Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menerapkan pembatasan penjualan rokok eceran dan batas tertentu dari titik pusat pendidikan dan kegiatan anak-anak. Hal ini dinilai tidak efektif untuk mengurangi jumlah perokok anak atau remaja.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menilai, titik masalahnya ada pada peredaran rokok ilegal, bukan pada pelaku usaha yang menjual rokok. Mengingat, sudah ada batasan aturan soal penjualan rokok resmi, sementara rokok ilegal masih marak beredar.
Baca Juga
“Kami sudah tidak menjual produk tembakau ke anak di bawah usia 21 tahun, sudah berjalan selama ini. Tapi, masalahnya saat ini adalah banyaknya rokok ilegal yang murah dan mudah didapat. Ini yang mestinya dibasmi, bukan di jualannya," tegas Roy dikutip Rabu (14/8/2024).
Advertisement
Menurut Roy, pembatasan penjualan rokok dalam PP Nomor 109 Tahun 2012 sudah cukup ketat. Ia khawatir jika aturan baru ini diterapkan, maka akan ada lebih banyak pasal karet yang menambah kompleksitas peraturan dan tidak menyelesaikan masalah terkait rokok ilegal.
Aturan baru yang disinggung Roy adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Aturan itu menyoroti prevalensi perokok anak dan remaja yang meningkat.
"Nah ini (rokok ilegal) yang mestinya dibasmi yang mestinya diangka, dibongkar bukan di jualannya, di hilirnya tapi di hulunya pabrik ilegalnya. Karena pabriknya ada. Kalau mau tau kita semua tau, pabrik yang ilegalnya ini kenapa enggak digulung tikat gitu. Malah hilirnya yang mau dibuat seperti itu (dibatasi)," tegas dia.
Roy mencatat, pembatasan itu akan berpengaruh pada aspek makro ekonomi. Misalnya, pada target pertumbuhan ekonomi nasional, mengingat penopangnya masih dari konsumsi rumah tangga.
"Apapun yang berkaitan dengan pelarangan, secara luas itu pasti memberikan dampak untuk ekonomi. Tanpa adanya contingency plan, ekonomi pasti akan tergerus,” imbuhnya.
Pedagang Terdampak
Sebagai langkah ke depan, Roy meminta agar pemerintah melibatkan semua pemangku kepentingan terkait. Seperti pedagang dan tenaga kerja lainnya yang terdampak, untuk berdiskusi mengenai PP 28/2024 ini. Dia berharap ada perbaikan dan perubahan yang melibatkan pelaku usaha, sehingga mereka tidak merasa terabaikan.
UMKM-Pedagang Pasar Khawatir Omzet Anjlok
Sebelumnya, Pemerintah membatasi penjualan rokok eceran hingga zonasi dari pusat pendidikan dan lokasi permainan anak. Namun, kebijakan ini dinilai malah merugikan pelaku UMKM, pedagang warung, hingga pedagang pasar.
Informasi, ketentuan pembatasan penjualan rokok itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Aturan itu diharapkan bisa menurunkan tingkat perokok anak.
Sayangnya, pelaku UMKM memandang dampak lain dari aturan tersebut. Salah satunya soal kekhawatiran anjloknya pendapatan pelaku usaha dari larangan penjualan rokok.
"Kami di Jatim khususnya, ada 900 lebih koperasi ritel dan juga 2.050 toko lokal yang mereka rata-rata mengandalkan omzet dari pejualan rokok. Banyak anggota koperasi yang mereka mengandalkan penjualan rokok karena kontribusi omzetnya mencapai 50 persen," ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dam Ritel Indonesia, Anang Zunaedi dalam Diskusi Media di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Advertisement
Kehilangan Omzet
Dia menegaskan, sudah pernah bersurat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Koperasi dan UKM. Dia berharap ada solusi atau rencana kebijakan tersebut.
Anang bilang, aturan soal batasan penjualan rokok sebelumnya yang berlaku tidak pernah dilanggar. Seperti penjualan rokok terhadap batas usia tertentu. Dia juga menentang keras pembatasan zonasi minimal 200 meter dari pusat pendidikan.
"Sangat terasa sekali ya, yang jelas (UMKM) akan kehilangan omzet. Kawan-kawan UMKM itu kontribusinya 50 persen (dari penjualan rokok). Gimana dengan toko yang lain juga, otomatis dengan zonasi mereka gak bisa jualan. Kami tolak. Kita akan upayakan bagaimana PP ini bisa dibatalkan," tegasnya.