Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang babak belur akibat banjir produk impor di Indonesia. Turut disinggung maraknya produk yang dijual di media sosial hingga pakaian bekas.
Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reni Yanita menyinggung banyaknya produk impor yang masuk dengan harga murah. Alhasil, produk lokal tak bisa bersaing di pasar dalam negeri.
Baca Juga
"Banjirnya impor produk jadi dengan harga yang sangat murah berhadapan langsung dengan produksi dalam negeri. Jadi, persetujuan impor yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan tidak mempertimbangkan faktor harga dan supply-demand," ujar Reni dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (9/7/2024).
Advertisement
Tak berhenti di situ, dia mengatakan banyak barang yang dijual melalui platform online hingga media sosial. Pada saat yang sama, masih banyak impor pakaian bekas dan impor ilegal yang belum berhasil diatasi hingga saat ini.
"Kemudian kita juga tahu bahwa banjirnya produk impor ini juga dijual melalui marketplace dan juga social media antata lain TikTok Shop dan lain-lainnya. Kemudian kita tahu juga yang belum selesai sampai hari ini itu terkait dengan impor ilegal dan impor pakaian bekas atau thrifting," bebernya.
Selanjutnya, ada isu yang berkembang terkait industri TPT yang dinilai masuk masa redup atau sunset. Alhasil, pelaku industri tidak mampu mengakses pendanaan dari perbankan. Padahal, ada kebutuhan dana untuk meremajakan alat produksinya.
"Kemudian penurunan utilisasi industri konveksi dan alas kaki IKM sebesar rata-rata 70 persen semenjak pemberlakuannya Permendag 8 Tahun 2024 ini," kata Reni.
"Jadi kalau boleh kami sampaikan dengan adanya Permendag 36 (2023) ini juga menyebabkan IKM-IKM mendapat order banyak dan mereka melakukan pembelian bahan baku dan juga meng-hire beberapa tenaga kerja tambahan, tapi dengan berlakunya Permendag 8 tanggal 17 Mei yang lalu menyebabkan beberapa kontrak ataupun beberapa order dibatalkan," sambungnya.
Penurunan Pesanan hingga Pembatasan Negara Lain
Reni mengantongi adanya masalah dari sisi permintaan dari luar negeri. Misalnya kondisi geopolitik yang membuat adanya penurunan pesanan dari negara barat, utamanya Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Pada saat yang sama, ada pembatasan masuknya barang di India, Turki, dan Vietnam. Ketiga negara telah memberlakukan restriksi perdagangan melalui kebijakan trade remidies seperti antidumping dan safeguards.
"Serta kebijakan non-tariff barrier seperti penerapan quality control order atau QCO oleh India untuk viscose staple fiber dan juga alas kaki," kata dia.
"Jadi permasalahan yang berikutnya terkait dengan TPT ini yaitu kerja sama perdagangan I-EU CEPA kita yang belum ditandatangani. Jadi harapannya ketika I-EU CEPA ini ditandatangani untuk produk TPT kita mendapatkan preferensi tarif ke negara I-EU CEPA ini," pungkasnya.
Advertisement
Lindungi Industri Lokal dari Serangan Barang Impor, Pemerintah Diminta Lakukan Ini
Sebelumnya, Ekonom Syarif Hidayatullah Jakarta Fahmi Wibawa menyampaikan perlu adanya aturan pengimbang relaksasi impor yang diterapkan guna lindungi industri pengolahan (manufaktur) dalam negeri.
"Jika pemerintah tidak bersikap imbang dengan mendukung industri manufaktur, dikhawatirkan badai manufaktur akan terjadi dalam waktu singkat di Indonesia. Perlu diketahui, tidak ada negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik dari tingginya impor di negara tersebut,” kata dia dikutip dari Antara, Selasa (25/6/2024).
Menurut dia, relaksasi impor yang diterapkan melalui Permendag 8/2024 dikhawatirkan bisa membuat industri dalam negeri semakin terpuruk karena terbanjiri oleh produk jadi impor. Selain itu dampak lain dari relaksasi perdagangan ini turut meningkatkan nilai impor, sehingga memberikan dampak buruk terhadap nilai tukar Rupiah yang terus menurun
Fahmi menilai produk impor tetap dibutuhkan oleh Indonesia, dengan catatan barang yang dibeli merupakan bahan baku atau produk yang memiliki permintaan tinggi namun belum mampu diproduksi oleh industri domestik.
"Artinya dukungan terhadap perdagangan internasional tidak harus dengan membuka pintu tanpa menyaring dengan bijak," katanya.
Lartas
Ia menyampaikan aturan yang menggantikan larangan dan pembatasan (lartas) tersebut dinilai sebagai karpet merah untuk masuknya produk impor barang jadi ke pasar domestik, itu karena enam peraturan yang tertera di antaranya secara eksplisit menyiratkan relaksasi impor.
Lebih lanjut, dirinya merekomendasikan aturan relaksasi perdagangan internasional ini kembali dibahas dengan melibatkan asosiasi industri, serta kamar dagang di Indonesia.
"Sebaiknya kembali direvisi dengan mengikutsertakan asosiasi-asosiasi industri dan kamar dagang, supaya duduk bersama guna mengetahui secara detail aspirasi dari kedua belah pihak. Karena jika kebijakan impor ini terelaksasi sangat luas, efek domino yang terjadi bukan main bahayanya,” katanya.
Industri Tekstil
Sebelumnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan perlu perlakuan khusus bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) agar bisa berdaya saing dengan barang-barang impor.
"Jadi memang treatment impor ini tidak bisa disamaratakan, jadi kalau memang industri seperti TPT ini harus punya satu kebijakan khusus," kata Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani di Jakarta, Kamis (20/6).
Dirinya mengatakan, baik produsen maupun mekanisme daripada importasi mesti dipersiapkan dengan baik. Hal ini supaya pelaku industri TPT dalam negeri mampu bersaing dengan produk barang jadi impor. Selain itu menurut dia, pemerintah juga mesti memastikan bahwa produk yang masuk bukan merupakan barang TPT ilegal.
Advertisement