Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita, menilai tidak semestinya TNI secara personal maupun secara institusional diperbolehkan berbisnis. Ini karena bukan tugas TNI untuk berbisnis.
Menurutnya, dengan memperbolehkan TNI berbisnis secara institusional akan merusak tata kelola pemerintahan yang baik di satu sisi karena akan terjadi conflict of interest.
Baca Juga
Di sisi lain akan memperburuk demokrasi negara, karena akan memberikan TNI power resources di luar senjata atau di luar urusan pertahanan.
Advertisement
"Artinya, penambahan power resources untuk TNI bidang ekonomi akan meningkatkan daya tawar TNI di arena politik, yang secara otomatis akan melemahkan daya tawar aktor ekonomi lain," kata Ronny kepada Liputan6.com, Kamis (18/7/2024).
Dampak negatifnya, akan terjadi dominasi TNI di arena pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Hal ini karena urusan ekonomi jauh lebih komplek dan terkait dengan banyak bidang lainya jika dibanding bidang pertahanan itu sendiri.
Ganggu Iklim Usaha dan Politik
Selain itu, dengan masuknya TNI ke ranah bisnis, juga akan mengganggu kesehatan dunia usaha di Indonesia. Pelaku bisnis yang memiliki senjata memiliki power berbeda dengan pelaku bisnis yang tidak bersenjata pada tataran prakteknya.
"Level playing field di sektor-sektor yang dimasuki TNI nantinya akan mendadak rusak, kualitas kompetisi akan mendadak hilang. Toh siapa yang berani bersaing dengan pelaku usaha yang sekaligus pemegang senjata toh. Pada takut didor semua toh!," ujarnya.
Disisi lain, dengan memperbolehkan TNI berbinis akan mengganggu kesehatan sistem politik sekaligus sistem ekonomi nasional.
Bahkan di Amerika, tanpa berbisnis langsung saja, hanya melalui jejaring pengusaha mitra militer atau dikenal dengan sebutan industrial military complex, level playing field bisnis di sektor pertahanan menjadi sangat buruk karena dikuasai segelintir pihak yang memiliki koneksi khusus dengan petinggi-petinggi militer.
"Apalagi jika militer turun langsug berbisnis, lebih bahaya lagi," tegas Ronny.
"Boleh jadi, ada sedikit pengecualian. Misalnya anggota keluarga berbisnis. Inipun harus benar-benar diatur secara detail dan jelas. Karena pada prakteknya, pebisnis yang memiliki anggota keluarga petinggi aparat bisa menelikung banyak aturan dengan menjual nama anggota keluarga yang berstatus petinggi militer atau polisi," ujarnya.
Â
Urusan Pertahanan Itu Penting
Terakhir, perlu dicatat bahwa urusan pertahanan membutuhkan keseriusan tingkat tinggi, apalagi dengan semakin kompleknya tingkat ancaman pertahanan saat ini.
Artinya, semestinya isunya adalah peningkatan kualitas dan profesionalisme TNI di satu sisi yang terjauhkan dari berbagai kepentingan ekonomi politik di satu sisi dan peningkatan kapasitas setta vitalitas pertahanan Indonesia itu sendiri.
"Lalu berapa anggaran yang dibutuhkan setiap tahun untuk mencapai itu. Harusnya itu topiknya, bukan malah menyodorkan wacana yang jelas-jelas preseden-nya tak baik di masa lalu. Sangat disayangkan sekali wacana ini muncul di hari ini," pungkasnya.
Advertisement
Timbulkan Potensi Korupsi
Pengamat Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda, menilai jika abdi negara sebagai pengguna anggaran bersinggungan dengan dunia bisnis yang terkait, maka timbul potensi kecurangan penggunaan anggaran yang menguntungkan segelintir pihak saja.
Huda menjelaskan, dana APBN merupakan dana dari pajak masyarakat, kemudian masuk ke dalam BUMN melalui Penanaman Modal Negara.
Di sisi lain, dunia usaha juga sering berkaitan dengan negara melalui penyediaan barang untuk pemerintah baik Kementerian, Lembaga, Polisi, hingga TNI, sehingga berpotensi korupsi meningkat.
"Berpotensi koruptif juga meningkat. Yang pada akhirnya yang memenangkan project pemerintah dari internal sendiri. Ekonomi semakin terhambat, terutama dari sisi dunia usaha non abdi negara. Maka saya tidak setuju dengan usulan tersebut," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Rabu (17/7/2024).