Sukses

Indonesia Swasembada Beras Meski Ada Impor, Kok Bisa?

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengklaim volume impor beras hanya sekitar 10 persen dari total kebutuhan nasional, sehingga Indonesia tetap dalam kategori swasembada.

Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, menegaskan bahwa Indonesia masih dikategorikan sebagai negara swasembada beras, meskipun ada impor beras yang dilakukan belakangan ini.

Menurut Arief, volume impor beras hanya sekitar 10 persen dari total kebutuhan nasional, sehingga Indonesia tetap dalam kategori swasembada.

"Tadi Pak Mentan mengatakan bahwa jika impor masih di bawah 10 persen dari kebutuhan, maka kita masih swasembada. Dalam angka tersebut, termasuk beras khusus, dan impor yang sebelumnya dikhawatirkan akan menekan harga petani, kini tidak terjadi," ujar Arief dalam keterangan resminya pada Selasa (27/8/2024).

Arief juga menyampaikan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan produksi beras nasional adalah pengembangan lahan pertanian di wilayah Merauke seluas 40 ribu hektare. Namun, pengembangan ini memerlukan dukungan infrastruktur yang memadai agar berhasil.

Serapan Produksi

Lebih lanjut, Arief menjelaskan bahwa selain meningkatkan produksi dalam negeri, tantangan lainnya adalah memastikan penyerapan hasil produksi tersebut.

Menurutnya, program cetak sawah baru harus diikuti oleh dukungan pasca panen serta adanya pembeli standby untuk memastikan rantai produksi berjalan efektif.

"Nantinya, produksi dari Indonesia Timur akan diutamakan untuk wilayah tersebut, seperti Timika, Biak, dan lainnya. Badan Pangan Nasional berperan dalam menjembatani produksi petani dengan pembeli, agar harga yang baik tetap terjaga," tambah Arief.

 

2 dari 3 halaman

BUMN Pangan Butuh Dukungan Anggaran

Selain itu, Arief juga menekankan pentingnya peran BUMN pangan dalam menyerap hasil produksi lokal. Namun, untuk menjamin konsistensi peran BUMN sebagai pembeli hasil panen petani, diperlukan alokasi anggaran khusus. Penyerapan produk lokal oleh BUMN ini sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022 tentang Cadangan Pangan Pemerintah (CPP).

"Perpres 125 Tahun 2022 sudah ada, namun yang dibutuhkan sekarang adalah anggaran. Jika produksi sudah berjalan, kita harus siap dengan pembeli yang standby. Ini adalah peran BUMN pangan, dan mereka harus diperkuat dengan anggaran untuk melakukan offtake," jelas Arief.

Menurutnya, anggaran yang digunakan oleh BUMN pangan bukanlah untuk konsumtif, melainkan untuk mengonversi dana menjadi hasil serapan petani, yang kemudian dijual kembali.

 

3 dari 3 halaman

Petani Diuntungkan dengan Peningkatan Peran BUMN

Arief melihat bahwa peningkatan produksi pertanian dalam negeri akan terus didorong jika BUMN pangan berperan sebagai offtaker yang menguntungkan petani. Jika petani sudah memiliki pembeli yang pasti, maka produksi dapat meningkat.

"Petani saat ini menikmati harga gabah yang lebih dari Rp6.000 per kilogram, dan Nilai Tukar Petani (NTP) juga di atas 100," kata Arief. Ia menekankan pentingnya memastikan seluruh rantai produksi hingga penjualan berjalan dengan baik agar petani mendapatkan keuntungan yang layak.

Dengan demikian, strategi swasembada beras Indonesia dapat terus dipertahankan melalui dukungan infrastruktur, penyerapan hasil produksi lokal oleh BUMN, dan alokasi anggaran yang tepat untuk mendukung peran penting tersebut.