Sukses

Kinerja Industri Keramik Loyo, Masih Bisa Bangkit?

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengakui bahwa kinerja industri keramik di Indonesia tengah lesu. Kendati begitu, masih ada peluang untuk mengembangkan industri keramik di tanah air.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengakui bahwa kinerja industri keramik di Indonesia tengah lesu. Kendati begitu, masih ada peluang untuk mengembangkan industri keramik di tanah air.

Hal itu disampaikan Ketua Tim Kerja Pembina Industri Keramik dan Kaca Kementerian Perindustrian Syahdi Hanafi, dalam Diskusi INDEF terkait Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik, di Jakarta, Selasa (16/7/2024).

"Keramik di dalam negeri itu masih bisa berkembang," kata Syahdi.

Peluang tersebut dilihat lantaran ekspansi peningkatan produksi dalam negeri. Saat ini konsumsi per kapita ubin keramik dalam negeri masih sekitar 2 meter persegi, sedangkan di Asia Tenggara rata-ratanya di atas 3 meter persegi.

Kemudian, dengan adanya larangan pemakaian produk impor bahan bangunan untuk properti dan kontruksi dari Kementerian PUPR dan Pemberlakuan Permen PUPR nomor 7 tahun 2021 untuk meningkatkan Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).

"Salah satu yang sangat mendukung ini adlaah PUPR sangat concern," ujarnya.

Selain itu, untuk mengembangkan industri keramik dalam negeri didukung dengan dilakukannya revisi Permenperin SNI Ubin Keramik secara wajib sebagai salah satu intrumen non-tarif barrier agar produk impor tidak membanjiri pasar dalam negeri.

Lebih lanjut, Syahdi menyampaikan bahwa industri ubin keramik nasional masih dihadapkan dengan sejumlah tantangan. Pertama, industri ubin keramik dalam negeri mengalami penurunan daya saing dengan produk ubin keramik dari Tiongkok, karena Pemerintah Tiongkok memberikan insentif tax refund 14 persen.

Tantangan kedua, yakni kenaikan biaya produksi keramik sekitar 5-6 persen pasca kenaikan harg BBM dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD.

Ketiga, adanya kenaikan biaya transportasi atau ongkos angkut keramik per 1 September 2022 sekitar 2 - 3 persen dari harga jual keramik. Tantangan terakhir, yakni adanya kenaikan harga gas per 19 Mei 2023 di Jawa Bagian Barat dari 6 USD/MMBTu menjadi 6,5 USD/MMBTU, kemudian di Jawa Bagian Timur dari 6 USD/MMBTU menjadi 6,32 USD/MMBTU.

 

2 dari 4 halaman

Sederet Dampak Impor Keramik ke Indonesia, Angka Pengangguran Bisa Meledak

Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sudah merekomendasikan BMAD atas impor ubin keramik yang berasal dari RRT dengan pengenaan tarif maksimal 199,98 persen, untuk menjaga industri keramik dalam negeri.

Lantas sejauh mana rencana pengenaan kebijakan BMAD ini efektif dalam mendorong industri dalam negeri?

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai rekomendasi penerapan BMAD tersebut akan memberikan beberapa dampak negatif.

Kepala Center of Industry, Trade, and Investment, INDEF Andry Satrio Nugroho, mengatakan implikasi jika BMAD dari hasil investigasi KADI diterapkan maka yang pertama akan terjadi trade diversion, impor akan beralih ke negara lain selain China.

"Trade diversion, kami melihat juga bahwa cukup besar angka diversion ke India dan Vietnam, karena ini dua ekpsortir terbesar untuk HS 690721," kata Andry dalam Diskusi INDEF terkait Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik, di Jakarta, Selasa (16/7/2024).Dampak kedua, pasar persaingan semakin kecil, opsi konsumen semakin sedikit, sehingga harga keramik semakin mahal. Menurutnya, produsen dalam negeri akan ikut serta meningkatkan margin keuntungan dengan cara menaikkan harga jual, karena harga impor keramik meningkat tajam.

 

3 dari 4 halaman

Permintaan Keramik

Selain itu, praktis semakin rendah kuantitas atau volume keramik di pasar, disaat permintaan keramik domestik meningkat, maka harga yang diterima konsumen akan semakin mahal.

"Kami melihat produsen dalam negeri akan ikut serta menaikkan margin dengan cara menaikkan harga jual, karena harga impor keramik meningkat tajam," ujarnya.

Ketiga, dampak negatifnya yakni banyak sektor yang akan terdampak diantaranya sektor retail, real estate atau property, importir, forwarder, logitik yang akan melakukan efisiensi tenaga kerja, sehingga berpotensi meningkatkan penganngguran.

Dampak keempat, dikhawatirkan terjadinya retaliasi yang akan dilakukan oleh pihak China. Sebagai informasi, retaliasi adalah tindakan balasan oleh suatu negara terhadap negara yang menyebabkan kerugian terhadapnya.

"Kemungkinan yang akan terjadi adalah retaliasi balasan terhadap produk-produk asal Indonesia yang akan dilakukan pihak China," pungkasnya.

4 dari 4 halaman

Kemenperin Ungkap Biang Kerok Bikin Industri Keramik Indonesia Menderita

Sebelumnya, Ketua Tim Kerja Pembina Industri Keramik dan Kaca Kementerian Perindustrian Syahdi Hanafi, mengungkapkan permasalahan mengenai kinerja industri keramik di tanah air sudah berlangsung lama.

Permasalahan itu bermula ketika harga gas mulai naik pada tahun 2015. Kenaikan harga gas tersebut membuat kinerja industri keramik menurun, bahkan daya saingnya pun rendah.

"Jadi, mulai parahnya itu kenapa industri keramik kita turun drop karena ada kenaikan harga gas. Sebelum 2015 kita jaya, daya saing kita tinggi bahkan utilisasi 90 persen, setelah itu naik mulai turun drop daya saing kita rendah kalah bersaing harga," kata Syahdi dalam Diskusi INDEF terkait Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik, di Jakarta, Selasa (16/7/2024).

Apalagi ditambah dengan masuknya impor keramik yang membuat produk keramik dalam negeri semakin kalah, karena keramik impor harganya lebih murah.

"Diperparah dengan impor masuk yang murah, di Indonesia konsumennya masih concern terhadap harga," ujarnya.

Melihat hal tersebut, akhirnya pada tahun 2016 Kementerian Perindustrian mulai mendorong penerapan hambatan perdagangan internasional melalui trade remedies, seperti pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), serta Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk menjaga industri keramik dalam negeri.

"Dengan BMAD, terkait dengan ubin keramik ini sebenarnya sudha cukup lama memiliki permasalahan yang berat dan jadi trade remedies yang dikenakan itu mulai tahun 2016 kita mulai mengajukannya karena sudah suffer (menderita)," pungkasnya.