Sukses

Ombudsman Temukan Penyebab Ribuan Guru Honorer Gagal jadi ASN

Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengungkapkan penyebab ribuan guru honorer gagal jadi ASN.

Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia menilai gagalnya seleksi ribuan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) karena aturan PermenpanRB Nomor 14 Tahun 2023 Pasal 32.

Aturan tersebut memberikan wewenang pada pemerintah daerah (pemda) untuk menambah proses seleksi PPPK Guru di wilayahnya masing-masing dengan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT).  Perlu diketahui, seleksi tambahan ini dilakukan di luar tes CAT (Computer Assisted Test) yang dijalani semua calon ASN.

"Jadi kalau CAT murni itu diberlakukan untuk semua daerah, SKTT ini sebagai kebijakan nasional malah tidak untuk semua daerah, hanya 60 instansi pemerintah daerah yang mengambil SKTT sebagai syarat tambahan," kata Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis, 8 Agustus 2024.

"Yang menjadi pertanyaan, kalau kebijakan nasional harusnya berlaku untuk semua tetapi ternyata diserahkan saja kepada instansi, kalau mau gunakan silakan kalau enggak apa-apa. (Perlu ditegaskan) kebijakan nasional itu harus berlaku, tidak bersifat operasional seperti itu," ujar dia.

Robert lebih lanjut menjelaskan bobot SKTT sebesar 30% dari hasil akhir penilaian seleksi CPPPK Guru, sedangkan tes CAT 70%. 

Karena itu, ketika peserta selesai mengikuti CAT, bagi pemda yang mengusulkan SKTT, nilai CAT tidak bisa dianggap sebagai nilai akhir. "Bayangkan orang itu lulusan terbaik tapi karena ada menu tambahan kemudian tidak lulus. Ini terjadi di sejumlah daerah yang kita lakukan pemeriksaan," ungkap Robert. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Hasil Pemeriksaan

Hasil pemeriksaan Ombudsman menunjukkan berbagai kejanggalan, salah satunya jumlah tim Panitia Seleksi Daerah (Panselda) yang hanya 2 orang, di mana masing-masing daerah biasanya menerima ratusan pelamar CPPPK Guru.

"Hanya dua orang untuk memeriksa sepuluh komponen penilaian dalam waktu seminggu dengan jumlah peserta ratusan Itu nggak mungkin," katanya.

Dengan temuan itu Robert menilai, kondisi tersebut membuka kemungkinan terjadinya praktik korupsi dan nepotisme. Karena dengan tes SKTT ini pejabat daerah bisa menggugurkan peserta seleksi CPPPK Guru dengan menetapkan nilai yang sangat rendah. Sedangkan mereka yang direncanakan untuk lolos menjadi PPPK Guru akan diberikan nilai yang tinggi. 

"Jadi gampang saja cara untuk meluluskan orang, di kasih nilai sangat tinggi 9 itu hampir pastinya lulus, yang tidak diluluskan atau memang rencananya tidak diluluskan itu dikasih nilai 1, otomatis tidak lulus. Bahkan kalau dia CAT-nya tertinggi di daerahnya, jika diberi nilai 1 pasti tidak lulus. Ini yang kita lihat ada ketidak-objektif-an, ada tindakan diskriminatif yang dilakukan yang kemudian membuat proses ini tidak akuntabel," imbuhnya.

 

3 dari 4 halaman

532 Bidan Batal Jadi ASN karena Maladministrasi, Ada yang Sudah Kerja 18 Tahun

Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia meminta Pemerintah untuk melakukan tindakan korektif terhadap masalah pembatalan pengangkatan ASN bagi para bidan yang sudah dinyatakan lulus Seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengungkapkan, sebanyak 532 peserta seleksi PPPK berijazah D4 Bidan Pendidik dibatalkan kelulusannya, yang berujung pada pembatalan pengangkatan ASN bagi para bidan yang sudah dinyatakan lulus.

Dijelaskannya, pembatalan kelulusan ini lantaran kualifikasi para bidan dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam SE Dirjen Nakes Nomor PT.01.03/F/1365/2023. Di mana para bidan ini merupakan lulusan D4 Bidan Pendidik yang tidak masuk dalam kategori CPPPK 2023 dalam SE tersebut.

Oleh karena itu, Ombudsman mendorong agar adanya tindakan korektif, yaitu dengan dilakukannya koordinasi dengan kementerian terkait dan pengembalian status kelulusan.

"Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan agar mengakomodir lulusan D-IV Bidan Pendidik dalam mengisi formasi Bidan Ahli Pertama dalam Seleksi CPPPK Tenaga Kesehatan Tahun 2023 dan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi guna memastikan ketersediaan formasi Bidan Ahli Tahun 2023," kata Robert, dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI Jakarta, Kamis (8/8/2024).

"Plt Kepala Badan Kepegawaian Negara untuk mengembalikan status kelulusan peserta seleksi D-IV Bidan Pendidik dalam mengisi formasi Bidan Ahli Pertama dalam Seleksi CPPPK Tenaga Kesehatan Tahun 2023 dan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi guna memastikan ketersediaan formasi Bidan Ahli Tahun 2023," lanjutnya.

"Dalam respons pengaduan dari 532 yang diwakili oleh Ikatan Bidan Indonesia, Ombudsman menetapkan terlapornya ada dua. Satu terlapornya adalah kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan kedua adalah Dirjen Kesehatan yang menerbitkan edaran tersebut," ungkap Robert.

 

 

 

4 dari 4 halaman

Sudah Kerja 18 Tahun

Dia menyampaikan, Ombudsman memberikan waktu selama 30 hari kerja untuk melaksanakan Tindakan Korektif. Selain itu, Ombudsman juga memastikan akan melaksanakan monitoring, konsultasi, dan koordinasi terkait pelaksanaan Tindakan Korektif.

"Mereka ini bukan saja sudah lulus, bahkan sebagian sudah dilantik dan sebagian sudah bekerja sebagai PPPK. Bayangkan, mereka sudah bekerja sekian minggu namun kemudian dibatalkan kelulusannya," ucap Robert.

"Para bidan ini kehilangan pekerjaan, ada yang sudah bekerja 18 tahun, ada yang 5 tahun, ada yang 3 tahun, mereka ini yang mengisi Puskesmas kita. Lalu karena mereka sudah dianulir, mereka jadi tidak bisa bekerja. Karena tadinya dia status honorer, dengan kemudian diluluskan jadi PPPK, status honorernya hilang. Sekarang dia dianulir dari PPPK dan tidak bisa kembali lagi menjadi honorer," imbuhnya.

Hasil Pemeriksaan

Setelah beberapa pemeriksaan, Robert mengatakan SE Dirjen yang menjadi penyebab banyaknya bidan ini batal jadi ASN ternyata tidak disampaikan atau disosialisasikan kepada para peserta saat pendaftaran sampai lulus seleksi.

Kondisi ini menimbulkan multitafsir yang berakibat pada perbedaan implementasi kepada peserta seleksi CPPPK Tahun 2023 dibandingkan tahun-tahun lainnya. Padahal menurut Robert dalam CPPPK tahun-tahun lainnya aturan ini tidak ada.

"Dari berbagai rangkaian pemeriksaan itu Ombudsman berpendapat bahwa, pertama surat edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen Kementerian Kesehatan itu tidak dilakukan sosialisasi dan penjelasan kepada para bidan," beber Robert.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini