Sukses

Suku Bunga The Fed Berpotensi Turun, Begini Gerak Rupiah Hari Ini 11 Juli 2024

Nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran 16.180-16.200 per dolar AS pada perdagangan Kamis, 11 Juli 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan ketua the Federal Reserve (the Fed) Jerome Powell mengenai langkah the Fed tidak akan menunggu inflasi 2 persen untuk menurunkan suku bunga akan angkat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Kamis (11/7/2024).

Mengutip Antara, pada awal perdagangan Kamis pagi, kurs rupiah naik 23 poin atau 0,14 persen menjadi Rp16.218 per dolar AS, dari sebelumnya sebesar Rp16.241 per dolar AS.

"Rupiah berpeluang meneruskan penguatannya hari ini terhadap dolar AS, setelah semalam Gubernur The Fed Jerome Powell dalam pernyataannya di hadapan komite Jasa Keuangan DPR AS menyebutkan bahwa The Fed tidak akan menunggu inflasi 2 persen untuk memangkas suku bunga acuannya," ujar Pengamat pasar uang Ariston Tjendra, di Jakarta, Kamis, 11 Juli 2024, seperti dikutip dari Antara.

Selain itu, pelaku pasar juga melihat indikasi pemangkasan suku bunga dari pernyataan Powell semalam risiko dari ekonomi bukan hanya inflasi, tapi tingkat pengangguran AS meskipun masih di level rendah namun terus meninggi.

"Jadi The Fed bisa memangkas bunga bila tingkat pengangguran semakin memburuk," kata dia.

Indeks saham Asia juga terlihat menghijau yang artinya sentimen pasar terhadap aset berisiko cukup positif, dan hal itu bisa membantu penguatan rupiah yang juga adalah aset berisiko.

Ariston mengatakan, potensi penguatan rupiah ke kisaran 16.180 per dolar AS-16.200 per dolar AS, dengan potensi resisten di kisaran 16.280 per dolar AS.

 

2 dari 4 halaman

Bos BNI: Depresiasi Rupiah Lebih Besar Ketimbang Negara Lain Terseret Kebijakan The Fed

Sebelumnya, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) atau disebut BNI, Royke Tumilaar mengungkap dampak ekonomi global terhadap nilai tukar mata uang negara-negara berkembang. Bahkan, dampaknya terhadap nilai tukar rupiah tercatat lebih tinggi dibanding negara lain.

Royke menyadari, sektor keuangan dan perekonomian global sedang menghadapi tekanan. Termasuk adanya pengaruh dari kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.

"ECB (European Central Bank) telah memotong suku bunga 25 basis poin pada Juni (2024), kemungkinan besar akan masih berlanjut sampai akhir tahun," ujar Royke dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (8/7/2024).

Sementara itu, The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS masih mempertahankan suku bunga AS di posisi 5,5 persen. Dia mengatakan, bank sentral AS ini hanya akan menurunkan suku bunga 25 basis poin sepanjang tahun ini.

"Kita tahu higher for longer dan memberi sinyal hanya akan menurunkan suku bunga 25 basis poin di tahun ini dibanding 75 basis poin yang diproyeksikan Maret 2024. Jadi, sedikit lebih lamban penurunannya Amerika Serikat," ujar dia.

Atas kebijakan AS dan Eropa ini, Royke menyadari adanya dampak terhadap pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS. Termasuk dampak terhadap rupiah yang sempat tembus Rp 16.450 per dolar AS.

"Implikasinya tentunya kepada Indonesia, negara-negara berkembang, rupiah pun tidak imun sehingga terdeprediasi sampai posisi 21 Juni, Rp 16.450 (per dolar AS)," ucapnya.

Dia mengantongi data pelemahan Rupiah ini terjadi lebih dalam dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara berkembang lainnya.

"Year to date hingga akhir Juni, rupiah telah melemah 6,4 persen dan lebih dalam daripada rata-rata negara berkembang lainnya 5,3 persen," bebernya.

 

 

3 dari 4 halaman

Aprindo Prediksi Rupiah Melemah Dongkrak Harga Barang di Ritel

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dapat berimbas pada naiknya harga-harga bahan pokok di ritel dan menurunkan daya beli masyarakat. 

Ketua Aprindo, Roy N Mandey mengakui, pelemahan rupiah ini menyebabkan harga bahan baku dan bahan penolong impor yang diproduksi oleh supplier dan produsen di hulu naik. Sehingga, hal itu berdampak pada harga barang di hilir yang dijual di ritel modern.

"Ke ritel bagaimana dampaknya? Ke ritel dampaknya kepada bahan baku dan bahan penolong yang diproduksi oleh supplier, oleh produsen,” kata Roy dalam konferensi pers, di Kantor Aprindo, Jakarta, Jumat (28/6/2024).

Ia menuturkan, ketika produsen membeli bahan baku dan bahan penolong mereka menggunakan dolar AS untuk membayar. Maka secara hukum ekonomi mengatakan ketika bahan baku naik harga belinya, maka harga jualnya juga pasti naik.

"Mereka menjual ke kami, ke peritel. Peritel nggak menaikan harga, tapi karena mereka dari produsen, supplier, pemasok, produsen menaikkan harga karena bahan baku dan bahan penolongnya yang harus diimpor itu naik. Karena beli dolarnya lebih mahal daripada sebelumnya, otomatis akan terdampak ke hilir, lantaran eskalasi harga atau perubahan harga itu akan dilakukan oleh produsen, bukan oleh peritel," ujar dia.

Namun, kenaikan harga tersebut tidak terjadi pada semua produk yang dijual di ritel, karena tidak semua bahan baku dan bahan penolongnya berasal dari impor.

"itu terjadi tidak pada semua produk, karena tidak semua produk impor, tapi yang ada kandungan bahan baku dan penolongnya impor pasti akan berdampak kepada harga jual,” ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

Bahan Baku Terdampak

Adapun bahan baku dan bahan penolong impor contohnya seperti kedelai. Lantaran Indonesia masih melakukan impor kedelai dari Amerika Latin. Kemudian, komoditas beras hingga gula.

"Apa saja barang-barang yang bahan baku dan penolongnya impor? Kedelai misalnya, jadi bahan baku kedelai itu nggak ada di Indonesia, harus dari Amerika Latin. Kedelai harus impor. Kemudian bahan pokok lagi, kita tahu beras juga kan impor, gula juga impor,” ujarnya.

Solusinya hanya satu yakni Pemerintah harus sanggup untuk memberikan subsidi untuk bahan baku dan bahan penolong impor tersebut. Tujuannya untuk menahan harga beberapa barang yang di jual di ritel tidak naik.

"Pemerintah mau naikin nggak subsidi-nya? Kalau subsidi-nya nggak naik, maka akan dampak kepada harga jualnya pasti mesti naik. Tapi kalau sudah tidak bisa ditolerir, mau tidak mau menaikkan harga, walaupun risikonya nanti kurang penjualannya,” ujarnya.

"Jadi ini sesuatu problem yang bukan baru sekarang tapi sudah terjadi beberapa kali Jadi disini pentingnya, pentingnya pemerintah harus bergerak cepat,” pungkas Roy.