Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana untuk membatasi pembelian BBM Bersubsidi dalam waktu dekat. Hal itu dinilai hanya akan membuat resah masyarakat sebagai pengguna BBM subsidi.
Pandangan itu salah satunya datang dari Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia), Mirah Sumirat. Dia menilai kebijakan permbatasan BBM itu juga malah tidak akan lancar sebagaimana aturannya nanti.
Baca Juga
"Jadi lagi-lagi pemerintah akan membuat satu keputusan yang akan membuat redah rakyat. Kenapa saya katakan membuat resah rakyat? Kalau disampaikan bahwa ini akan ada pembatasan, satu, pasti pada praktiknya nanti tidak akan seindah dengan apa yang ada di dalam atau tertulis dalam peraturannya," jelas Mirah saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (11/7/2024).
Advertisement
Dia khawatir instruksi yang diberikan pemerintah pusat nantinya tidak dijalankan dengan sesuai di lapangan. Misalnya, orang yang sebetulnya tidak berhak mengonsumsi BBM subsidi malah masuk dalam kategori penerima.
"Bisa jadi orang yang seharusnya nanti tidak masuk ke dalam kategori pembatasan artinya dia berhak menjadi masuk," tegasnya.
"Jadi memang lagi-lagi kalau menurut saya sebagai negara yang menuju arah maju, Indonesia Emas dan lain sebagainya saya kira gak usah ada pembatasan," sambung Mirah.
Di sisi lain, dia menduga pembatasan konsumsi BBM subsidi ini sebagai upaya pemerintah melepaskan tanggung jawabnya terhadap rakyat.
"Jadi menghilangkan subsidi, subsidi itu kan tanggung jawab negara kepada rakyat, ketika negara menghilangkan subsidi maka negara menghilangkan tanggung jawabnya untuk mengurus rakyatnya," urainya.
Â
Curiga Pertalite Dihapus
Lebih lanjut, Mirah menilai upaya pembatasan itu akan berujung pada penghapusan BBM subsidi dan diganti dengan jenis lainnya.
"Nah ini kan pelan-pelan nanti ktia curiga lagi lama-lama Pertalite akan dihilangkan kan, nanti diganti dengan Pertamax ujung-ujungnya," ungkapnya.
"Ini sama dengan kita waktu zaman dulu menghilangkan ketergantungan minyak tanah, lama-lama kan diganti dengan gas, lama-lama nanti gas melon itu akan hilang kan gitu. Jadi ini jangan kaya gitu. Jadi kami menolak, janganlah menghilangkan atau pembatasan subsidi-subsidi seperti ini," pintanya.
Â
Advertisement
Bocoran Menko Luhut
Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Dia memyebut pembatasan itu akan dimulai pada 17 Agustu 2024 mendatang.
Diketahui, ada rencana untuk membatasi penggunaan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite. Namun, kebijakan ini masih menunggu rampungnya regulasi, yang merujuk pada revisi Perpres 191/2014.
Dia mengatakan, pembatasan menjadi salah satu cara untuk mengurangi konsumsi dan polusi yang dihasilkan. Menurutnya, hal itu sejalan dengan peralihan dari BBM ke bioetanol.
"Kemudian masalah penggunaan bensin, kita kan sekarang berencana ini mau mendorong segera bioetanol masuk menggantikan bensin," ujar Menko Luhut melalui akun Instagram @luhut.pandjaitan, dikutip Rabu (10/7/2024).
Tujuannya, untuk mengurangi jumlah polusi yang mencemari udara. Dia mengatakan, pada konteks ini akan tercipta sebuah efisiensi anggaran.
"Supaya polusi udara ini juga bisa dikurangi cepat, karena sulfur yang ini kan lebih dari 500 ppm ya, kita mau sulfurnya itu 50 ppm lah. Nah ini sekarang lagi diproses dikerjakan oleh Pertamina. Nah kalau ini semua berjalan dengan baik dari situ saya kira kita bisa menghemat lagi," ungkapnya.
Â
Dimulai 17 Agustus 2024
Menko Luhut mengatakan, PT Pertamina (Persero) sudah mulai menyiapkan penerapan pembatasan itu. Dia berharap pada 17 Agustus 2024 ini, orang yang tak termasuk penerima subsidi tak bisa lagi menggunakannya.
"Pemberian subsidi yang tidak pada tempatnya, sekarang Pertamina sedang menyiapkan dan saya berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai dimana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kita kurangi, kita hitung disitu," kata dia.
Dengan pembatasan tadi, dia mengaku akan menurunkan tingkat sulfur yang jadi polusi udara. Alhasil, ikut juga mengurangi banyaknya orang yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).
"Dan itu juga akan menghemat (biaya) kesehatan sampai Rp 38 triliun ekstra pembayaran BPJS. Jadi sebenarnya banyak sekali efisiensi di negeri ini yang bertahap sekarang sedang dibereskan," tegasnya.
Advertisement