Sukses

Rupiah Ditutup Merosot ke Level 15.900 per Dolar AS Senin 12 Agustus 2024

Rupiah ditutup melemah 30,5 point terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) pada Senin, 12 Agustus 2024.

Liputan6.com, Jakarta Rupiah mengalami pelemahan di awal pekan pada Senin, 12 Agustus 2024.

Rupiah ditutup melemah 30,5 point terhadap Dolar Amerika Serikat (USD), walaupun sebelumnya sempat melemah 55 point di level Rp. 15.955 dari penutupan sebelumnya di level Rp.15.924,5.

"Sedangkan untuk  perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp.15.900 - Rp.15.090," kata Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi dalam keterangan di Jakarta, Senin (12/8/2024).

Pasar global tengah mengalami pekan yang berat, sebagian besar dipicu oleh angka upah AS yang secara mengejutkan lemah seminggu lalu. Hal ini menyebabkan saham global jatuh.

"Namun pasar mengganggap kekhawatiran atas resesi AS terlalu berlebihan, dengan fokus beralih langsung ke serangkaian pembacaan inflasi utama minggu ini. Disisi lain pasar Jepang hari ini libur nasional," ungkap Ibrahim.

Selain itu, pasar juga memantau dampak dari serangan Israel yang berlanjut di Gaza selama akhir pekan, yang menunjukkan sedikit peluang deeskalasi dalam konflik yang telah berlangsung lama. 

"Fokus minggu ini tertuju pada pembacaan inflasi dari serangkaian ekonomi utama minggu ini, terutama inflasi indeks harga konsumen AS yang akan dirilis pada hari Rabu, dan diperkirakan akan menunjukkan sedikit penurunan inflasi hingga Juli, yang menjadi pertanda baik bagi ekspektasi penurunan suku bunga pada bulan September," beber Ibrahim.

Tebaru, FedWatch Tool milik CME Group menunjukkan bahwa peluang pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 50 basis poin pada pertemuan kebijakan pada bulan September turun menjadi 52%, dari 69% sehari sebelumnya, dengan pemangkasan 25 basis poin sekarang dianggap memiliki probabilitas 49%.

Di Asia, sentimen terhadap Tiongkok tetap dibatasi oleh kekhawatiran yang terus-menerus atas melambatnya pemulihan ekonomi di negara tersebut, terutama setelah serangkaian pembacaan yang lemah pada bulan Juli.

"Meskipun data inflasi terkini menunjukkan beberapa perbaikan, masih harus dilihat apakah tren disinflasi Tiongkok sedang berbalik," tambah Ibrahim.

 

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan pribadi seorang pengamat. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor transaksi terkait. 

Sesuai dengan UU PBK No.32 Tahun 1997 yang diperbaharui dengan UU No.10 Tahun 2011 bahwa transaksi di Valas beresiko tinggi dan keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

2 dari 3 halaman

IMF Ramal Pertumbuhan Ekonomi RI Bertahan di 5% Hingga 2029

Ibrahim menyoroti, konsumsi yang stagnan hingga dinamika harga komoditas menjadi sejumlah faktor yang akan mempengaruhi perekonomian Indonesia lima tahun ke depan.

International Monetary Fund (IMF) meramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tertahan di level 5,1% hingga tahun 2029.

 Proyeksi pertumbuhan ekonomi RI 2024 dari IMF adalah 5,0%. Pertumbuhan ekonomi itu didukung oleh peningkatan konsumsi publik dan pertumbuhan investasi yang mengimbangi hambatan ekspor neto (net export) karena tekanan eksternal.

Pertumbuhan ekonomi akan sedikit meningkat menjadi 5,1% menurut IMF, melalui dukungan ekspansi fiskal. Inflasi utama juga diperkirakan tetap stabil di titik tengah dari rentang target yang dipatok pemerintah, paparnya.

 

"Artinya, terdapat kemungkinan periode pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan melanjutkan tren pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%," kata Ibrahim.

IMF menilai, kerangka kebijakan fiskal, moneter, dan keuangan Indonesia telah memberikan landasan bagi stabilitas makro dan manfaat sosial. Kebijakan-kebijakan pemerintah dinilai berhasil fasilitasi pemulihan ekonomi dari guncangan global sejak 2020.

 

3 dari 3 halaman

Risiko Relatif Seimbang

Secara umum, risiko yang dihadapi Indonesia relatif seimbang, ungkap Ibrahim.

"Adapun, risiko negatif utama mencakup volatilitas harga komoditas yang terus menerus, seperti efek gejolak geopolitik; perlambatan mendadak perekonomian mitra dagang utama, hingga efek negatif dari kondisi keuangan global yang lebih ketat ke depannya," paparnya.

"Kebijakan moneter Indonesia juga dinilai sudah tepat, dengan kebijakan makroprudensial yang akomodatif sehingga mendukung pertumbuhan kredit dan likuiditas tetap aman. Kebijakan moneter harus selalu didorong oleh data, berdasarkan perkembangan kondisi domestik, hingga nilai tukar yang bisa meredam guncangan," tutup Ibrahim.