Sukses

Viral di Medsos, DJP Buka Suara soal Dugaan KDRT Dilakukan Pegawainya

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan buka suara terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diduga dilakukan oleh pegawai pajak.

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan buka suara terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diduga dilakukan oleh pegawai pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, mengatakan sehubungan dengan postingan akun Tiktok @hendii88 yang menyudutkan instansi Direktorat Jenderal Pajak terkait dugaan pelanggaran hukum oleh pegawai DJP, dengan ini atas perselisihan yang terjadi murni merupakan permasalahan rumah tangga yang saat ini sudah dilaporkan dan ditangani oleh Aparatur Penegak Hukum.

"DJP telah melakukan pembinaan kepada pegawai bersangkutan sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku," kata Dwi dalam keterangan DJP, Senin (19/8/2024).

Dwi menegaskan bahwa, DJP menghormati proses hukum berlaku serta berkomitmen mendukung proses hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, DJP tidak mentoleransi seluruh perbuatan yang melanggar kode etik, nilai-nilai kemanusiaan, serta peraturan perundang-undangan.DJP juga menyampaikan terima kasih atas perhatian yang diberikan publik dalam menjaga DJP menjalankan fungsi pengumpul penerimaan negara melalui pajak.

Lebih lanjut, Dwi menyampaikan, bagi masyarakat yang menemukan informasi pelanggaran oleh pegawai DJP, dapat melaporkan melalui kanal pengaduan Kringpajak 1500200, surel ke pengaduan@pajak.go.id, situs pengaduan.pajak.go.id, dan situs wise.kemenkeu.go.id.

2 dari 3 halaman

PPN Naik jadi 12% Tahun Depan, Semua Harga Barang Bakal Naik?

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengakui akan ada kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, dari sebelumnya 11 persen pada 2024.

Sri Mulyani menjelaskan, banyak masyarakat yang beranggapan semua barang dan jasa kena PPN. Padahal ada instrumen fiskal lain yang kurang familiar ditelinga masyarakat yaitu PPN dibebaskan untuk kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

"Satu instrumen fiskal yang lain, mungkin tidak familiar tapi sebetulnya penting yaitu bahwa PPN yang dibebaskan. Jadi banyak masyarakat yang menganggap semua barang jasa kena PPN, sebetulnya dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sangat menjelaskan barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, transportasi itu tidak kena PPN," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers RAPBN 2025, di DJP, Jakarta, Jumat (16/8/2024).

Maka meskipun PPN tahun depan naik menjadi 12 persen, namun untuk kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan dan transportasi tidak dikenakan PPN tersebut.

"Jadi kalau membayangkan oh PPN kemarin 10 ke 11 persen dan di UU HPP akan menjadi 12 persen. Itu barang-barang tidak terkena PPN, jadi itu memproteksi," ujarnya.

Bendahara negara ini menegaskan, bahwa penikmat Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan tersebut adalah kelompok menengah. Hal itu dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat.

"Ini (PPN dibebaskan) dinikmati oleh banyak kelompok kelas menengah. Jadi saya ingin menyampaikan bahwa APBN menjaga daya beli masyarakat, agar konsumsi itu tetap terjaga stabil melalui daya beli," pungkasnya.

3 dari 3 halaman

Awas, DJP Bisa Intip Rekening di Atas Rp 1 Miliar

Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Suryo Utomo, mengatakan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, pihaknya bisa melihat informasi di dalam rekening di atas Rp 1 miliar.

Anak buah Sri Mulyani ini menegaskan, melalui PMK tersebut DJP ingin memastikan validitas data perpajakan yang dikelola lembaganya. Suryo menilai validitas sangat diperlukan untuk kepentingan perpajakan.

"PMK ini adalah kita mencoba untuk mengatur memberikan menjaga validitas data yang akan kita dapat dipertukarkan akan menjadi lebih valid secara kualitas dan ketepatannnya," kata Suryo dalam konferensi pers APBN Kita di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, (13/8/2024).

Oleh karena itu, kata Suryo, dalam PMK nomor 47 ini ada hal yang diatur mengenai due dilligence yang harus dilakukan oleh perbankan atau lembaga keuangan sebelum membuka rekening nasabahnya. Langkah itu perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadi penghindaran pajak.

"Itu di pasal 30A sendiri ada di pasal itu terakit penghindaran. Jadi, apabila ada kesepatan yang dilakukan untuk menghindarkan data dan informasi yang dipertukarkan kita berhak untuk mengevaluasi seperti apa seharusnya data yang harusnya dipertukarkan," ujarnya.

Lebih lanjut, Suryo menyebut, PMK nomor 47 ini terbit merupakan hasil dari revisi peraturan sebelumnya, yaitu PMK 70 Tahun 2017 mengenai Petunjuk Teknis Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Pertukaran DataAdapun pertukaran data yang diatur dalam PMK ini merupakan hasil kesepakatan internasional. Artinya, data yang dipertukarkan tidak hanya dari Indonesia ke luar negeri melainkan juga sebaliknya.

"Jadi, betul-betul ini kesepakatan bersama di tingkat internasional, terkait validitas data ini. karena data ini sangat diperlukan ketika kita menegakan hak dan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak di masing-masing otoritas," pungkasnya.