Liputan6.com, Jakarta - Indonesia tengah menjalani proses menjadi anggota penuh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Ternyata, tergabungnya Indonesia dinilai tak sebatas mengenai kemudahan menarik investasi.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyampaikan, meski OECD didominasi oleh perspektif ekonomi, tapi ada aspek sosial yang juga menjadi perhatian.
Baca Juga
"Kami lihat soal social protect, antikorupsi yang saya kira itu saling berkelindan. Kalau kita lihat dalam konteks agenda yang nantinya kalau kita benar-benar masuk OECD hal-hal itu harus jadi pertimbangan," ungkap dia dalam Diseminasi Publik bertajuk Mengkaji Aksesi Indonesia Menuju OECD Dalam Perspektif Masyarakat Sipil, di Jakarta, Selasa (23/7/2024).
Advertisement
Dia memandang soal menarik investasi hanya salah satu dari banyak aspek. Soal ini, masih ada banyak syarat yang perlu dipenuhi Indonesia. Dia mencatat, ada sekitar 26 syarat yang harus dipenuhi sesuai standar OECD dalam kaitannya untuk mendatangkan investasi.
"Jadi dalam perspektif masyarakat sipil tentu OECD bukan hanya ruang, karena kami baca ruang agar investasi datang bertriliun ke Indonesia," tegasnya.
Soal syarat-syarat ini, kata dia, jadi tantangan untuk dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya terkait prinsip anti korupsi, perlindungan lingkungan, hingga tanggung jawab terhadap tata kelola atau governance.
"Jadi apa yang kami tuliskan ini mungkin hanya sebagian kecil perspektif masyarakat sipil karena ada bagian lain yang belum dituliskan misalnya soal gender diversity atau yang lain," ucapnya.
Tata Kelola BUMN Diakui OECD
Diberitakan sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir menyebut tata kelola BUMN sudah diakui sejalan dengan ketentuan yang dianut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Salah satunya berkat adanya transformasi BUMN yang dijalankan.
Misalnya, terkait penyederhanaan regulasi Peraturan Menteri (Permen) BUMN dari 45 aturan menjadi 3 aturan inti. Menurutnya, simplifikasi dan penataan regulasi ini tidak lain untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi secara global. Namun tetap memiliki landasan hukum agar bisnis yang dijalankan BUMN bisa tetap relevan dan menganut prinsip kehati-hatian (prudent).
“Saya berharap dengan terobosan ini bisa menjadi panduan dalam menghadapi globalisasi dan kita tidak terkungkung dalam lingkaran (persoalan) yang itu-itu saja, sehingga bisa mengantisipasi perubahan yang cepat dengan mengeluarkan kebijakan dan keputusan yang prudent,” ungkap Erick dalam keterangannya, Senin (22/7/2024).
Dia mengatakan, terobosan yang dilakukan Kementerian BUMN tersebut menjadi daya dorong percepatan BUMN. Tujuannya untuk bersaing yang dilandasi aturan main yang jelas, agar BUMN tidak hanya berskala nasional tapi juga internasional.
Advertisement
Penataan Regulasi
Bahkan, dalam laporan OECD yang membahas mengenai indikator Product Market Regulations (PMR), disebutkan bahwa Tata Kelola BUMN sudah selaras dengan negara-negara OECD. Hal ini menandakan Kementerian BUMN telah berada di jalur yang tepat dalam hal tata kelola BUMN, khususnya transformasi regulasi.
Upaya penataan regulasi dan simplifikasi Peraturan Menteri BUMN atau disebut juga 'Omnibus Law Peraturan BUMN' telah jadi pedoman UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU 13/2022 tersebut lahir dengan salah satu pertimbangan agar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan juga menambahkan pengaturan mengenai metode omnibus serta memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation).