Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan minyak dan gas bumi (migas) raksasa di Amerika Serikat (AS), Halliburton, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menjalin kerja sama dengan penegak hukum untuk menentukan sejauh mana dampak dari gangguan sistem komputer terhadap bisnis.
Melansir Channel News Asia, Selasa (27/8/2024) perusahaan senilai USD 23 miliar tersebut menemukan adanya serangan siber pada sistem perusahaan pada hari Rabu 21 Agustus 2024.
"Investigasi dan tanggapan sedang berlangsung termasuk pemulihan sistem dan penilaian materialitas," terang Halliburton.
Advertisement
Perusahaan tersebut juga mengatakan telah menonaktifkan beberapa sistem untuk melindungi data-datanya.
Serangan tersebut tampaknya berdampak pada operasi bisnis di fasilitas Halliburton di Houston, serta beberapa jaringan konektivitas global, menurut keterangan seorang sumber yang mengetahui masalah tersebut.
Halliburton juga telah meminta beberapa staf untuk tidak terhubung ke jaringan internal, menurut sumber itu.
Departemen Energi AS mengatakan pada hari Kamis (22/8) bahwa insiden siber Halliburton tidak berdampak pada layanan energi apa pun.
Ini bukan kali pertama gangguan siber melanda perusahaan di AS.
Sebelumnya, serangan ransomware sempat melanda penyedia perangkat lunak CDK Global, menyebabkan masalah di ribuan dealer mobil di seluruh Amerika Serikat awal tahun ini.
CDK tampaknya telah membayar tebusan sebesar USD 25 juta kepada para peretas untuk mengatasi gangguan besar-besaran tersebut, menurut laporan sebuah sumber.
Selama musim semi tahun 2021, serangan ransomware melumpuhkan Colonial Pipeline, menyebabkan aksi belanja panik yang memusnahkan persediaan di stasiun pengisian bahan bakar di sepanjang Pantai Timur.
Jadi Perhatian Terhadap Kerentanan
Eric Noonan, CEO penyedia keamanan dan TI CyberSheath mengatakan, serangan siber yang tampak terhadap Halliburton adalah pengingat lain tentang kerentanan perusahaan yang mengoperasikan infrastruktur penting seperti energi.
"Operator infrastruktur penting di AS dapat memutuskan seberapa baik mereka menggunakan atau tidak menggunakan kontrol keamanan siber,” kata Noonan, dikutip dari CNN.
"Ini adalah situasi yang tidak dapat terus berlanjut tanpa biaya yang sangat besar bagi rakyat Amerika," ia menambahkan.
Advertisement