Sukses

Pengangguran Melonjak, Ekonomi AS Menuju Resesi?

Sejumlah ekonom berbagi pandangannya mengenai ekonomi AS apakah berpeluang resesi atau tidak setelah rilis data laporan pekerjaan AS.

Liputan6.com, Jakarta - Angka pengangguran yang melonjak tak terduga di Amerika Serikat (AS) telah membuat pandangan ekonom terbagi. Apakah AS berada di ambang resesi atau tidak?

Mengutip Al Jazeera, ditulis Senin (5/8/2024), jumlah pengangguran melonjak ke level tertinggi hampir tiga tahun sebesar 4,3 persen pada Juli, berdasarkan data yang dirilis Jumat pekan lalu.

Peningkatan pengangguran itu dari 4,1 persen pada Juni, dan naik dari level terendah dalam lima dekade sebesar 3,4 persen pada April tahun lalu menjadi latar belakang, lebih dari sebelumnya. Hal ini menjadi sentimen untuk memangkas suku bunga the Federal Reserve (the Fed) pada September.

Yang Menimbulkan Pertanyaan: Apakah Sudah Terlambat?

Peneliti Senior di Peterson Institute for International Economics, Gary Clyde Hufbauer menuturkan, lonjakan angka pengangguran menunjukkan resesi pada 2025. “Saya memperkirakan the Fed akan mulai memangkas suku bunga pada September dan akan terus memangkasnya pada pertemuan berikutnya. Respons itu mungkin akan memastikan resesi yang dangkal,” ia menambahkan.

Bursa saham Amerika Serikat atau wall street juga bereaksi pada Jumat, 2 Agustus 2024 karena kekhawatiran resesi. Indeks Dow Jones turun hampir dua persen pada Jumat sore. Indeks S&P 500 susut 2 persen. Di tengah kondisi itu, ada seruan pemangkasan suku bunga lebih besar dan lebih banyak dari yang diperkirakan sejauh ini.

Ekonom di Goldman Sachs dan Citigroup mengubah harapannya terkait pemangkasan suku bunga menjadi 0,50 persen pada September dan November, lalu pada Desember sekitar 0,25 persen.

Semua ini terjadi setelah seminggu hadapi data yang lemah termasuk perlambatan manufaktur dan sentimen ketenagakerjaan yang negatif menunjukkan tren penurunan ekonomi.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tak Menandakan Resesi

Namun, tidak semua orang setuju dengan skenario ini. “Kami tidak melihat ada resesi meski pasar saham saat ini berperilaku seperti antisipasi resesi,” ujar Ekonom Oxford Economics, Nancy Vanden Houten kepada Al Jazeera.

Ia menambahkan, laporan pekerjaan jelas lebih lemah dari yang diharapkan sebagian besar ekonom. “Dan kami tidak mengabaikan tanda-tanda pasar tenaga kerja yang lebih lemah, tetapi ada hal-hal yang terjadi di balik permukaan,” ujar Vanden Houten.

Pertama, ada lebih banyak orang yang mencari pekerjaan, sekitar 420.000 orang memasuki dunia kerja bulan lalu. “Mereka adalah imigran baru yang memasuki dunia kerja, dan itu hal yang baik,” Vanden Houten menambahkan.

Selain itu, dalam survei pekerjaan, terjadi lonjakan besar dalam jumlah orang yang mengaku alami PHK sementara atau tidak bekerja karena cuaca buruk. Hal ini merujuk pada perlambatan pekerjaan di Texas akibat Badai Beryl bulan lalu.

“Jumlah orang yang melaporkan tidak bekerja pada Juli karena cuaca buruk lebih tinggi dari pada bulan-bulan selain musim dingin sejak September 2017, ketika dampak Badai Harvey, Irma dan Maria hantam AS Tenggara,” ujar Asisten Direktur Moody’s Analytics, Matt Colyar.

Colyar menambahkan, ini hanyalah bukti apa yang ingin dilakukan oleh the Federal Reserve, memperlambat ekonomi, pekerjaan sehingga orang tidak  terus menerus berpindah pekerjaan dan mendapatkan kenaikan gaji 8-10 persen sedang terjadi. “Ini tidak menandakan resesi,” ujar dia.

3 dari 4 halaman

Butuh Laporan Pekerjaan Lainnya

Selain itu, Vanden Houten menuturkan, resesi pra-pandemi COVID-19 terakhir memiliki katalisator lain untuk kemerosotan termasuk utang rumah tangga yang sangat tinggi dan hipotek yang tidak dapat dipenuhi oleh pemilik rumah merupakan situasi yang saat ini tidak ada.

Namun, data itu telah memicu perbincangan tentang apa yang disebut aturan Sahm. Mantan ekonom the Federal Reserve Claudia Sahm menemukan ukuran yang memeriksa seberapa cepat tingkat pengangguran meningkat untuk menentukan apakah itu merupakan indikasi resesi.

Namun, Sahm meragukan resesi “akan segera terjadi” meski aturan Sahm hampir memicu resesi.

Untuk saat ini, baik Vanden Houten dan Colyar tetap berpegang pada prediksi sebelumnya tentang pemangkasan suku bunga, sebesar 0,25 persen pada September dan satu pada Desember.

“Butuh lebih dari satu laporan pekerjaan yang buruk agar saya dapat mengatakan kalau resesi yang ditunggu-tunggu setiap hari akhirnya tiba,” ujar Colyar.

 

 

4 dari 4 halaman

Bakal Pengaruhi Pilpres 2024

Untuk saat ini, semua mata tertuju kepada laporan pekerjaan bulan depan untuk gambaran lebih jelas mengenai pasar tenaga kerja dan ekonomi AS. Colyar menuturkan, pihaknya akan melacak klaim pengangguran mingguan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan di lapangan.

Meskipun demikian, data terbaru akan memengaruhi pemilihan presiden 2024. Tim kampanye mantan Presiden Donald Trump pada Jumat pekan lalu mengatakan laporan pekerjaan tersebut adalah "bukti lebih lanjut bahwa ekonomi Biden-Harris mengecewakan rakyat Amerika". Demikian dari laporan kantor berita The Associated Press.

Setiap pelemahan ekonomi akan merugikan petahana, kata Vanden Houten. Vanden Houten menuturkan, ,eskipun Presiden Joe Biden tidak lagi mencalonkan diri, Wakil Presiden Kamala Harris adalah bagian dari Tim Biden dan ini dapat berdampak negatif padanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.