Sukses

Indonesia Masih Ketergantungan Bahan Baku Pangan Impor, Apa Solusinya?

Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman menyadari banyak bahan baku pangan dipasok dari impor. Menurutnya, perlu penguatan hilirisasi hingga perubahan pola pikir (mindset) petani sebagai solusinya.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman menyadari banyak bahan baku pangan dipasok dari impor. Menurutnya, perlu penguatan hilirisasi hingga perubahan pola pikir (mindset) petani sebagai solusinya.

Dia mengantongi data, sekitar 70-100 persen bahan baku pangan dipasok dari luar negeri. Sementara itu, industri lokal Tanah Air terus berkembang seiring waktu. Adhi bilang, pemerintah perlu menyiapkan strategi besar dalam menjawab persoalan ini.

"Kita harus, pertama dari pemerintah harus punya grand strategi, harus impelementasi dari hulu ke hilir dimana kalau kita mau menjadi negara dengan industri yang besar, kita harus menyesuaikan kebijakan pemerintah itu untuk menunjuang hilirisasi," kata Adhi dalam konferensi pers Food Ingredients Asia 2024, di Jakarta, dikutip Selasa (23/7/2024).

Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menanamkan fondasi hilirisasi tersebut. Namun, kebijakan itu dinilai perlu diikuti oleh kementerian dan lembaga yang mengurusi bagian hulu. Harapannya, bahan baku di industri hilir tak lagi harus mengambil dari impor.

"Inilah sinkronisasi hulu-hilir yang menurut saya yang utama, Jadi kalau lokomotifnya itu industri hilir, gerbong-gerbong hulunya ini harus ikut, jangan gerbongnya itu ikut lokomotif yang lain. Ini yang repot, ini tantangan terbesar," tegasnya.

Pada saat yang sama, ada tantangan mengenai ketersediaan lahan hingga air. Dia mengatakan, kawasan yang bisa menunjang bahan baku sebetulnya banyak, hanya saja lingkupnya masih kecil.

Dengan kawasan yang kecil itu membuat biaya yang cukul besar. Akhirnya, bahan baku yang dihasilkan menjadi lebih mahal dan terpaksa harus impor. "Karena Indonesia ini kaya, kecil, krcil, kecil, kecil, sehingga tidak skala ekonomis, ujung-ujungnya mahal, lebih baik impor daripada ngurusin yang kecil-kecil," urainya.

 

2 dari 4 halaman

Ubah Pola Pikir Petani

Pada konteks bahan baku pangan, Adhi menyarankan adanya perubahan pola pikir (mindset) petani. Utamanya untuk mengarah pada industrialisasi pertanian.

Dia tidak berbicara petani harus melepas lahannya ke pelaku industri, namun bisa dilakukan dengan klasterisasi atau pengelompokan petani sehingga terintegrasi satu sama lain.

"Jadi boleh petani memiliki lahan kecil-kecil tapi harus rela di-manage satu klaster kesatuan sehingga menjadi skala ekonomis yang memadai, bisa mengurangi biaya-biaya, bisa meningkatkan produktivitasnya dan sebagainya, bisa mekanisasi, bisa automatisasi dan bisa menerapkan smart farming," urainya.

Dia mengatakan, konsep serupa dijalankan di Vietnam, China, hingga Taiwan. Ketiga negara itu sudah melakukan otomatisasi mulai dari penanaman bibit hingga proses panen.

"Ini bisa dilakukan kalau petani bersatu dalam manajemen meskipun kepemilikannya kecil-kecil. Jadi petani itu bisa sebagai pemegang saham tapi dikelola bersama menjadi satu hamparan yang luas yang bisa diterapkan teknologi. Itu tantangan terbesar menurut saya harus diatas mindset," jelasnya.

 

3 dari 4 halaman

Bahan Baku Makanan-Minuman RI Dominan Impor

Sebelumnya, Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mencatat banyak bahan baku yang perlu diimpor dari negara lain. Bahkan, ada bahan baku yang 100 persen harus dipasok dari luar negeri.

Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman menilai persoalan bahan baku bagi industri makanan dan minuman ini menjadi pekerjaa rumah (PR) yang tak kunjung usai. Paling masif adalah impor tepung terigu, karena tak ada di Indonesia. Lalu, impor gula yang sepenuhnya kebutuhan industri didatangkan dari luar negeri.

"Ini PR kita yang sampai saat ini masih menjadi PR besar, industri makanan-minuman masih banyak tergantung impor. Kalau kita bahan baku utama seperti terigu ya udah paati 100 persen, karena kita tidak punya gandum," ucap Adhi dalam Konferensi Pers Food Ingredients Asia (Fi Asia) 2024, di Jakarta, Senin (22/7/2024).

"Gula buat industri makanan-minuman juga 100 persen, karena kita masih kurang, untuk produksi lokal itu untuk konsumsi pun masih kurang sehingga untuk industri harus impor 100 persen," sambungnya.

 

4 dari 4 halaman

Impor Susu

Tak cuma itu, dia mencatat impor untuk garam dan kedelai pun ditaksir mencapai 70 persen kebutuhan industri. Termasuk impor susu yang belakangan ini juga digadang akan menopang program minum susu gratis di pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto. "Susu yang sekarang didengung-dengungkan untuk (program) minum susu gratis juga 80 persen bahan bakunya masih impor, jadi banyak," paparnya.

Di sisi lain, bahan baku industri makanan dan minuman ini juga banyak yang dipasok dari impor. Mulai dari perisa, pengawet, hingga pengatur asam sebagai campuran bahan baku lainnya.

"Termasuk ingredietns, ingredients ini juga masih banyak yang impor mulai dari flavour, pengawet, pengatur asam dan lain sebagainya itu banyak sekali yang harus diimpor, kita masih kekurangan," urai Adhi.