Sukses

MSG Makanan Disebut jadi Biang Kerok Kerusakan Otak, Pengusaha Restoran Beri Penjelasan

Micin, atau monosodium glutamate (MSG), adalah bahan tambahan yang sering digunakan untuk memperkuat rasa makanan. Meski sering disalahpahami dan disertai stigma negatif, faktanya tidak sepenuhnya demikian.

Liputan6.com, Jakarta Micin, atau monosodium glutamate (MSG), adalah bahan tambahan yang sering digunakan untuk memperkuat rasa makanan. Meski sering disalahpahami dan disertai stigma negatif, faktanya tidak sepenuhnya demikian.

Micin, dikenal juga sebagai MSG, adalah garam natrium dari asam glutamat, sebuah asam amino yang banyak terdapat secara alami dalam makanan seperti tomat, keju, dan daging. MSG menambahkan rasa umami, yang membuat makanan terasa lebih gurih dan lezat.

“Micin atau MSG telah lama menjadi subjek perdebatan, tetapi bukti ilmiah saat ini menunjukkan bahwa MSG aman dikonsumsi dalam jumlah normal. Walaupun beberapa individu mungkin sensitif terhadap MSG dan mengalami gejala ringan, mayoritas populasi dapat mengkonsumsinya tanpa masalah,” ujar Chef Owner Ayam Bengis Resto Leony Susan dikutip Selasa (6/8/2024).

Kontroversi seputar MSG bermula pada tahun 1968 ketika Dr. Robert Ho Man Kwok menulis surat kepada New England Journal of Medicine. Dia menggambarkan serangkaian gejala seperti mati rasa dan jantung berdebar setelah makan di restoran China. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai "Sindrom Restoran China" dan dikaitkan dengan MSG, meskipun bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut sangat minim.

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), MSG aman dikonsumsi dalam jumlah yang wajar. FDA telah menyatakan bahwa konsumsi MSG dapat menyebabkan gejala ringan seperti sakit kepala atau wajah kemerahan pada beberapa individu yang sangat sensitif jika dikonsumsi dalam jumlah besar (sekitar 3 gram atau lebih tanpa makanan). Namun, dalam kondisi normal, satu porsi makanan biasanya hanya mengandung kurang dari 0,5 gram MSG.

Mitos dan Realita

Mitos: MSG Menyebabkan Kerusakan Otak

Realita: Penelitian awal yang dilakukan pada tikus menunjukkan bahwa dosis tinggi MSG yang disuntikkan di bawah kulit dapat menyebabkan kerusakan otak. Namun, metode ini tidak relevan dengan cara manusia mengonsumsi MSG, yaitu melalui makanan. Penelitian lebih lanjut pada manusia tidak menemukan bukti yang mendukung klaim ini.

Mitos: MSG Menyebabkan Alergi

Realita: MSG tidak diakui sebagai alergen oleh otoritas kesehatan. Meskipun ada beberapa laporan tentang reaksi negatif, sebagian besar tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat. Beberapa orang mungkin sensitif terhadap MSG dan mengalami gejala ringan, tetapi ini sangat jarang terjadi.

Fred Cohen, spesialis sakit kepala dan asisten profesor kedokteran serta neurologi di Icahn School of Medicine di Mount Sinai, New York, menyatakan bahwa banyak penelitian awal mengenai MSG sangat ekstrem dan tidak akurat. Dalam ulasannya, Cohen menemukan bahwa meskipun MSG dapat menjadi pemicu sakit kepala, banyak penelitian menggunakan dosis MSG yang jauh lebih tinggi dari konsumsi normal.

Memahami fakta dan mengesampingkan mitos dapat membantu kita membuat keputusan yang lebih bijak mengenai makanan yang kita konsumsi. Jadi, pengaruh MSG terhadap kesehatan sangat minimal jika dikonsumsi dalam batas wajar, dan MSG tetap merupakan bahan yang aman untuk digunakan dalam masakan sehari-hari.

2 dari 4 halaman

Micin Baik atau Buruk Bagi Tubuh? Ini 3 Fakta Menarik di Baliknya

Monosodium Glutamat (MSG) atau yang lebih populer sebagai micin atau vetsin sering dianggap buruk bagi kesehatan. Sebagian pihak menyebut bahwa penambah cita rasa makanan ini menyebabkan asma, sakit kepala, hingga kerusakan otak.

Maka tak heran, sejumlah restoran menambahkan kalimat khusus dalam iklannya, seperti "Bebas MSG", untuk meyakinkan konsumen bahwa produknya aman.

Padahal, dampak buruk terkait MSG tersebut belum tentu benar. Berikut adalah tiga fakta terkait MSG, sebagaimana dikutip dari] US Food and Drug Administration, bagian dari Kementerian Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat, dikutip pada Selasa (2/4/2019).

1. MSG Alami?

Monosodium Glutamat (MSG) adalah garam natrium dari asam amino glutamat.

Secara alami, MSG telah terdapat dalam tubuh kita. Selain itu, MSG muncul secara alami di banyak sayuran dan makanan, misalnya tomat, rumput laut, dan keju. 

3 dari 4 halaman

2. MSG Buatan

Meskipun terkandung secara alami dalam tubuh serta sayuran dan makanan, MSG juga diproduksi oleh sejumlah perusahaan.

Pada 1908, seorang profesor Jepang bernama Kikunae Ikeda dapat mengekstraksi glutamat dari kaldu sup rumput laut. Ia kemudian memastikan bahwa glutamat memberikan rasa gurih pada sup.

Profesor Ikeda kemudian mengajukan paten untuk memproduksi MSG dan produksi komersial dimulai pada tahun berikutnya.

Saat ini, MSG tidak hanya diekstraksi dari sup rumput laut; namun telah diproduksi dengan fermentasi tebu, molase, dan gula bit. Proses fermentasi ini terjadi mirip dengan proses membuat yogurt, cuka, dan anggur.

4 dari 4 halaman

3. Apakah MSG Aman?

Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menyatakan bahwa penambahan MSG dalam makanan sebagai aman.

Memang, FDA telah menerima sejumlah keluhan seperti sakit kepala dan mual pasca-memakan makanan yang mengandung MSG. Namun, FDA mengatakan belum dapat mengonfirmasi bahwa benar MSG yang menyebabkan efek tersebut.

Pada 1990-an, FDA telah memerintahkan kelompok ilmiah independen bernama Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB) untuk meneliti keamanan MSG/

Hasilnya, FASEB menyampaikan bahwa MSG aman. Laporan tersebut mengidentifikasi beberapa gejala jangka pendek, sementara, dan ringan pada individu yang sensitif terhadap MSG. Gejala yang dimaksud misalnya sakit kepala, mati rasa, kesemutan, jantung berdebar, hingga kantuk.

Meski demikian, gejala-gejala tersebut hanya terjadi kepada individu yang sensitif ketika mengonsumsi 3 gram atau lebih MSG tanpa makanan. Sedangkan pada umumnya, satu porsi makanan dengan micin hanya mengandung kurang dari 0,5 gram MSG. Adapun mengonsumsi 3 gram MSG tanpa makanan dalam satu waktu jarang terjadi.