Sukses

Awas, DJP Bisa Intip Rekening di Atas Rp 1 Miliar

Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Suryo Utomo, mengatakan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, pihaknya bisa melihat informasi di dalam rekening di atas Rp 1 miliar.

Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Suryo Utomo, mengatakan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, pihaknya bisa melihat informasi di dalam rekening di atas Rp 1 miliar.

Anak buah Sri Mulyani ini menegaskan, melalui PMK tersebut DJP ingin memastikan validitas data perpajakan yang dikelola lembaganya. Suryo menilai validitas sangat diperlukan untuk kepentingan perpajakan.

 

"PMK ini adalah kita mencoba untuk mengatur memberikan menjaga validitas data yang akan kita dapat dipertukarkan akan menjadi lebih valid secara kualitas dan ketepatannnya," kata Suryo dalam konferensi pers APBN Kita di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, (13/8/2024).

Oleh karena itu, kata Suryo, dalam PMK nomor 47 ini ada hal yang diatur mengenai due dilligence yang harus dilakukan oleh perbankan atau lembaga keuangan sebelum membuka rekening nasabahnya. Langkah itu perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadi penghindaran pajak.

"Itu di pasal 30A sendiri ada di pasal itu terakit penghindaran. Jadi, apabila ada kesepatan yang dilakukan untuk menghindarkan data dan informasi yang dipertukarkan kita berhak untuk mengevaluasi seperti apa seharusnya data yang harusnya dipertukarkan," ujarnya.

Lebih lanjut, Suryo menyebut, PMK nomor 47 ini terbit merupakan hasil dari revisi peraturan sebelumnya, yaitu PMK 70 Tahun 2017 mengenai Petunjuk Teknis Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Pertukaran Data

Adapun pertukaran data yang diatur dalam PMK ini merupakan hasil kesepakatan internasional. Artinya, data yang dipertukarkan tidak hanya dari Indonesia ke luar negeri melainkan juga sebaliknya.

"Jadi, betul-betul ini kesepakatan bersama di tingkat internasional, terkait validitas data ini. karena data ini sangat diperlukan ketika kita menegakan hak dan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak di masing-masing otoritas," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sri Mulyani Kumpulkan Pajak Rp 1.045 triliun per Juli 2024, Ini Rinciannya

Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak hingga dengan Juli 2024 baru mencapai Rp1.045,32 triliun atau 52,56 persen dari target.

"Penerimaan pajak mengalami perlambatan dengan capaian Rp52,56 persen dari target APBN 2024," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (13/8/2024).

Bendahara negara ini mengakui perlambatan capaian pajak itu mulai dirasakan pada Maret, April, Mei hingga Juli 2024. Adapun empat komponen penerimaan PPh non migas mencapai Rp593,76 triliun atau sekitar 55,84 persen dari target.

"Untuk goodnews PPN dan PPnBM mencapai Rp402,16 triliun, artinya 49,57 persen dari target secara bruto PPN dan PPnBM tumbuh 7,34 persen. Artinya sebetulnya ekonomi tumbuh walau nanti ada beberapa restitusi yang menyebabkan penerimaan netonya mungkin mengalami negatif tapi dari sisi bruto tumbuh sudah cukup baik di 7,4," ujar Menkeu.

Kemudian, untuk PPh migas diperoleh Rp39,32 triliun atau 51,49 persen dari target dengan brutonya negatifnya 13,2. Perolehan tersebut didukung oleh lifting minyak yang mengalami kontraksi.

"Kalau kita lihat yang migas karena lifting minyak, jadi kalau produksi minyak kita walau harga minyak naik tapi kita lihat lifting minyak kita mengalami kontraksi atau terus alami penurunan tidak pernah capai target APBN," ujar Menkeu.

Selanjutnya, untuk pajak lainnya tercatat Rp10,07 triliun atau 26,7 persen dengan pertumbuhan bruto 4,14 persen.

"Jadi, kalau kita liat akumulasi perkembangan penerimaan pajak kita sekarang sudah di 52,56 persen atau di Rp1.045,32 triliun. Kita liat terjadi kenaikan yang kita harapkan momentumnya akan terjaga di 6 bulan terakhir ini," pungkas Menkeu.

3 dari 4 halaman

Realisasi Pembiayaan Utang hingga Juli 2024 Baru Rp 266,3 Triliun

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mencatat realisasi pembiayaan utang hingga Juli 2024 baru mencapai Rp266,3 triliun dari APBN.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan pada APBN 2024 pihaknya telah mempersiapkan anggaran Rp648,1 triliun untuk pembiayaan utang. Namun, baru terealisasi sebesar 41,4 persen hingga Juli tahun ini.

“Walaupun APBN sudah membuat posturnya seperti itu, dari pembiayaan utang yang Rp648 triliun, sampai 31 Juli baru realisasi Rp266,3 triliun," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (13/8/2024).

Bendahara negara ini menyebut, bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, terlihat ada pertumbuhan dimana pada Juli 2023 realisasi pembiayaan utang hanya sebesar Rp195 triliun.

Kata Sri Mulyani, rendahnya realisasi pembiayaan utang pada tahun 2023 memang disengaja. Hal itu disebabkan melonjaknya harga komoditas. Kendati begitu, saat ini kembali dinaikkan lantaran semua komoditas sudah kembali normal.

"Hingga memang defisitnya diperkirakan pasti lebih tinggi dari 2023. Ini mulai terlihat dari pembiayaan kita," ujarnya.

Adapun untuk rinciannya, realisasi pembiayaan utang sebesar Rp266,3 triliun dialokasikan untuk dua pembiayaan yaitu surat berharga negara alias SBN (neto) sebesar Rp253 triliun dan pinjaman (neto) sebanyak Rp13,3 triliun.

 

4 dari 4 halaman

Mimpi Buruk Indonesia Sudah Dimulai, Ini Ramalan Sri Mulyani

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan Indonesia sudah menjadi salah satu korban imbas perekonomian global yang bergejolak di tahun ini.

Diketahui, Indeks kinerja manufaktur atau Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia terkontraksi di level 49,3. Kontraksi tersebut merupakan pertama kalinya selama tiga tahun terakhir.

"Aktivitas manufaktur global sudah menjadi korban pertama. Dia mengalami kontraksi pada Juli di 49,3. Amerika juga di zona kontraktif. RRT juga ada di zona kontraktif. Ini menggambarkan tadi lingkungan global yang begitu sangat tidak stabil, cenderung volatile, bahkan hostile to each other," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa Juli 2024, Selasa (13/8/2024).

Bendahara negara ini menyebut, dengan terkontraksinya PMI tersebut membuat perekonomian di dalam negeri menjadi relatif stagnan atau berhenti ditempat pada Juli 2024.

"Ini menyebabkan perekonomian menjadi relatif berhenti atau stagnan," ujarnya.

Menkeu menyampaikan, gejolak perekonomian global dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya proyeksi pelaku pasar keuangan yang menyebut Amerika Serikat akan mengalami resesi dan Fed Fund rate akan turun.

"Bahkan ada yang berspekulasi akan ada pertemuan emergency sebelum September. Ternyata kan tidak terjadi, tapi itu menunjukkan market itu begitu sangat cepatnya berubah dari sisi psikologi berdasarkan issuance data yang terjadi dan pengembangan yang terjadi dan dampaknya luar biasa sangat besar," ujarnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.