Sukses

Indonesia Harus Waspada, Ancaman Resesi di Depan Mata

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan kekhawatirannya mengenai indikasi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve Amerika Serikat (AS).

Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan kekhawatirannya mengenai indikasi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat (AS).

Menurutnya, keputusan The Fed tersebut menunjukkan adanya potensi resesi yang bisa mempengaruhi perekonomian global, termasuk Indonesia.

Bhima menjelaskan penurunan suku bunga AS umumnya digunakan untuk merangsang ekonomi ketika ada ancaman resesi.

"Tapi begini, suku bunga Amerika Serikat yang diperkirakan akan turun, fed rate, itu indikasi kurang bagus. Karena justru mengindikasikan Amerika sebentar lagi ada ancaman resesi. Sehingga Bank Sentral buru-buru memotong suku bunganya untuk menggerakkan pekonomian," kata Bhima dikutip Jumat (23/8/2024).

Menurutnya dampak dari potensi resesi di AS akan mempengaruhi Indonesia, terutama pada sektor ekspor. Bhima mengingatkan agar tidak terlena dengan pergerakan positif sementara di pasar modal dan pasar valuta asing yang mungkin memperkuat rupiah dalam jangka pendek.

"Jadi blessing in disguise, masuknya dana asing sekarang, ini sangat-sangat temporer. Lagi besar, lagi banyak. Bukan, karena fundamental kita itu sedang bagus," ujarnya.

Dia juga menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan hanya mencapai 5,2 persen pada tahun 2025, jauh dari target perekonomian Prabowo Subianto yang sebesar 8 persen, menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara harapan dan realitas ekonomi.

"Karena tekanannya baru akan terasa tahun depan. Ekonomi China melambat, Amerika Serikat, itu juga tadi ada ancaman resesi, dan kita juga tahu yang terjadi November nanti, kalau Donald Trump terpilih lagi gimana? Di Amerika Serikat. Kemudian mereka melakukan proteksi dagang, efeknya juga ke kita. Geopolitik juga masih belum pasti," jelas Bhima.

Dampak ke Rupiah

Bhima menilai, jika tekanan global baru akan terasa pada tahun depan, patokan rupiah di level Rp16.100 per dolar AS, bisa dianggap wajar untuk antisipasi. Namun, tantangan dari isu-isu geopolitik dan proteksionisme perdagangan harus diperhatikan.

"Saya pikir makanya ini kita nggak bisa mengambil konklusi, oh rupiah menguat, ini ekonomi kita lagi stabil dan lain-lain. Enggak, ini hanya limpahan yang sifatnya temporer," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ekonomi Thailand di Ambang Krisis

Thailand dikabarkan tengah berada di ambang krisis karena penurunan ekspor dan manufaktur yang tidak kompetitif.

Kabar mengenai penurunan ekonomi itu diungkapkan oleh menteri keuangan sementara Thailand, Pichai Chunhavajira.

Mengutip Channel News Asia, Rabu (21/8/2024) Pichai Chunhavajira mengungkapkan ekspor menyumbang 70 persen perekonomian Thailand tetapi sektor manufaktur tidak dapat memenuhi permintaan pasar.

"Kita tidak bisa bersaing. Kita tidak bisa beradaptasi pada waktunya," ungkap dia dalam sebuah seminar bisnis pada Rabu (21/8).

Negara dengan perekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara ini tumbuh 2,3 persen pada periode April-Juni atau kuartal kedua 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut juga menandai peningkatan dari pertumbuhan ekonomi 1,6 persen pada kuartal sebelumnya.

Namun pertumbuhan ekonomi kuartal-ke-kuartal Thailand melambat menjadi 0,8 persen pada kuartal kedua dari ekspansi 1,2 persen pada tiga bulan sebelumnya.

Kementerian Keuangan negara itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi Thailand akan mencapai sekitar 2,7 persen di sisa tahun 2024, setelah pertumbuhan tahun lalu sebesar 1,9 persen, tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.

Adapun bank sentral Thailand diperkirakan akan mempertahankan suku bunga utamanya tidak berubah pada level tertinggi dalam lebih dari satu dekade sebesar 2,50 persen untuk pertemuan kelima berturut-turut pada hari Rabu (21/8).

Sementara itu, perekonomian negara tetangga Indonesia lainnya di Asia Tenggara (ASEAN), yakni Singapura tumbuh sebesar 2,9% pada periode April-Juni atau kuartal kedua 2024.

3 dari 4 halaman

Negara ASEAN dengan Jumlah Miliarder Terbanyak: Siapa Teratas?

Asia Tenggara, dengan pertumbuhan ekonominya yang pesat, telah menjadi rumah bagi sejumlah miliarder. Beberapa negara di kawasan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) bahkan memiliki jumlah miliarder yang signifikan, menandakan kekuatan ekonomi dan peluang bisnis yang besar.

Dirangkum dari data Forbes, Selasa (20/8/2024), berikut adalah daftar negara-negara ASEAN dengan jumlah miliarder terbanyak dan faktor-faktor yang berkontribusi pada pencapaian tersebut:

1. Indonesia

Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di ASEAN, memiliki jumlah miliarder terbanyak di kawasan ini. Jakarta, sebagai pusat ekonomi, telah menarik banyak pengusaha dan investor besar.

Industri yang menyumbang jumlah miliarder terbesar di Indonesia meliputi properti, perbankan, dan sumber daya alam seperti batu bara dan kelapa sawit.

Nama-nama seperti Budi Hartono dari Djarum Group dan Anthoni Salim dari Salim Group adalah beberapa miliarder terkenal dari Indonesia.

2. Singapura

Singapura, dengan statusnya sebagai pusat keuangan global, adalah rumah bagi banyak miliarder. Negara kota ini menarik banyak kekayaan melalui sektor keuangan, teknologi, dan real estate.

Kebijakan pajak yang menguntungkan serta stabilitas politik membuat Singapura menjadi pilihan utama bagi para miliarder di Asia dan dunia. Para miliarder seperti Eduardo Saverin, salah satu pendiri Facebook, dan keluarga Ng dari Far East Organization, adalah contoh dari individu-individu kaya yang bermukim di Singapura.

3. Thailand

Thailand juga memiliki populasi miliarder yang cukup signifikan. Bangkok, sebagai pusat bisnis dan perdagangan, adalah rumah bagi banyak pengusaha kaya. Industri yang mendominasi kekayaan di Thailand meliputi perbankan, real estate, dan barang konsumen. Keluarga Chearavanont dari Charoen Pokphand Group dan Charoen Sirivadhanabhakdi dari Thai Beverage adalah contoh miliarder terkenal di Thailand.

4 dari 4 halaman

Negara Selanjutnya

4. Filipina

Filipina telah melihat peningkatan jumlah miliarder dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh sektor real estate, telekomunikasi, dan ritel. Manila, sebagai ibu kota, menjadi pusat kegiatan bisnis dan investasi. Henry Sy dari SM Group dan Manuel Villar dari Vista Land & Lifescapes adalah dua miliarder yang mendominasi daftar orang terkaya di Filipina.

5. Malaysia

Malaysia juga memiliki sejumlah miliarder yang cukup besar, terutama dalam sektor perbankan, minyak kelapa sawit, dan telekomunikasi. Kuala Lumpur sebagai pusat ekonomi utama memiliki banyak pengusaha kaya, termasuk Robert Kuok, seorang taipan dalam industri gula, dan Ananda Krishnan, pengusaha media dan telekomunikasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini