merosot
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semester I-2024.
"Pelaksanaan APBN hingga 2024 semester I disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi APBN juga dalam hal ini badan anggaran juga melihat dan menyebutkan bahwa faktor tersebut memang mempengaruhi pelaksanaan APBN 2024," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran, Selasa (9/7/2024).
Faktor-faktor tersebut diantaranya, kondisi perekonomian Global yang masih lemah, kemudian suasana geopolitik dan interest rate atau suku bunga dari negara maju yang masih tinggi dalam jangka yang lebih panjang.
Dikutip dari paparan Menkeu, ia menyampaikan bahwa suku bunga the Fed bertahan di level 5,5% sejak Juli 2023 dan kebutuhan issuance utang AS yang melonjak tinggi hingga mencapai sekitar USD30 trilun dari sekitar USD10 triliun di masa pra-pandemi menyebabkan tingginya yield US Treasury dan menguatnya Dollar AS.
Kemudian, tingginya yield US Treasury dan menguatnya Dollar AS telah memberikan tekanan pada nilai tukar dan yield obligasi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Sepanjang Semester I 2024, Rupiah terdepresiasi sebesar 6% dari asumsi APBN 2025 (dari Rp15.000 menjadi Rp15.901)) sementara Yield SBN mengalami kenaikan sebesar 60 bps
Kendati demikian, Sri Mulyani menyebut pelaksanaan APBN Semester I-2024 dari sisi penerimaan dan belanja masih berjalan dengan baik. Pendapatan Negara selama Semester I 2024 tercatat sebesar Rp1.320, 7 triliun atau terkontraksi sebesar 6,2% (yoy). Penerimaan perpajakan tercatat hanya sebesar Rp1.028 triliun, turun 7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Â
Advertisement
Harga Komoditas Turun
Sementara PNBP mencapai Rp288,4 triliun atau turun 4,5% (yoy). Penurunan pendapatan negara terutama disebabkan oleh turunnya harga komoditas, khususnya batubara dan CPO, yang mempengaruhi kondisi profitabilitas sektor korporasi sehingga berdampak pada penerimaan PPh Badan yang terkontraksi 35,5% (yoy).
Disisi lain, penerimaan PPN DN (dalam negeri), turun 11% (yoy). Namun demikian, secara bruto (tanpa memperhitungkan restitusi), PPN DN masih tumbuh positif sebesar 9,2% seiring dengan masih kuatnya aktifitas ekonomi domestik, tercermin dari pertumbuhan ekonomi Q1yang mencapai 5,11%.
Penurunan PNBP terutama karena turunnya penerimaan SDA akibatturunnya harga komoditas dan kurang optimalnya lifting migas, sementa di sisi lain penerimaan dari Kekayaan Negara yang dipisahkan tumbuh positif 41,8% dengan membaiknya kinerja BUMN.