Sukses

Perusahaan Tambang Raksasa Australia Mau Investasi di Indonesia, Garap Apa?

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan adanya peluang bagi perusahaan tambang multinasional Australia, BHP Group Limited, untuk masuk dan berinvestasi di Indonesia setelah menutup bisnis nikel mereka di Australia.

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan adanya peluang bagi perusahaan tambang multinasional Australia, BHP Group Limited, untuk masuk dan berinvestasi di Indonesia setelah menutup bisnis nikel mereka di Australia.

Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa pihaknya telah berdiskusi dengan BHP terkait potensi investasi mereka di Indonesia.

“Namun, keputusan final masih belum pasti dan tergantung pada beberapa faktor, termasuk situasi politik dan regulasi yang akan dikeluarkan oleh pemerintahan baru," ujar dia, dikutip dari Antara, Selasa (30/7/2024).

Meidy menyebut ada beberapa faktor yang membuat BHP berpeluang besar masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah tingginya biaya produksi tambang sulfida yang dimiliki BHP di Australia dibandingkan dengan tambang nikel laterit yang dominan di Indonesia.

Menurut dia, BHP juga semakin tertekan dengan anjloknya harga nikel dunia. Perusahaan ini kesulitan mempertahankan daya saingnya karena tidak mampu menekan biaya produksi.

Di sisi lain, dengan dukungan insentif dan fasilitas pemerintah yang memadai, Indonesia dinilai lebih kompetitif dalam hal biaya produksi.

“Nah itu salah satu alasan yang membuat BHP akhirnya mungkin menyerah daripada rugi terus,” ujar Meidy.

Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa BHP telah memiliki infrastruktur hilir untuk mengolah nikel matte. Untuk menjamin kelangsungan operasional, perusahaan tersebut membutuhkan pasokan nikel yang kontinu.

Oleh karena itu, Indonesia, dengan potensinya sebagai produsen nikel besar, dinilai sebagai mitra yang potensial.

APNI berharap jika BHP benar-benar masuk ke Indonesia, maka itu dapat mendorong masuknya investor-investor besar lainnya selain China. Ini bertujuan untuk mengurangi dominasi investasi dari satu negara dan menciptakan persaingan yang sehat di sektor pertambangan nikel Indonesia.

“Sehingga (investasi) kita tidak disebut dikuasai China,” katanya pula.

2 dari 3 halaman

Luhut Incar Afrika Jadi Pasar Kendaraan Listrik Made In Indonesia

Indonesia tengah mempersiapkan ekosistem kendaraan listrik dari hulu sampai hilir. Bahkan, Indonesia sudah mempersiapkan pasar ekspor dari komponen kendaraan listrik.  

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan, benua Afrika menjadi salah satu target ekspor produk baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) dari Indonesia.

“Populasi di Afrika akan berlipat ganda pada 2045. Ini akan menjadi pasar yang besar,” ujar Luhut di acara International Battery Summit, dikutip dari Antara Senin (29/7/2024). Oleh karena itu, Indonesia dengan gencar mengajak negara-negara di benua Afrika untuk bekerja sama.

Dalam rangka membangun kerja sama tersebut, kata Luhut, ia sempat berkunjung ke Afrika untuk menjalin komunikasi terkait industri kendaraan listrik.

“Mereka melihat Indonesia sebagai negara yang dapat membantu mereka terkait kendaraan listrik ini,” kata Luhut.

 Lebih lanjut, pada September mendatang, Luhut mengatakan akan membahas lebih jauh terkait rencana kerja sama di bidang EV dengan negara-negara Afrika dalam Indonesia-Africa Forum.

“Kami akan dengan senang hati membangun kolaborasi bersama mereka, khususnya Kenya dan Afrika Selatan,” ucapnya.

Luhut menjelaskan, pada dasarnya, Indonesia sudah memiliki berbagai kerja sama dengan negara-negara di Afrika. Salah satunya adalah kerja sama Pertamina dengan Kenya, serta potensi kerja sama listrik dengan PLN.

“Pertamina dengan PLN di Afrika Selatan juga sudah dikerjakan, dan kita juga ajak World Bank dengan Afrika, nanti kita lihat,” ucap Luhut.

 

3 dari 3 halaman

Potensi Kobalt

Lebih lanjut, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan bahwa Afrika memiliki potensi kobalt yang lebih baik apabila dibandingkan dengan Indonesia.

“Walaupun kita punya kobalt, tapi tidak sebanyak di Afrika. Karena kobalt kita kan nempel di nikel,” ujar Agus.

Oleh karena itu, menurut Agus, selain menyasar benua Afrika sebagai pasar baterai EV, kerja sama dengan negara-negara Afrika juga bisa memanfaatkan potensi kobalt yang ada di sana.

“Kalau ini (potensi kobalt) bisa dikerjasamakan,” kata dia.