Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah kembali mengemukakan rencana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Langkah pembatasan BBM subsidi bertujuan mengurangi konsumsi dan polusi yang dihasilkan serta mendorong peralihan dari BBM ke bioetanol. Hal tersebut dinilai dapat menghemat anggaran.
Adapun rencana pembatasan BBM subsidi ini bukan hal baru. Rencana itu telah digulirkan sekitar 2022. Sebelumnya, ada rencana untuk membatasi penggunaan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite. Namun, langkah itu perlu revisi peraturan presiden (perpres) nomor 191 tahun 2014.
Baca Juga
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan rencana pembatasan BBM subsidi. Pembatasan BBM subsidi akan dilakukan mulai 17 Agustus 2024. Pembatasan BBM subsidi disebut menjadi salah satu cara untuk memangkas konsumsi dan polusi yang dihasilkan. Hal ini juga dinilai sejalan dengan peralihan dari bahan bakar minyak (BBM) ke bioethanol.
Advertisement
"Kemudian masalah penggunaan bensin, kita sekarang berencana ini mau mendorong segera bioetanol masuk menggantikan bensin," ujar Menko Luhut melalui akun Instagram @luhut.pandjaitan, dikutip Rabu, 10 Juli 2024.
Seiring mendorong pemakaian bioetanol yang menggantikan bensin bertujuan mengurangi polusi yang mencemari udara. Luhut menuturkan, konteksi ini akan membuat efisensi anggaran.
"Supaya polusi udara ini juga bisa dikurangi cepat, karena sulfur yang ini lebih dari 500 ppm ya, kita mau sulfurnya itu 50 ppm lah. Ini sekarang lagi diproses dikerjakan oleh Pertamina. Kalau ini semua berjalan dengan baik dari situ saya kira kita bisa menghemat lagi," kata Luhut.
Menko Luhut harap masyarakat yang tak termasuk penerima subsidi tak bisa lagi memakainya."Pemberian subsidi yang tidak pada tempatnya, sekarang Pertamina sedang menyiapkan dan saya berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kita kurangi, kita hitung di situ," kata dia.
Menko Luhut menuturkan, pembatasan BBM subsidi itu juga akan menurunkan tingkat sulfur yang jadi polusi udara seiring pembatasan BBM Subsidi. Sehingga ikut juga mengurangi banyaknya orang yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).
"Dan itu juga akan menghemat (biaya) kesehatan sampai Rp 38 triliun ekstra pembayaran BPJS. Jadi sebenarnya banyak sekali efisiensi di negeri ini yang bertahap sekarang sedang dibereskan," tegas Menko Luhut.
Dorong Subsidi BBM Tepat Sasaran
Sementara itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menuturkan, pemerintah mendorong subsidi BBM yang tepat sasaran. Hal itu juga sebagai langkah menyesuaikan dengan kondisi ekonomi penduduk Indonesia yang berbeda-beda.
"Pembatasan tidak ada, jumlah penduduk Indonesia makin banyak, tetapi segi keekonomian masing-masing penduduk Indonesia berbeda-beda. Jadi, tepat sasaran yang lebih diutamakan," ujar Erick saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Rabu, 10 Juli 2024, seperti dikutip dari Antara.
Selain itu, ia menilai pengawasan pengetatan pemakaian BBM bersubsidi yang direncanakan pemerintah akan lebih mudah dilakukan di era digitalisasi saat ini.
"Dengan sekarang keterbukaan informasi, dengan adanya juga yang namanya digitalisasi, saya rasa tidak perlu dikhawatirkan itu (pengetatan penggunaan BBM subsidi)," ujar Erick.
Erick menuturkan, Kementerian BUMN mendukung langkah-langkah pemerintah dalam mengatur bantuan-bantuan yang seharusnya didapat oleh masyarakat, bukan hanya BBM subsidi termasuk listrik dan gas.
"Tentu masyarakat yang mampu tidak boleh mempergunakan BBM yang bersubsidi, seperti juga listrik," kata dia.
Adapun pada 2024, pemerintah menetapkan target subsidi energi sebesar Rp 186,9 triliun. Rinciannya Rp 113,3 triliun untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquified Petroleum Gas (LPG), dan Rp 73,6 triliun untuk subsidi listrik, demikian mengutip laman Kementerian ESDM.
Subsidi Energi Berpotensi Naik
Mengutip Antara, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga prediksi subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bakal naik pada 2024.
“Subsidi energi dalam hal ini diperkirakan akan mengalami kenaikan dengan beberapa parameter perubahan, baik dari harga dan lifting minyak serta nilai tukar,” ujar Sri Mulyani saat Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Senin, 8 Juli 2024.
Pemerintah telah mengucurkan dana senilai Rp155,7 triliun hingga kini untuk subsidi dan kompensasi energi, yang di antaranya digunakan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 7,16 juta kiloliter dan LPG 3 kilogram sebanyak 3,36 juta kilogram.
Advertisement
Masih Dibahas
Pernyataan Menko Airlangga tidak sejalan dengan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut yang menuturkan bakal ada pembatasan BBM subsidi pada 17 Agustus 2024.
Ia menegaskan tidak akan ada pembatasan pembelian BBM. Melainkan upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas udara di Indonesia agar lebih bersih dengan cara menurunkan kadar sulfur yang ada dalam BBM.
"Tidak ada pembatasan, yang dibahas kemarin (rakor) adalah penurunan kadar sulfur dalam BBM, itu kita harus melihat udara Jakarta, air quality-nya ini mengkhawatirkan bagi kesehatan. Tentu langkah-langkah ini akan disiapkan Pemerintah," kata Airlangga di Jakarta, Kamis, 11 Juli 2024.
Hindari Penyalahgunaan
Untuk menerapkan pembatasan BBM subsidi diperlukan revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 (Perpres 191).
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengaku ikut mendukung revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 (Perpres 191) untuk membatasi pembelian bakar bakar minyak (BBM) subsidi agar tersalurkan secara tepat sasaran.
Erick menilai, tujuan dari revisi Perpres 191 adalah untuk menghindari penyalahgunaan subsidi yang seharusnya ditujukan kepada masyarakat kelas bawah.
Namun, ia menegaskan, Kementerian BUMN dan Pertamina sebagai BUMN penyalur BBM adalah korporasi dan bukan pembuat kebijakan terkait hal itu.
"Saya tunggu saja, karena itu harus ada kebijakan. Kan inget loh, bahwa BUMN ini kan korporasi, bukan pengambil kebijakan. Jadi kita sangat mendukung Perpres 191 untuk segera didorong," ujar dia.
Airlangga juga menyoroti terkait revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Dia menuturkan, revisi tersebut masih dalam pembahasan.
"Jadi, terkait PP 191 ini dalam pembahasan. Masih dalam pembahasan, bukan pembatasan," ujar Airlangga.
Menanti Terbit Aturan
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi menuturkan, pemerintah terus berkomitmen memastikan subsidi BBM tepat sasaran.
Secara aturan, itu akan tertuang dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Jodi menuturkan, rencana ini merupakan langkah untuk memastikan subsidi BBM hanya dinikmati oleh mereka yang benar-benar berhak.
"Dalam hal ini, revisi Perpres 191/2014 juga menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan penyaluran subsidi BBM. Revisi ini akan mengatur lebih lanjut tentang kriteria penerima subsidi, metode distribusi, dan mekanisme pengawasan yang lebih ketat," jelasnya kepada Liputan6.com, Kamis, 11 Juli 2024.
Di sisi lain, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi pun mengamini implementasi kebijakan itu masih menanti terbitnya revisi Perpres 191/2014.
"Kita masih menunggu selesainya perubahan Perpres 191 yang mengatur mengenai pengkategorian jenis kendaraan yang diperbolehkan menggunakan BBM Berubsidi (Solar) dan BBM Penugasan (Pertalite), termasuk BBM rendah sulfur," ujarnya kepada Liputan6.com.
Agus menyebut progres aturan baru ini tengah berada di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Advertisement
Bagaimana Persiapan Pertamina?
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi menuturkan, Pertamina akan menjalankan mekanismenya dengan beberapa langkah strategis. Seperti memanfaatkan teknologi informasi untuk memantau pembelian BBM bersubsidi di SPBU secara real-time.
"Pertamina sendiri sudah mengembangkan alert system yang dipantau langsung dari kantor pusat mereka, jadi setiap transaksi kepada kendaraan akan bisa termonitor langsung," ujar Jodi.
Penerapan kebijakan pembatasan pembelian BBM subsidi juga akan diikuti dengan digitalisasi seluruh SPBU, untuk memastikan proses ini berjalan lancar dan efisien.
Dengan digitalisasi ini, menurut Jodi, setiap pembelian dapat dicatat dan dianalisis, sehingga dapat mengurangi potensi penyalahgunaan subsidi. Jadi kata kuncinya adalah efisiensi.
"Yang jelas, tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa subsidi BBM dapat dinikmati oleh masyarakat yang paling membutuhkan sesuai dengan peraturan dan kriteria yang telah ditetapkan," kata dia.
Adapun Pertamina akan menjalankan penyaluran subsidi BBM tepat sasaran jika diminta oleh pemerintah. VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengaku sudah menjalankan beberapa langkah persiapan.
"Pertamina akan melaksanakan arahan pemerintah, dan upaya-upaya yang sudah dan terus dilakukan Pertamina untuk subsidi tepat antara lain," kata Fadjar dalam keterangannya ketika dikonfirmasi, Rabu, 10 Juli 2024.
Sejumlah langkah itu di antaranya, pertama, Pertamina menggunakan teknologi informasi untuk memantau pembelian BBM Bersubsidi di SPBU-SPBU secara real time untuk memastikan konsumen yang membeli adalah masyarakat yang berhak.
Pertamina mengembangkan alert system yang mengirimkan exception signal dan dimonitor langsung dari command center Pertamina. "Melalui sistem ini, data transaksi tidak wajar seperti pengisian di atas 200 liter Solar untuk satu kendaraan bermotor atau pengisian BBM subsidi kepada kendaraan yang tidak mendaftarkan nomor polisi (nopol) kendaraannya akan termonitor langsung oleh Pertamina," kata Fadjar.
Sejak implementasi exception signal ini pada 1 Agustus 2022 hingga kuartal I 2024, Pertamina telah berhasil mengurangi risiko penyalahgunaan BBM bersubsidi senilai USD 281 juta atau sekitar Rp 4,4 trilliun.
Penguatan Sarana dan Fasilitas
Kedua, program penguatan sarana dan fasilitas digitalisasi di SPBU. Pertamina menegaskan komitmennya melakukan digitalisasi di seluruh SPBU Pertamina yang mencapai lebih dari 8000 SPBU, termasuk SPBU yang berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
"Hasilnya, hingga saat ini 82 persen SPBU telah terkoneksi secara nasional. Semakin banyak SPBU yang terkoneksi dengan sistem digitalisasi Pertamina, akan semakin memudahkan monitoring dan pengawasan atas penyaluran BBM bersubsidi," ujar dia.
Langkah ketiga, yakni peningkatan kerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH). Utamanya untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan kegiatan penyalahgunaan BBM Bersubsidi yang tidak sesuai peruntukannya.
Keempat, Pertamina mendorong masyarakat ikut dalam Program Subsidi Tepat secara daring guna mengidentifikasi konsumen yang berhak dan memonitor konsumsi atas JBT Solar dan JBKP Pertalite.
"Selama tahun 2023 Pertamina berhasil melakukan pengendalian penyaluran JBT Solar dan JBKP Pertalite sehingga realisasi penyaluran berada di bawah kuota yang ditetapkan Pemerintah. Realisasi penyaluran selama 2023 untuk JBT Minyak Solar sebesar 17,4 Juta kiloliter (KL) dan JBKP Pertalite adalah 30,0 Juta KL," tutur dia.
Advertisement
Bukan Rencana Baru
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengungkapkan, rencana pembatasan pembelian BBM subsidi bukan rencana baru.
Namun dia menilai Luhut seakan memberikan batas waktu jelas terhadap kebijakan tersebut. "Itu sudah lama, cuma waktunya saja. Sudah lama disampaikan mengenai distribusi tertutup dan distribusi terbuka," ujar Satya kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis, 11 Juli 2024.
"Maksudnya distribusi tertutup adalah barang subsidi hanya dibeli oleh kelompok tertentu. Kalau subsidi terbuka seperti sekarang ini. Itu kan yang dimaksud kepada pak Luhut lebih kepada deadline aja," ia menambahkan.
Namun, dirinya tak bisa menyampaikan lebih jauh apakah rencana pembatasan beli BBM subsidi semisal Solar dan Pertalite ini sudah pasti ketok palu di tangan Luhut. Yang pasti, negara memang semakin terdesak oleh pemberian subsidi bahan bakar di tengah fluktuasi harga minyak mentah dunia dan lain sebagainya.
"Tapi yang jelas minyaknya benar (naik). Niatnya benar, namanya membatasi pola distribusi tertutup supaya BBM subsidi itu dinikmati oleh orang yang tepat," ujar Satya.
Sejak 3 Tahun Lalu
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Eddy Soeparno menuturkan sejak 3 tahun lalu sudah menyerukan pembatasan terhadap BBM bersubsidi.
"Dari pandangan kami, 80 persen pengguna BBM subsidi baik pertalite maupun solar itu adalah masyarakat mampu yang kemudian menjadikan penyaluran BBM bersubsidi ini tidak tepat sasaran,” kata Eddy kepada Liputan6.com, ketika dihubungi melalui telepon, Kamis pekan ini.
Eddy menuturkan, sejak 3 tahun lalu telah meminta agar Perpres Nomor 191 Tahun 2024 direvisi. Namun, menurut Eddy, revisi mungkin baru dilakukan saat ini.
"Tetapi tentu tidak ada kata terlambat kita ingin melihat agar pembatasan itu dilaksanakan agar total dari subsidi yang jumlahnya juga tidak kecil. Untuk 2024, jumlah subsidi BBM itu Rp 163 triliun, kalau 80 persen penggunanya itu adalah masyarakat mampu artinya Rp 130 triliun subsidi itu dialihkan untuk masyarakat yang tidak berhak," ujar Eddy.
Dampak Pembatasan
Eddy menuturkan, jika ada penghematan sebesar itu, subsidi BBM yang digunakan oleh masyarakat mampu dapat digunakan program ekonomi lain seperti bantuan sosial. Eddy menyebut pihaknya mendukung adanya pembatasan tersebut.
Selain itu, pembatasan BBM subsidi ini tidak akan berdampak pada masyarakat kelas ekonomi bawah karena mereka pihak yang memang akan menikmati BBM bersubsidi.
"Ojek online, angkot, UMKM, yayasan yang mengelola ambulan, dan mobil plat kuning, itu tetap boleh membeli BBM bersubsidi,” ujar Eddy.
Sedangkan masyarakat yang tidak boleh membeli BBM bersubsidi menurut Eddy adalah masyarakat mampu seperti mempunyai dua mobil, memiliki gaji yang masuk pada masyarakat mampu.
Mantan Menteri Perdagangan Indonesia dan Braintrust Think Policy Mari Elka Pangestu menuturkan, reformasi subsidi BBM tidak berdiri sendiri dan harus dipahami dalam konteks yang lebih luas.
“Isu ini bukan hanya tentang kesehatan dan polusi, tetapi juga ekonomi. Polusi yang menurunkan hasil kesehatan akan berdampak pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi,” ujar Mari Elka.
Untuk memiliki subsidi yang produktif, ia menuturkan, ada dua hal yang perlu diperhatikan, termasuk penargetan yang tepat dan cara penyampaian subsidi.
“Perlu dicermati siapa yang harus dikompensasi dan bagaimana subsidi disampaikan perlu dibahas secara mendalam, termasuk timeline menuju zero subsidy yang harus dilakukan secara bertahap,” kata dia.
Advertisement
Ini Dulu Harus Dilakukan Pemerintah
Ekonom Indonesia Strategic And Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita meminta pemerintah untuk lebih dulu mengurangi belanja yang dinilai tak perlu ketimbang membatasi pembelian BBM subsidi. Ini berlaku jika penghematan atau efisiensi anggaran yang jadi targetnya.
