Sukses

Minuman Berpemanis Kena Cukai pada 2025 Bikin Pengusaha Khawatir

Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika menuturkan, pengaturan cukai minuman berpemanis timbulkan kekhawatiran.Namun, ia berharap aturan itu berjalan lancar.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika mengungkapkan, sektor industri menyimpan kekhawatiran terkait rencana pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun depan. 

"Keluhan enggak ada, tapi ada kekhawatiran. Biasa, perubahan-perubahan itu pasti ada kekhawatiran. Tapi kita harus tetap kawan, bagaimana orang berusaha tetap nyaman, memberikan kepastian," ujar Putu saat ditemui di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Menurut laporan yang didapatnya, Putu menyampaikan, para pengusaha cemas jika pengenaan cukai minuman berpemanis bakal mengubah komposisi dari produk yang ada. Sehingga berpotensi menimbulkan kenaikan harga bagi konsumen. 

"Memang pengaturan ini dikhawatirkan, pada saat diberlakukan masih perlu penyesuaian karena terkait dengan ingredients, susunan komposisi produknya. Biasa lah, secara fundamental ada perubahan ada kekhawatiran. Tapi mudah-mudahan ini jalannya bisa dilaksanakan dengan lancar dan smooth," urainya.  

Kendati begitu, Putu belum bisa memperkirakan berapa besar kenaikan harga produk akibat pengenaan cukai tersebut. 

"Saya belum berani mengatakan, karena nanti dikoordinasikan oleh Menko PMK, dan nanti semua kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan semua," imbuh dia. 

Pemerintah sendiri telah membatasi kadar gula, garam dan lemak dalam produk makanan dan minuman. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan.

Putu tak memungkiri regulasi baru itu bakal berujung pada pungutan cukai. "Di PP-nya itu memang perlu ada aturan turunannya. Jadi di PP memang dibuka alternatif atau dapat menggunakan cukai. Kami dari Kemenperin memang lebih kepada penggunaan SNI (Standar Nasional Indonesia)," terangnya. 

"Kenapa lebih pada penggunaan SNI? karena di sana itu kita tidak memberikan suatu ruang untuk (minuman) berpemanis itu melebihi standar yang ditetapkan. Tapi nanti kalau disepakati bahwa itu boleh di atas standar yang ditetapkan, tapi bayar cukai, itu nanti lain cerita," pungkasnya. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Minuman Berpemanis Kena Cukai pada 2025, Industri Mamin Terancam PHK Massal

Sebelumnya, Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, memproyeksikan bahwa penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di 2025 akan sangat berpengaruh pada volume penjualan produk industri makanan dan minuman (mamin), hingga berpotensi terhadap terjadinya PHK massal di sektor industri mamin. 

Dalam konteks ini, ia membuat perbandingan dari hitungan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) soal pengenaan cukai minuman berpemanis di kisaran Rp 1.700 per liter, dengan potensi kenaikan harga produk mencapai 6-15 persen. 

Menurut perhitungan Adhi, jika hitungan cukai Rp 1.700 per liter ditetapkan pada produk minuman 350 cc, nilai cukai yang bakal dipungut sekitar Rp 600 per botol.

"Kalau harga botol rerata Rp 5.000 di eceran, di pabrikan itu sekitar Rp 3.000. Berarti sekitar Rp 600 dari Rp 3.000, itu berarti naik 20 persen. Itu luar biasa, karena dari pangan olahan itu sensitif," ujar Adhi saat ditemui di Artotel Senayan, Jakarta, Senin (19/8/2024).

Merujuk hitungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), ia menambahkan, elastisitas permintaan minuman berpemanis/bersoda sekitar 1,7 persen. Sehingga, jika ada kenaikan harga 1 persen akan menurunkan 1,7 persen penurunan. 

"Kalau naik 20 persen, maka  akan turun berapa? itu kan luar biasa. Kalau harga naik sekian, otomatis penjualan turun, maka pendapatan negara turun karena pajak perusahaan turun, mungkin ada PHK. Jadi di satu sisi penerimaan cukai naik, tapi secara keseluruhan pendapatan negara berkurang," paparnya. 

 

 

3 dari 4 halaman

Kenaikan Harga

Adhi menggarisbawahi, kenaikan harga 20 persen itu baru terjadi di tingkat produksi. Sementara konsumen akhir (end user) bisa menanggung lonjakan harga lebih besar. 

"Kenaikan 20 persen itu di pabrik saja, bahkan bisa 30 persen (di end user). Apakah konsumen sanggup menanggung itu? saya sangat tidak yakin konsumen sanggup. Kondisi yang tidak naik sekarang ini saja pasar agak lesu meski pertumbuhan naik," ungkapnya. 

Ia turut meminta kejelasan maksud pemerintah dalam rencana pengenaan cukai minuman berpemanis ini. Ia tak ingin pemerintah hanya melihat tujuan kesehatan tanpa mempertimbangkan faktor ekonomi secara menyeluruh. 

Adapun pada Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2025, dijelaskan bahwa tujuan pengenaan cukai terhadap MBDK salah satunya untuk menekan prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM) kepada masyarakat. 

"Makanya saya mau clear, fungsi cukai ini untuk apa? untuk PTM atau income? sementara ini kan belum jelas. Background-nya memang untuk PTM, tapi itu tidak efektif. Saya berharap pemerintah bisa mengklarifikasi mau PTM atau income," tegas Adhi.

 

4 dari 4 halaman

Pemerintah Terapkan Cukai Minuman Berpemanis Tahun Ini, Pengusaha: Harga Terpaksa Naik

Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM), Triyono Prijosoesilo, menilai rencana Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tahun ini dapat membuat harga minuman ringan naik.

"Kalau cukai ini diterapkan, konsekuensinya ujung-ujungnya beban tambahan bagi industri, sehingga industri terpaksa menaikkan harga produk. Dan kemudian kalau menaikkan harga apakah menjadi terjangkau oleh konsumen. Mau nggak konsumen membeli?" kata Triyono saat ditemui di Jakarta, Kamis (14/3/2024).

Kata Triyono, kebijakan tersebut memang belum layak untuk diterapkan dalam waktu dekat. Bahkan, ia mempertanyakan tujuan pemerintah terkait rencana penerapan cukai MBDK.

Menurutnya, jika alasan penerapan cukai MBDK berkaitan dengan isu kesehatan, maka pelaku usaha meminta pemerintah untuk meninjau kembali secara komprehensif. Ia menegaskan, bukan hanya MBDK saja yang menyebabkan berbagai penyakit seperti obesitas dan diabetes.

"Tapi apakah tujuan besarnya bisa tercapai, kalau ternyata asupan gula itu datangnya dari mana-mana, bukan hanya dari minuman siap saji," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal juga mempertanyakan efektivitas dan esensi dari kebijakan cukai MBDK ini.

"Nah tapi sekali lagi tujuannya adalah mengendalikan. Jadi mestinya tolok ukurnya mestinya seberapa efektif kebijakan cukai dalam mengendalikan efek negatif yang dikatakan tadi, kalau yang berpemanis ya terhadap kalori, kesehatan. Ini serang kali dari sisi efektifitasnya sebetulnya rendah," pungkas Faisal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini