Sukses

Utang Pemerintah Sentuh Rp 8.444 Triliun, Berapa Pinjaman Luar Negeri Jelang Akhir Era Jokowi?

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan utang pemerintah semester I-2024 telah menembus Rp 8.444,87 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan utang pemerintah hingga Juni 2024 telah mencapai Rp 8.444,87 triliun, naik sebesar Rp 91,85 triliun dari bulan sebelumnya sebesar Rp 8.353,02 triliun.

Peningkatan ini menyebabkan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) naik dari 38,71 persen menjadi 39,13 persen pada Juni 2024.

Meskipun mengalami peningkatan, posisi utang pemerintah masih berada di bawah batas aman yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu 60 persen terhadap PDB.

"Jumlah utang pemerintah per akhir Juni 2024 tercatat Rp 8.444,87 triliun. Rasio utang per akhir Juni 2024 yang sebesar 39,13 persen terhadap PDB, tetap konsisten terjaga di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU Nomor 17 tahun2003 tentang Keuangan Negara," tulis Kemenkeu dikutip Rabu, 31 Juli 2024, ditulis Kamis (1/8/2024).

Kemenkeu menjelaskan, utang pemerintah terdiri dari dua jenis, yaitu surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. Namun, mayoritas utang pemerintah per Juni 2024 didominasi oleh SBN sebesar 87,85 persen, sedangkan sisanya adalah pinjaman sebesar 12,15 persen.

Lebih rinci lagi, utang pemerintah dalam bentuk SBN mencapai Rp 7.418,76 triliun, terdiri dari SBN domestik sebesar Rp 5.967,70 triliun yang berasal dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), serta SBN valuta asing sebesar Rp 1.451,07 triliun.

Pinjaman Luar Negeri

Selain itu, utang pemerintah dari pinjaman luar negeri mencapai Rp 1.026,11 triliun, dengan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 38,10 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 988,01 triliun. Pinjaman luar negeri tersebut terdiri dari pinjaman bilateral, multilateral, dan dari bank komersial atau commercial bank. Masing-masing besaran pinjaman itu sebesar Rp 263,72 triliun, Rp 600,47 triliun dan Rp 123,83 triliun.

Kemenkeu juga mencatat profil jatuh tempo utang Indonesia per Juni 2024 masih terhitung aman, dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) sebesar 7,98 tahun. Disiplin pemerintah dalam mengelola utang juga mendukung pemertahanan peringkat kredit Indonesia pada level investment grade oleh lembaga pemeringkat kredit antara lain S&P, Fitch, Moody's, R&I, dan JCR.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

5 Tantangan Berat APBN 2025 Era Prabowo

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengungkapkan, pemerintahan baru di era Prabowo-Gibran akan menghadapi 5 tantangan terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Tantangan pertama adalah menyelesaikan defisit APBN yang diwariskan dari proyek era pemerintahan Presiden Jokowi. Bhima menjelaskan defisit APBN semakin melebar karena adanya suntikan modal ke BUMN dan belanja operasional yang semakin besar.

Tantangan kedua terkait rasio pajak, Bhima menyebut, rasio pajak berisiko turun karena tekanan pada sektor komoditas, kurang optimalnya kepatuhan wajib pajak kakap, dan sektor digital.

Selain itu, pemerintahan baru juga dihadapkan pada tantangan utang yang jatuh tempo tahun depan sebesar Rp 800 triliun yang harus dibayar oleh Prabowo Subianto. Hal ini akan mempersulit manuver anggaran untuk program baru seperti makan siang gratis. Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, pemerintahan baru perlu mencari solusi yang inovatif dan kreatif. Bhima menekankan pentingnya memperhatikan kebijakan fiskal yang berkelanjutan dan efisien.

Selain itu, peningkatan kepatuhan wajib pajak dan pengembangan sektor digital juga perlu menjadi fokus pemerintah. Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, diharapkan APBN 2025 dapat terkelola dengan baik dan mendukung pembangunan ekonomi negara.

3 dari 4 halaman

Pertumbuhan Ekonomi

Risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi menghantui Indonesia akibat menurunnya permintaan dari mitra dagang utama, terutama China. Bhima menuturkan, investasi saat ini semakin selektif karena suku bunga yang masih tinggi dan risiko geopolitik yang ada. Ia berharap agar Menteri Ekonomi dan Keuangan yang baru, Prabowo, dapat lebih rasional dalam mengambil keputusan dan menolak program yang memakan anggaran besar.

Namun, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka  Ibrahim Assuaibi mengatakan, target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% dalam 5 tahun masa kepemimpinan Prabowo Subianto akan sulit tercapai jika tidak ada perbaikan pada masalah struktural ekonomi Indonesia.

Selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi Indonesia terhenti di angka sekitar 5%. Bahkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% yang dijanjikan Jokowi saat kampanye Pilpres pada tahun 2014 tidak pernah tercapai. Dengan demikian, permasalahan struktural ekonomi Indonesia menjadi kendala utama dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius.

4 dari 4 halaman

Utang Orang Indonesia Pakai Paylater Tembus Rp 6,81 Triliun, Kamu Ada?

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran piutang pembiayaan perusahaan Buy Now Pay Later (BNPL) atau bayar nanti mencapai Rp 6,81 triliun per Mei 2024.

"Total penyaluran piutang pembiayaan perusahaan Buy Now Pay Later (Paylater) Mei 2024 meningkat 33,64 persen yoy menjadi sebesar Rp6,81 triliun," kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman, dalam keterangan tertulis, Selasa (9/7/2024).

Peningkatan tersebut, kata Agusman dibarengi dengan profil risiko pembiayaan yang tercermin dari rasio Non Performing Financing (NPF) Gross dan NPF Netto masing-masing sebesar 3,22 persen dan 0,84 persen per Mei 2024.

Menurutnya, pembiayaan BNPL di Indonesia memiliki potensi pasar yang cukup besar sejalan dengan perkembangan perekonomian berbasis digital.

Terkait aturan paylater OJK masih melakukan kajian. Hal ini sejalan dengan perkembangan layanan BPNL di tanah air, agar ke depannya bisa memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan inklusi keuangan di Indonesia.

Adapun kajian yang dilakukan, pertama, mengenai persyaratan perusahaan pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan paylater. Kedua, terkait kepemilikan sistem informasi.

Ketiga, terkait pelindungan data pribadi. Keempat, rekam jejak audit. Kelima, terkait sistem pengamanan, akses dan penggunaan data pribadi, kerja sama dengan pihak lain, terkahir terkait manajemen risiko.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.