Ronny menuturkan, pengendalian konsumsi BBM bersubsidi seperti Solar atau Pertalite dengan tujuan menghemat anggaran jadi sesuatu yang kurang tepat. Apalagi kalau volume subsidi yang malah dikurangi.
"Harusnya pemerintah meletakkan opsi pengurangan belanja pemerintah dulu, sebelum mengurangi subsidi. Pemerintah dulu yang berkorban. Jangan rakyat dulu yang dikorbankan. Di situ letak persoalannya menurut saya,"ungkap Ronny kepada Liputan6.com, Kamis, 11 Juli 2024.
Ronny menilai, selama ini ketika kemampuan fiskal mulai mengendur, pemerintah jarang berkorban. Pada saat yang sama, hak rakyat lebih dulu dikurangi.
"Kalau tidak menaikan pajak, ya mengurangi subsidi. Cobalah sekali-kali berfikir menekan belanja rutin, biaya operasional, bonus-bonus, tunjangan-tunjangan, dan lain-lain dipangkas dulu," kata dia.
"Lalu proyek-proyek basa-basi yang hasilnya tak terukur disetop dulu. Pemerintah dan DPR sekali-kali merevisi turun belanja, jangan merevisi naik terus," Ronny menambahkan.
Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri menilai, rencana pembatasan BBM subsidi telah menunjukkan pemerintah sudah tidak mampu menahan subsidi BBM sehingga BBM bersubsidi akan dinaikkan.
Saat ini harga minyak dunia masih di kisaran USD80 per barel, artinya Pemerintah masih mampu menahan subsidi BBM. Akan tetapi, jika harga minyak dunia naik USD 90 per barel, maka diproyeksikan Pemerintah tak mampu menahan subsidi lagi, sehingga jalan pintasnya adalah menaikkan harga BBM bersubsidi.
"Misalnya, sekarang harga minyak anteng ya di USD80-an. Kalau naik lagi ke USD90, artinya kan subsidi-nya naik gitu kan. Pemerintah enggak sanggup lagi. Artinya, sinyal kemungkinan besar pemerintah akan menaikkan harga BBM yang selama ini di subsidi yaitu Pertalite dan Solar," kata Faisal Basri saat ditemui usai RDP dengan BAKN DPR RI, Rabu, 10 Juli 2024.
Dia menilai, fenomena antre di SPBU menjelang kenaikan BBM sudah merupakan hal biasa. Lantaran, Pemerintah tidak mampu membayarkan dana kompensasi ke Pertamina.
“Sudah biasa. Sebelum naik antrean panjang dulu. Kan sudah enggak kuat lagi, dan dana kompensasinya gelembung. Terpaksa. Pertamanya sorry, dana kompensasinya enggak saya bayar dulu. Pernah dana kompensasi itu baru dibayar 2 tahun. Sampai PLN pernah hampir gagal bayar," tutur dia.
Saran YLKI
Di sisi lain, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai, pembatasan pembelian BBM subsidi masih menjadi kebijakan ambigu oleh Pemerintah.
Namun, juga tidak bisa dipungkiri, beberapa kasus di lapangan menunjukkan kelompok menengah atas yang mengambil BBM subsidi seperti Pertalite.
"Sebab di satu sisi tidak mau menggunakan terminologi kenaikan harga, tetapi praktiknya akan terjadi kenaikan harga bagi konsumen yang selama ini menggunakan BBM jenis pertalite dan solar. Sebab harus migrasi ke BBM non subsidi," ungkap Pengurus Harian YLKI, Agus Sujatno dalam keterangan di Jakarta, Kamis, 11 Juli 2024.
Pukul Daya Beli
Agus menuturkan, kebijakan pembatasan pembelian Pertalite juga akan memukul daya beli konsumen yang selama ini menggunakan BBM jenis pertalite dan solar, jika harus bermigrasi ke BBM Non Subsidi.
"Sebab mereka harus mengalokasikan biaya lebih banyak," ia menambahkan.
Meskipun demikian, mekanisme pembatasan pembelian ini layak ditunggu. Ia menjelaskan, hal itu karena model pembatasan yang selama ini telah dikembangkan terbukti tidak efektif dalam mengendalikan penjualan BBM subsidi.
"Alih alih membatasi penjualan BBM subsidi, untuk yang berpotensi menimbulkan distorsi pasar, akan lebih rasional jika kebijakan yang digunakan untuk pengendalian konsumsi BBM dalam bentuk subsidi tertutup," ujar Agus.
"Yaitu subsidi pada orangnya, bukan subsidi barang. Subsidi pada barang, terbukti banyak penyimpangannya dan tidak tepat sasaran," kata Agus.
Advertisement
Bikin Resah Rakyat
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia), Mirah Sumirat menilai kebijakan itu tidak tepat bahkan bisa meresahkan masyarakat.
"Jadi lagi-lagi pemerintah akan membuat satu keputusan yang akan membuat resah rakyat. Kenapa saya katakan membuat resah rakyat? Kalau disampaikan bahwa ini akan ada pembatasan, satu, pasti pada praktiknya nanti tidak akan seindah dengan apa yang ada di dalam atau tertulis dalam peraturannya," jelas Mirah saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 11 Juli 2024
Dia khawatir instruksi yang diberikan pemerintah pusat tidak dijalankan dengan sesuai di lapangan. Misalnya, orang yang sebetulnya tidak berhak mengonsumsi BBM subsidi justru masuk dalam kategori penerima.
"Bisa jadi orang yang seharusnya nanti tidak masuk ke dalam kategori pembatasan artinya dia berhak menjadi masuk," ujar dia.
"Jadi memang lagi-lagi kalau menurut saya sebagai negara yang menuju arah maju, Indonesia Emas dan lain sebagainya saya kira enggak usah ada pembatasan," Mirah menambahkan.
Di sisi lain, dia menduga pembatasan konsumsi BBM subsidi ini sebagai upaya pemerintah melepaskan tanggung jawabnya terhadap rakyat.
"Jadi menghilangkan subsidi, subsidi itu tanggung jawab negara kepada rakyat, ketika negara menghilangkan subsidi maka negara menghilangkan tanggung jawabnya untuk mengurus rakyatnya," urainya.
Pertalite Dihapus?
Mirah menilai upaya pembatasan itu akan berujung pada penghapusan BBM subsidi dan diganti dengan jenis lainnya.
"Ini pelan-pelan nanti ktia curiga lagi lama-lama Pertalite akan dihilangkan, nanti diganti dengan Pertamax ujung-ujungnya," ungkapnya.
"Ini sama dengan kita waktu zaman dulu menghilangkan ketergantungan minyak tanah, lama-lama diganti dengan gas, lama-lama nanti gas melon itu akan hilang kan gitu. Jadi ini jangan kaya gitu. Jadi kami menolak, janganlah menghilangkan atau pembatasan subsidi-subsidi seperti ini," ia menambahkan..
Rekomendasi Alokasi Dana Subsidi
Di sisi lain, dalam diskusi Ruang Tengah Think Policy: Menilik Urgensi Reformasi Subsidi BBM menghasilkan sejumlah rekomendasi relokasi dana subsidi BBM tersebut.
Relokasi dana subsidi BBM itu antara lain, program bantuan langsung. Sejak hari pertama implementasi, harus sudah ada program bantuan langsung untuk memastikan dampak terhadap kelompok saling rentan dan miskin, termasuk dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Kemudian transisi energi yakni relokasi dana bisa diarahkan ke transportasi umum dan atau integrasi sistem transportasi. Selanjutnya relokasi dana subsidi BBM selain BLT, realokasi subsidi dapat diarahkan ke sektor produktif termasuk tetapi tidak terbatas pada manufaktur, pertanian, perikanan dan sebagainya.
Selain itu, program pendidikan dan kesehatan. Jadi kelas menengah yang sebelumnya paling banyak konsumsi subsidi BBm dapat menikmati kompensasi yang lebih membawa eksternalitas positif yakni program pendidikan dan kesehatan.
Advertisement