Sukses

Jaga Kemandirian LPS, Masyarakat Ajukan Uji Materil UU PPSK ke MK

Kelompok masyarakat yang terdiri dari dosen dan mahasiswa mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) ke Mahkamah Konstitusi.

 

Liputan6.com, Jakarta Kelompok masyarakat yang terdiri dari dosen dan mahasiswa mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) ke Mahkamah Konstitusi.

Uji materiil ini dilakukan dalam upaya menjaga kepastian jaminan perlindungan simpanan masyarakat ketika bank di cabut izin usahanya oleh OJK dan dilakukan proses likuidasi berdasarkan ketentuan LPS.

Salah satu aspek yang disorot adalah ketentuan Pasal 86 ayat (4) UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang mengatur rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional LPS yang harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.

Uji materiil ini telah terdaftar di Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 85/PUU-XXII/2024 dan akan mulai disidangkan pada 1 Agustus 2024.

“Tujuan utama permohonan ini adalah menjaga kemandirian dan independensi LPS agar perlindungan jaminan simpanan masyarakat dapat dilakukan secara optimal, terutama ketika bank dicabut izin usahanya dan memasuki tahap likuidasi. Kami berharap LPS yang mandiri dan independen tidak akan terpengaruh oleh keberpihakan yang dapat menyebabkan simpanan masyarakat di bank yang dilikuidasi kehilangan jaminan perlindungan," kata Kuasa Hukum Pemohon, Miko Ginting dikutip Rabu (31/7/2024).

Para Pemohon khawatir bahwa LPS dapat kehilangan independensinya karena intervensi pihak lain yang secara tidak langsung mengendalikan keuangan LPS. Intervensi semacam ini bertentangan dengan praktik terbaik (best practices) yang diakui dalam dunia perbankan, terutama bagi lembaga deposit insurance.

Tindakan LPS dalam menjamin simpanan masyarakat di bank yang dilikuidasi seharusnya didasarkan pada pendekatan keahlian (teknokratik), bukan pertimbangan politik yang dapat menyebabkan keberpihakan pada pihak tertentu dibandingkan kepentingan masyarakat luas.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kondisi Krisis

Terlebih lagi, Pasal 276 angka 28 UU PPSK (vide Pasal 36C ayat (1)) menyatakan bahwa dalam kondisi krisis, LPS memberikan penjaminan terhadap seluruh simpanan milik Pemerintah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kontrol Kementerian Keuangan terhadap LPS dapat menyebabkan penjaminan simpanan dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah semata, yang pada akhirnya merugikan nasabah kecil.

“Kita pernah mendapatkan pembelajaran berharga dari sebuah pendekatan yang tidak semata berbasis pada keahlian (teknokratik), yaitu pada era BLBI. Pengambilan keputusan yang tidak independen saat itu menjadi problem di kemudian hari. Hingga hari ini kita masih melihat banyaknya kewajiban obligor kepada negara yang belum terselesaikan”, kata Miko.

Selain persoalan persetujuan Menteri Keuangan terhadap rencana kerja dan anggaran tahunan LPS tersebut, permohonan ini juga mempersoalkan kewenangan tambahan pada LPS berupa penempatan dana dalam proses penyehatan bank.

Miko menjelaskan bahwa adanya kewenangan tambahan pada LPS ini mengakibatkan ketidakjelasan mengenai kedudukan BI dan LPS terkait entitas mana yang difungsikan sebagai lender of last resort. 

 

3 dari 3 halaman

Kewenangan LPS

Ditambah kewenangan LPS dalam penempatan dana pada bank dalam penyehatan memiliki syarat yang berbeda dan jauh lebih mudah dibandingkan syarat Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek yang dipunyai BI.

Secara sistematis Pasal 276 angka (3), angka (11), angka (13), dan angka (24) UU PPSK mengatur kewenangan penempatan dana oleh LPS yakni untuk Bank Sistemik maupun selain Bank Sistemik yang mengalami permasalahan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan solvabilitas dari BI, dan tidak memiliki proyeksi kas yang memadai. Bank penerima penempatan dana oleh LPS hanya disyaratkan "harus memberikan jaminan berupa aset yang dianggap layak untuk pengembalian penempatan dana".

"Penambahan kewenangan penempatan dana bagi LPS dengan persyaratan yang jauh lebih mudah dibandingkan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek dari BI berpotensi mengakibatkan kemampuan finansial LPS menjadi lebih difokuskan untuk kepentingan tertentu dibandingkan untuk keperluan melakukan penjaminan dana nasabah masyarakat kecil secara luas, dan hal ini pada akhirnya akan merugikan masyarakat yang memiliki simpanan di bank", terang Miko.

“Pemohon sebagai warga negara, dalam kapasitasnya sebagai dosen dan mahasiswa sekaligus nasabah, ingin mengantisipasi hal tersebut. Sebagai dosen hukum tata negara yang fokus pada lembaga-lembaga independen, Pemohon melihat ada persoalan jaminan hukum di sini. Sebagai nasabah yang simpanannya dijamin oleh LPS, Pemohon sangat berkepentingan akan independensi LPS yang tidak berpihak pada kepentingan tertentu baik dalam menjalankan rencana kerja dan anggaran serta kewenangan yang tidak merugikan penjaminan dana nasabah," tutup dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.