Sukses

Indonesia Bakal Terima Duit Rp 7,67 Triliun dari Negara Maju, Buat Apa?

REDD+ adalah upaya dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan insentif kepada negara berkembang yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia akan menerima skema pembayaran berbasis kinerja atau Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation (REDD+) sebesar USD 474 juta atau setara Rp 7,67 triliun (kurs USD1=Rp16.195).

"Untuk skema pembayaran berbasis kinerja, pemerintah Indonesia juga akan menerima dana dari skema pembayaran berbasis kinerja atau Resource Based Payment dari berbagai program REDD+," kata kata Deputi III Bidang Pengembangan Usaha dan BUMN Riset dan Inovasi Kemenko Perekomian Elen Setiadi, dalam webinar Perdagangan dan Bursa Karbon Indonesia, Selasa (23/7/2024).

Sebagai informasi, REDD+ adalah upaya dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan insentif kepada negara berkembang yang mampu mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan.

Sederhananya, skema ini adalah upaya dari negara-negara maju untuk membuat negara berkembang mau turut menanggung dosa bersama, yaitu polusi industri dan polusi jenis lainnya, dengan cara negara berkembang tidak boleh menebangi hutan yang dimilikinya. 

Adapun anggaran sebanyak USD474 juta akan diberikan kepada Provinsi Kalimantan Timur. Provinsi ini akan menerima USD110 juta untuk reduksi emisi sebanyak 20 juta ton CO2 Equivalent dari Forest Carbon Partnership Facility atau Carbon Fund.

Selanjutnya, provinsi Jambi akan menerima sebesar USD70 juta untuk reduksi emisi sebanyak 14 juta ton CO2 Equivalent dari Bio Carbon Fund. Lalu Green Climate Fund yang akan membayar sebesar USD138 juta untuk reduksi emisi sebanyak 20,3 juta ton CO2 Equivalent, dan Resource Based Contribution dari Norwegia akan memberikan sebesar USD156 juta untuk reduksi emisi sebanyak 31,2 juta ton CO2 Equivalent.

2 dari 3 halaman

Kementerian ESDM: Peserta Perdagangan Karbon Naik jadi 146 Pembangkit

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terjadi peningkatan jumlah peserta dalam perdagangan karbon di Indonesia.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, mengatakan pada tahun 2023 jumlah peserta dalam perdagangan karbon ada 99 unit pembangkit batubara yang terhubung kepada jaringan PLN dengan kapasitas yang lebih besar atau sama dengan 100 Megawatt.

Untuk tahun ini jumlah peserta menjadi 146 unit, dengan adanya tambahan kapasitas unit PLTU batubara dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 25 Megawatt.

"Jadi, kami terus meningkatkan dari sisi peserta yang ikut di dalam perdagangan karbon secara khusus untuk pembangkit tenaga listrik," kata Dadan dalam diskusi perdagangan dan bursa karbon Indonesia 2024, Selasa (23/7/2024).

Diketahui, Presiden Joko Widodo telah melaunching bursa karbon pada 26 September 2023. Kata Dadan, saat ini perdagangan karbon sedang memasuki tahun kedua atau periode terakhir dari fase yang pertama. Perdagangan karbon di subsektor ini diselenggarakan dalam 3 fase.

 

3 dari 3 halaman

Diterapkan Bertahap

Fase pertama tahun 2023 dan tahun 2024. Kemudian fase kedua adalah tahun 2025 hingga tahun 2027. Fase ketiga tahun 2028 hingga 2030.

Maka dengan demikian, perdagangan karbon akan diterapkan secara bertahap ke seluruh pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar fosil baik yang terhubung kepada jaringan PLN maupun untuk penggunaan sendiri, seperti pembangkit untuk kepentingan sendiri dan juga pembangkit di wilayah usaha non-PLN.

Adapun Kementerian ESDM mencatat, hasil transaksi perdagangan karbon di tahun 2023 mencapai 7,1 juta ton CO2 ekuivalen atau senilai Rp84,17 miliar.

"Dimana 7,04 juta ton berasal dari transaksi perdagangan emisi melalui mekanisme langsung," pungkasnya.

Video Terkini