Liputan6.com, Jakarta - Jepang berkomitmen memberikan bantuan pendanaan kepada 34 proyek transisi energi di Indonesia. Kesepakatan ini dihasilkan dalam The 2nd Asia Zero Emission Community (AZEC) Ministerial Meeting.
Pada pertemuan para menteri tersebut, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, total ada 78 proyek di Asia yang akan didukung oleh pendanaan Jepang.
Baca Juga
Perusahaan Ini Hadirkan Biji Kopi Kualitas Premium Asli Indonesia di SIAL Interfood 2022
Pemain Jepang Dipayungi Sekuriti Saat Hujan, Warganet Singgung Bahrain yang Ragukan Keamanan Bertanding di Indonesia
Pemain Timnas Indonesia Sandy Walsh Jadi Sorotan Usai Dapat Endorse dan Bagikan Aksi Lucu Maarteen Paes
"Indonesia mempunyai shortlist terbesar yaitu 34 proyek. Proyek yang masuk dalam AZEC ini sebuah proyek yang diinisasi Indonesia dan Jepang," kata Airlangga di sela-sela acara The 2nd AZEC Ministerial Meeting di St Regis Hotel, Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Advertisement
Airlangga memaparkan, proyek yang akan didanai Jepang antara lain 15 pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Jepang bahkan usul menambahkan satu proyek lagi, yakni PLTP Sarulla.
"Proyek yang sudah didukung geothermal ada 15 proyek dan salah satu yang dibahas tadi adalah yang sudah kita putuskan. Jepang juga tadi mengusulkan tambah proyek Sarulla," tutur dia.
Selanjutnya, ada proyek pengolahan sampah menjadi sumber daya energi di Legok Nangka, Jawa Barat. Lalu, proyek pengembangan lahan gambut (peatland) dengan Sumitomo Forestry di Kalimantan.
"Kemudian juga dikembangkan yang berbasis hydro, ini di Kayan Hydro, itu diharapkan bisa memproduksi sampai dengan 9.000 megawatt atau 9 gigawatt. Ini akan dikaitkan dengan industri turunannya termasuk hidrogen dan ammonia," ungkap Airlangga.
Pertemuan para menteri AZEC juga turut mengangkat terkait proyek penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCUS). "Kemudian tadi Blue Ammonia dan Hydrogen. Salah satu Blue Ammonia yang pertama akan dibangun di kawasan Pupuk Iskandar Muda atau Special Economic Zone Aceh yang diharapkan bisa membuat the first blue ammonia," imbuhnya.
Tak hanya itu, Airlangga mengutarakan, proyek transmisi atau jaringan interkoneksi untuk menghubungkan sistem kelistrikan Jawa dan Sumatera pun turut dibahas. Itu jadi salah satu prioritas dalam membentuk sistem jaringan terintegrasi di antara negara-negara Asia Tenggara, atau ASEAN Power Grid.
Atasi Tantangan
"Tadi juga saya sampaikan bahwa grid listrik ini tidak hanya di Jawa-Sumatera, tapi konektif nyambung dengan Kepulauan Riau. Lalu Batam-Bintan-Karimun, ini menjadi salah satu juga proyek yang nanti solar panelnya sudah akan di-offtake oleh Singapura," ujarnya.
"Ini kita juga akan mempersiapkan multiple channel transmission ke Singapura karena kita mengurangi masalah risiko maintenance dan outage. Karena itu wilayah yang transportasinya sangat kuat, sangat ramai," dia menambahkan.
Negara-negara yang tergabung dalam AZEC juga merumuskan kebijakan yang bisa diaplikasikan di semua negara yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Sehingga setiap negara bisa tetap tumbuh dari sisi ekonomi, tapi masih bisa secara konsisten menurunkan emisi dalam rangka transisi energi.
Untuk mengatasi tantangan tersebut secara efektif, dibutuhkan platform kebijakan yang kuat yang dapat mendorong kolaborasi, berbagi praktik terbaik, dan mengembangkan solusi standar untuk kawasan Asia. Untuk itu para negara anggota AZEC sepakat untuk membentuk AZEC Center.
