Sukses

Jokowi Belum Pikirkan Batasi Beli BBM Subsidi 17 Agustus 2024

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku belum rapat terkait rencana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi pada 17 Agustus 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) buka suara terkait rencana pembatasan pembelian BBM subsidi mulai 17 Agustus 2024. Dia mengatakan, belum ada bahasan untuk hal tersebut.

Jokowi menegaskan belum ada rencana pembatasan beli BBM Subsidi dalam waktu dekat. Menyusul, rencana pembatasan yang bergulir beberapa waktu belakangan ini.

"Ndak, ndak, ndak, belum ada," tegas Jokowi di Halim Perdanakusuma, Jakarta, dikutip siaran YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (16/7/2024).

Kepala Negara menegaskan lagi belum terpikirkan untuk melakukan pembatasan dalam waktu dekat. Di sisi lain, dia juga belum menggelar rapat dengan para kabinetnya.

"Belum ada pemikiran ke sana, belum, belum rapat juga," ucap Jokowi.

Rencana pembatasan konsumsi BBM Subsidi mencuat setelah disebut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dia bilang, proses itu diharapkan bisa dimulai 17 Agustus 2024 mendatang.

Diungkap Menko Luhut

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Dia memyebut pembatasan itu akan dimulai pada 17 Agustu 2024 mendatang.

Ada rencana untuk membatasi penggunaan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite. Namun, kebijakan ini masih menunggu rampungnya regulasi, yang merujuk pada revisi Perpres 191/2014.

Dia mengatakan, pembatasan menjadi salah satu cara untuk mengurangi konsumsi dan polusi yang dihasilkan. Menurut dia, hal itu sejalan dengan peralihan dari BBM ke bioetanol.

Kemudian masalah penggunaan bensin, kita kan sekarang berencana ini mau mendorong segera bioetanol masuk menggantikan bensin," ujar Menko Luhut melalui akun Instagram @luhut.pandjaitan, dikutip Rabu (10/7/2024).

Tujuannya, untuk mengurangi jumlah polusi yang mencemari udara. Dia mengatakan, pada konteks ini akan tercipta sebuah efisiensi anggaran.

"Supaya polusi udara ini juga bisa dikurangi cepat, karena sulfur yang ini kan lebih dari 500 ppm ya, kita mau sulfurnya itu 50 ppm lah. Nah ini sekarang lagi diproses dikerjakan oleh Pertamina. Nah kalau ini semua berjalan dengan baik dari situ saya kira kita bisa menghemat lagi," ungkap Luhut.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Mulai 17 Agustus 2024

Menko Luhut mengatakan, PT Pertamina (Persero) sudah mulai menyiapkan penerapan pembatasan itu. Dia berharap pada 17 Agustus 2024 ini, orang yang tak termasuk penerima subsidi tak bisa lagi menggunakannya.

"Pemberian subsidi yang tidak pada tempatnya, sekarang Pertamina sedang menyiapkan dan saya berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai dimana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kita kurangi, kita hitung di situ," kata dia.

Dengan pembatasan tadi, dia mengaku akan menurunkan tingkat sulfur yang jadi polusi udara. Alhasil, ikut juga mengurangi banyaknya orang yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).

"Dan itu juga akan menghemat (biaya) kesehatan sampai Rp 38 triliun ekstra pembayaran BPJS. Jadi sebenarnya banyak sekali efisiensi di negeri ini yang bertahap sekarang sedang dibereskan," tegas Menko Luhut.

Kata ESDM

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membantah terkait pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, yang menyebut Pemerintah akan ada pembatasan pembelian BBM pada 17 Agustus 2024.

"Enggak ada pembatasan-pembatasan, masih belum ini kok," kata Arifin Tasrif saat ditemui di kantornya Kementerian ESDM, Jumat (12/7/2024).

Arifin menegaskan, rencana tersebut masih dalam pembahasan lebih lanjut, baik itu skema maupun aturannya. Hal ini karena Pemerintah ingin BBM bersubsidi tepat sasaran penyalurannya.

"Yang subsidi, kita lagi mempertajam dulu, arahnya kan kita mau tepat sasaran jadi diperdalam lagi," ujarnya.

Menteri Arifin juga menyoroti terkat wacana penggantian BBM subsidi dengan BBM jenis baru. Dia menuturkan, sejauh ini Pemerintah belum berencana membuat BBM jenis baru. Melainkan, Pemerintah tengah mencari cara untuk menurunkan polusi udara akibat kendaraan yang menggunakan BBM.

"Enggak, kita sekarang ini banyak bagaimana caranya biar hidup sehat alternatifnya menggunakan BBM yang rendah sulfur," ujarnya.

 

 

3 dari 5 halaman

Anak Buah Erick Thohir Buka Suara soal Pembatasan BBM Subsidi

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan pihaknya menunggu penugasan soal rencana pembatasan beli BBM subsidi. Menurutnya, PT Pertamina (Persero) sebagai operator penyalur BBM akan mengikuti kebijakan yang diputuskan pemerintah.

Arya mengatakan, ketentuan dari konsumsi BBM Subsidi menjadi ranah Kementerian ESDM. Maka, Pertamina akan mengikuti kebijakan yang diputuskan nantinya.

"Kami hanya melaksanakan apa yang diminta oleh regulator dalam hal ini (Kementerian) ESDM, ESDM bilang begini kebijakannya kami sebagai operator melaksanakan," kata Arya, ditemui di Kantor Perum Perhutani, Jakarta, Senin (15/7/2024).

Dia mengatakan, Pertamina tak berhak menentukan kategori konsumen yang berhak menggunakan BBM Subsidi. Namun, Pertamina berurusan dengan langkah teknis di lapangan nantinya.

"Jadi Pertamina itu tidak menentukan bagaimana, apakah ada subsidi yang tepat sasaran, artinya orang yang berhak yang mendapat subsidinya, gitu loh. Dan itu teknisnya baru di Pertamina, tapi soal kebijakan di Kementerian ESDM bukan di kita, kami hanya siap saja," jelasnya.

Terkait skema penyaluran BBM subsidi tepat sasaran sendiri, kata Arya, Pertamina sudah menyiapkannya. Misalnya, dimulai dengan pendataan konsumen BBM melalui aplikasi MyPertamina.

Skema ini memungkinkan petugas SPBU Pertamina untuk mendata kendaraan yang membeli BBM subsidi. Arya bilang, pendataan ini sudah dilakukan sejak lama. "Sudah lama, dari dulu juga kita sudah, selalu bikin pakai lewat MyPertamina, lewat mana sudah, sari dulu sudah, itu sudah proses," paparnya.

 

4 dari 5 halaman

BPH Migas Bocorkan Mekanisme Pembatasan Beli BBM Subsidi

Sebelumnya, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) telah mengantongi skema pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Namun, regulasi pembatasan tak kunjung diteken pemerintah.

Lantas, bagaimana kriteria pembatasan BBM subsidi menurut skema BPH Migas?

Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan telah melakukan kajian beberapa skema pembatasan. Beberapa acuannya adalah jenis plat, hingga besaran CC pada kendaraan. Skema ini disusun untuk membantasi pembelian Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) atau Pertalite.

"Kita sudah menyusun seperti ini, kita menyusun negative list. Misalnya kalau semua mobil plat hitam itu, Pertalite itu tidak bisa mengkonsumsi BBM JBKP, itu kira-kira jumlah konsumennya 21 juta ya diluar mobil penumpang," ujar Saleh dalam sebuah talkshow, Sabtu (13/7/2024).

Saleh mengatakan sudah ada hitung-hitungan mengenai penghematan jumlah volume yang digunakan. Pada saat yang sama, turut dihitung nilai kompensasi yang bisa dihemat dari anggaran negara.

"21 juta kendaraan, ini saving-nya sudah kita hitung kompensasinya berapa kita bisa saving kalau itu setahun, kalau itu misalkan 6 bulan berdasarkan hitung-hitungan," katanya.

Demikian pula dengan pembatasan penggunaan Solar sebagai BBM Subsidi. Dalam kajiannya mencuat kalau pembatasan dilakukan pada mobil plat hitam kecuali pick up.

"Solar itu misalnya semua plat hitam tidak boleh, kecuali pick up, ini contoh kajiannya, kemudian plat kuning, plat kuning ini solar apakah semua kendaraan boleh? Padahal (ada) mereka mengangkut barang-barang mewah misalnya," ucapnya.

"Ini yang kita lakukan simulasi, perhitungan, kalau misalkan ini disetop hanya mereka, tentu yang mengangkut sembako ini bagaimaan? Mitigasinya bagaimana di lapangan seperti apa risikonya apa," beber Saleh.

 

5 dari 5 halaman

Batasi Besaran CC

Selain itu, Saleh menuturkan ada kajian yang juga merujuk pada pembatasan menurut besaran CC mobil. Kajian itu telah dilakukan BPH Migas dan Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada.

"Itu dulu salah satu pemikiran atau hasil studi kami itu adalah itu tadi, lewat CC itu. Jadi kalau memang, tapi sekali lagi kita tidak tahu finalnya ya, ini yang saya sampaikan ini hasil kajian kita bersmaa PSE waktu itu," kata dia.

"Ini kan kelas menengah itu kan kita bisa mengklasifikasikan dalam bentuk CC-bya misalkan gitu, dia di bawah 1.400 cc misalnya dia masih boleh, setelah itu dia tidak boleh dan sebagainya," tambah Saleh.

Kendati begitu, skema final pembatasannya masih menunggu hasil revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Aturan ini disebut-sebut tak kunjung diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Sekali lagi dari kami dari BPH Migas bisanya di sektor bagaimana pengendalian konsumsi JBKP itu adalah dengan mengatur konsumen pengguna," pungkasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini