Sukses

AS Diramal Mau Resesi, Menko Airlangga Langsung Pasang Kuda-kuda

Resesi ekonomi di Amerika Serikat dapat memicu keluarnya aliran modal dari pasar domestik atau capital flight ke AS. Mengingat, tingkat suku bunga domestik masih lebih tinggi dari laju inflasi.

Liputan6.com, Jakarta - Angka pengangguran yang melonjak tak terduga di Amerika Serikat (AS). Sejumlah ekonom melihat bahwa AS tengah di ambang resesi. Tentu saja, jika Amerika Serikat mengalami resesi maka akan berdampak kepada seluruh dunia. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap dampak dari potensi resesi ekonomi yang melanda Amerika Serikat (AS). Saat ini, pemerintah terus memonitor perkembangan ekonomi di Negeri Paman Sam tersebut.

"Kemudian yang terkait dengan US, tentu kita terus monitor," kata Airlangga dalam konferensi pers di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (5/8/2024).

Airlangga menyebut, resesi ekonomi di AS dapat memicu keluarnya aliran modal dari pasar domestik atau capital flight ke AS. Mengingat, tingkat suku bunga domestik masih lebih tinggi dari laju inflasi. Saat ini, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga di level 6,25 persen.

"Karena tentu kalau kita lihat tingkat suku bunga kita dibandingkan inflasi gap-nya agak tinggi," ujarnya.

Airlangga berharap tingkat suku bunga di AS dapat diturunkan pada kuartal IV-2024 mendatang. Meskipun, belum ada sinyal kuat dari Bank Sentral AS yakni The Fed untuk menurunkan suku bunga acuan.

"Dan tentu kita berharap bahwa tingkat suku bunga US di Q4 bisa turun walaupun belum ada yang menjamin," tandasnya.

 

2 dari 4 halaman

Pengangguran Melonjak, Ekonomi AS Menuju Resesi?

Angka pengangguran yang melonjak tak terduga di Amerika Serikat (AS) telah membuat pandangan ekonom terbagi. Apakah AS berada di ambang resesi atau tidak?

Mengutip Al Jazeera, ditulis Senin (5/8/2024), jumlah pengangguran melonjak ke level tertinggi hampir tiga tahun sebesar 4,3 persen pada Juli, berdasarkan data yang dirilis Jumat pekan lalu.

Peningkatan pengangguran itu dari 4,1 persen pada Juni, dan naik dari level terendah dalam lima dekade sebesar 3,4 persen pada April tahun lalu menjadi latar belakang, lebih dari sebelumnya. Hal ini menjadi sentimen untuk memangkas suku bunga the Federal Reserve (the Fed) pada September.

Yang Menimbulkan Pertanyaan: Apakah Sudah Terlambat?

Peneliti Senior di Peterson Institute for International Economics, Gary Clyde Hufbauer menuturkan, lonjakan angka pengangguran menunjukkan resesi pada 2025. “Saya memperkirakan the Fed akan mulai memangkas suku bunga pada September dan akan terus memangkasnya pada pertemuan berikutnya. Respons itu mungkin akan memastikan resesi yang dangkal,” ia menambahkan.

Bursa saham Amerika Serikat atau wall street juga bereaksi pada Jumat, 2 Agustus 2024 karena kekhawatiran resesi. Indeks Dow Jones turun hampir dua persen pada Jumat sore. Indeks S&P 500 susut 2 persen. Di tengah kondisi itu, ada seruan pemangkasan suku bunga lebih besar dan lebih banyak dari yang diperkirakan sejauh ini.

Ekonom di Goldman Sachs dan Citigroup mengubah harapannya terkait pemangkasan suku bunga menjadi 0,50 persen pada September dan November, lalu pada Desember sekitar 0,25 persen.

Semua ini terjadi setelah seminggu hadapi data yang lemah termasuk perlambatan manufaktur dan sentimen ketenagakerjaan yang negatif menunjukkan tren penurunan ekonomi.

  

3 dari 4 halaman

Tak Menandakan Resesi

Namun, tidak semua orang setuju dengan skenario ini. “Kami tidak melihat ada resesi meski pasar saham saat ini berperilaku seperti antisipasi resesi,” ujar Ekonom Oxford Economics, Nancy Vanden Houten kepada Al Jazeera.

Ia menambahkan, laporan pekerjaan jelas lebih lemah dari yang diharapkan sebagian besar ekonom. “Dan kami tidak mengabaikan tanda-tanda pasar tenaga kerja yang lebih lemah, tetapi ada hal-hal yang terjadi di balik permukaan,” ujar Vanden Houten.

Pertama, ada lebih banyak orang yang mencari pekerjaan, sekitar 420.000 orang memasuki dunia kerja bulan lalu. “Mereka adalah imigran baru yang memasuki dunia kerja, dan itu hal yang baik,” Vanden Houten menambahkan.

Selain itu, dalam survei pekerjaan, terjadi lonjakan besar dalam jumlah orang yang mengaku alami PHK sementara atau tidak bekerja karena cuaca buruk. Hal ini merujuk pada perlambatan pekerjaan di Texas akibat Badai Beryl bulan lalu.

“Jumlah orang yang melaporkan tidak bekerja pada Juli karena cuaca buruk lebih tinggi dari pada bulan-bulan selain musim dingin sejak September 2017, ketika dampak Badai Harvey, Irma dan Maria hantam AS Tenggara,” ujar Asisten Direktur Moody’s Analytics, Matt Colyar.

Colyar menambahkan, ini hanyalah bukti apa yang ingin dilakukan oleh the Federal Reserve, memperlambat ekonomi, pekerjaan sehingga orang tidak  terus menerus berpindah pekerjaan dan mendapatkan kenaikan gaji 8-10 persen sedang terjadi. “Ini tidak menandakan resesi,” ujar dia.

4 dari 4 halaman

Butuh Laporan Pekerjaan Lainnya

Selain itu, Vanden Houten menuturkan, resesi pra-pandemi COVID-19 terakhir memiliki katalisator lain untuk kemerosotan termasuk utang rumah tangga yang sangat tinggi dan hipotek yang tidak dapat dipenuhi oleh pemilik rumah merupakan situasi yang saat ini tidak ada.

Namun, data itu telah memicu perbincangan tentang apa yang disebut aturan Sahm. Mantan ekonom the Federal Reserve Claudia Sahm menemukan ukuran yang memeriksa seberapa cepat tingkat pengangguran meningkat untuk menentukan apakah itu merupakan indikasi resesi.

Namun, Sahm meragukan resesi “akan segera terjadi” meski aturan Sahm hampir memicu resesi.

Untuk saat ini, baik Vanden Houten dan Colyar tetap berpegang pada prediksi sebelumnya tentang pemangkasan suku bunga, sebesar 0,25 persen pada September dan satu pada Desember.

“Butuh lebih dari satu laporan pekerjaan yang buruk agar saya dapat mengatakan kalau resesi yang ditunggu-tunggu setiap hari akhirnya tiba,” ujar Colyar.