"Kami secara resmi meluncurkan AZEC Center, yang diselenggarakan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) di Jakarta. Saya berharap AZEC Center akan memberikan dukungan yang tak ternilai dalam mengembangkan visi, peta jalan, dan kebijakan untuk memandu dekarbonisasi kita" pungkas Airlangga.
Advertisement
Transisi Energi Perlu Peta Jalan Inovasi
Sebelumnya, Pertamina Energy Institute bekerja sama dengan Universitas Pertamina menyelenggarakan The 2nd Pertamina Energy Dialog 2024. Tema yang diambung adalah "Harnessing Biofuels For Resilient and Sustainable Energy”.
Dalam acara ini, SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero) Henricus Herwin memaparkan outlook energi nasional dalam beberapa skenario, serta menyampaikan peran gas bumi, bahan bakar nabati, panas bumi, dan CCS/CCUS dalam mendukung transisi energi di Indonesia.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dina Nurul Fitria menyampaikan peta jalan transisi energi menuju Net Zero Emission 2060, revisi perubahan Peraturan Pemerintah 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan berbagai upaya untuk mendorong tercapainya target bauran energi.
Dalam konteks pengembangan bahan bakar nabati, Dina menekankan perlunya Diversifikasi Feedstock untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis sumber Bahan Bakar nabati (BBN).
Sedangkan Vice Chairman Research & Technology Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Jummy BM Sinaga menyampaikan betapa besar peluang industri biofuel yang dapat berkontribusi terhadap ekonomi nasional.
"Indonesia saat ini berperan sebesar 21% mensuplai minyak nabati dunia dengan minyak sawit. Kapasitas Terpasang Biodiesel di Indonesia +/- 20 juta Kiloliter, masih mampu untuk peningkatan campuran hingga 40% (B40), dan sedang dilakukan secara bertahap," jelas dia dalam keterangan tertulis, Selasa (6/8/2024).
Dia menjelaskan bahwa program B35 saat ini telah berhasil diimplementasikan dan progress uji coba biodiesel B40 yang sedang dilakukan secara bertahap. Uji coba untuk sektor otomotif telah berhasil dilakukan, dan saat ini berlangsung uji coba untuk non otomotif seperti di sektor Kereta Api (KAI), Alat Berat di sektor pertambangan, Pembangkit Listrik, dan alat mesin pertanian.
"Jika uji coba B40 diperkirakan selesai akhir tahun 2024 dan berjalan dengan lancar maka ada kemungkinan implementasi nya pada tahun 2025," kata dia.
Perlu Peta Jalan Inovasi
Profesor Iman Kartolaksono dari Institut Teknologi Bandung dan juga pengajar Universitas Pertamina menyampaikan proses perjalanan riset biofuel skala laboratorium sampai akhirnya implementasi B30 di tahun 2020. B30 merupakan campuran 30% biodiesel dengan 70% bahan bakar solar. Termasuk perkembangan pengembangan SAF atau Biovatur.
Pertamina Energy Institute Yohanes Handoko Aryanto menyampaikan kajian mengenai peran biofuel dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan mendekarbonisasi sektor transportasi, serta bagaimana transisi energi memerlukan peta jalan inovasi untuk meningkatkan keekonomian dan mendorong terobosan teknologi.
Sebagai agenda penutup, Widhyawan Prawiraatmadja, Ph.D, Advisory Board Pertamina Energy Institute, menegaskan bahwa Target Net Zero Emission (NZE) merupakan langkah positif menuju masa depan yang berkelanjutan.
Namun, pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan berbagai tantangan dalam realisasi pengembangan potensi Energi Terbarukan.
Advertisement
Komitmen Pertamina
Tantangan ini meliputi kemampuan menyeimbangkan antara kebijakan makro, regulasi dan perspektif pelaku bisnis dalam upaya untuk memaksimalkan profit, kesulitan dalam pendanaan, serta perlunya insentif yang mendukung pertumbuhan sektor energi bersih atau rendah karbon. Sehingga cross sectoral coordination sangat diperlukan untuk mencapai target NZE dan memastikan pertumbuhan ekonomi keberlanjutan.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan Pertamina terus mengembangkan biofuel sebagai komitmen Perusahaan dalam transisi energi.
"Biofuel menggunakan bahan energi terbarukan sehingga lebih ramah lingkungan," ujar Fadjar.
Pertamina sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi, berkomitmen dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDGs). Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina.