Sukses

Mendag Ungkap 2 Cara Berantas Barang Impor Ilegal, Apa Saja?

Mendag Zulkifli Hasan menuturkan, ekonomi bawah tanah terus berkembang secara canggih sehinhgga penegakan hukim harus ada peningkatan kompetensi.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menyebut, pentingnya dilakukan peningkatan kompetensi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) perdagangan dan edukasi ke pengusaha ritel.

Tujuannya, untuk mencegah ekonomi bawah tanah atau underground economy yang menyebabkan negara merugi, utamanya dari segi ekonomi. "Peningkatan kapasitas dan kompetensi, kalau penegakan hukum harus ada peningkatan kompetensi. Karena ekonomi bawah tanah terus berkembang secara canggih," kata Zulkifli Hasan dalam acara Forum Koordinasi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perdagangan Pusat dan Daerah, di Jakarta, Rabu (21/8/2024). 

Ekonomi bawah tanah, yakni penghasilan yang didapat dari kegiatan ekonomi yang tidak terekam dan atau tercatat pada otoritas pajak dengan maksud untuk menghindari pajak.

Mendag menambahkan, para pelaku ekonomi bawah tanah (underground economy) semakin merajalela di tanah air. Bahkan banyak orang luar negeri yang bermarkas di Indonesia untuk berdagang tetapi barangnya hasil impor ilegal. Hal itu lantaran didukung oleh semakin canggihnya pengaturan praktik perdagangan.

Ia pun menyebut bahwa barang impor ilegal itu seperti kuman. Meskipun sudah diberantas oleh Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Barang Impor Ilegal, tetapi tetap saja menjamur.

"Cuma saya perhatikan, kalau kita bikin Satgas itu seperti kuman. Selesai Satgas, tambah kuat dia Pak, tambah canggih. Bukan hilang gitu. Dimatikan, tambah kuat lagi," ujarnya.

Oleh karena itu, Mendag menegaskan perlunya penguatan koordinasi yang komprehensif antar instansi baik pusat dan daerah.

 

2 dari 4 halaman

Kerja Sama yang Kokoh

Selain itu, juga penting bersinergi dengan Kejaksaan, kepolisian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pemerintahan daerah, dan lain-lain untuk memberantas barang impor ilegal tersebut.

"Tentu kita harus terus-menerus melakukan agar pencegahan efektif melalui perlunya edukasi kepada pelaku usaha ritel atau pedagang. Kita minta pelaku ritel diberikan edukasi agar mereka juga menjual produk-produk legal dan benar. Jadi itu perlu edukasi untuk pencegahan," ujarnya.

"Kerja samanya kuat, kerja sama yang kokoh karena kita ini satu tim. Kalau tidak ada kolaborasi, tidak ada kerjasamanya yang kuat, Apalagi Ada misalnya satu kerjasama yang tidak kokoh, tidak kuat, tidak solid maka tentu pelaku underground economy bisa imun atau kebal. Jadi kebersamaan itu kunci sukses dalam penegakan ini," Zulkifli Hasan menambahkan.

3 dari 4 halaman

Mendag: Indonesia Layak Jadi Negara Maju, Tapi Terkendala Hal ini

Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan, Indonesia telah memiliki bekal untuk menjadi negara maju. Bahkan hal itu diakui oleh Menteri Perdagangan Tiongkok Wang Wentao, yang menyebut sumber daya alam (SDA) Indonesia melimpah, dan juga memiliki sumber daya manusia (SDM) yang banyak.

Menurut Wang Wentao, SDA dan SDM yang melimpah tersebut merupakan potensi yang bisa didorong Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan negara maju pada 2045.

"Saya di APEC ketemu sama Menteri Perdagangan Tiongkok. Dia bilang, Excellency Hasan, kami punya data lengkap. Indonesia punya semua persyaratan untuk menjadi negara maju. Sumber daya alamnya, sumber daya manusianya, pendek kata seluruh persyaratan kita punya," kata Mendag dalam sambutannya saat membuka Forum Koordinasi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perdagangan Pusat dan Daerah, di Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Kata pria yang akrab disapa Zulhas ini, mengakui Indonesia memang layak menjadi negara maju pada 2045. Saat ini saja neraca perdagangan Indonesia sudah surplus berturut-turut selama 51 bulan sejak Mei 2020.

"Terbukti kita 51 bulan perdagangan kita surplus terus. Dengan segala kekurangannya kita masih surplus di atas 5 persen," ujarnya.

Kendati begitu, untuk mencapai negara maju, Indonesia masih terkendala dengan adanya hambatan di bidang ekonomi, yakni aktivitas barang impor ilegal masih marak. Bahkan hal itu telah menggerogoti pangsa pasar atau underground economy RI sebesar 30-40 persen. Underground economy, yakni penghasilan yang didapat dari kegiatan ekonomi yang tidak terekam dan atau tercatat pada otoritas pajak dengan maksud untuk menghindari pajak.

"Kita punya semua persyaratan. Salah satunya hambatannya itu adalah kita kenal dengan underground economy. Hampir 30-40 persen pasar kita itu, di pangsa pasarnya, atau yang disebut dengan underground economy itu. Artinya di situ kata-katakan ilegal. Kalau ilegal negara enggak punya, enggak dapat pajak," pungkasnya.

 

4 dari 4 halaman

Ramai Impor Ilegal, Jokowi Sudah Wanti-Wanti Sejak Lama

Sebelumnya, keresahan terhadap impor tekstil ilegal sudah mencuat sejak lama. Kalangan pengusaha sudah menyampaikan adanya indikasi impor tekstil ilegal yang ditunjukkan dalam selisih data resmi ekspor impor tekstil.

Impor tekstil ilegal ini juga sudah menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo sejak 2015. Presiden sudah melihat maraknya impor ilegal sangat membahayakan industri dalam negeri.

Presiden dalam Rapat Terbatas tentang Perdagangan dan Impor di Kantor Presiden, yang dikutip dari siaran pers Sekretariat Negara pada 12 Oktober 2015, menyampaikan terjadi laju penurunan produksi tekstil dalam negeri dari 30 hingga 60 persen.

Presiden saat itu sudah mengingatkan produk impor ilegal akan mengganggu pasar dalam negeri, merugikan keuangan negara, dan melemahkan daya saing produk sejenis buatan dalam negeri.

Kepala Negara mengatakan sudah mendengar bahwa terdapat banyak modus impor ilegal, baik dalam penyelundupan bea masuk, PPH maupun PPN.

Presiden pun menginstruksikan agar hal tersebut disikapi dengan serius terutama dengan melakukan reformasi menyeluruh pada tata kelola perijinan impor sehingga lebih terintegrasi serta berbasis Informasi Teknologi (IT). Presiden juga memerintahkan agar dilakukan peningkatan pengawasan terhadap pelabuhan-pelabuhan kecil untuk menghentikan penyelundupan.

 

Video Terkini