Sukses

Pengusaha Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12%: Kasihan Kelas Menengah

Hippindo meminta pemerintahan terpilih agar menunda kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Jika terpaksa dinaikkan, dia berharap pemerintah memberikan insentif bagi kelas menengah.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memastikan akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, dari sebelumnya 11 persen di 2024. Kenaikan tarif PPN ini mendapat protes dari para pengusaha pusat perbelanjaan. 

Ketua Umum Himpunan dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengeluarkan unek-uneknya terkait rencana pemerintah menaikkan tarif PPN 12 persen. Untuk diketahui, kenaikan tarif PPN ini sudah ditetapkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan kemudian akan dijalankan oleh Pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto. 

Budihardjo pun meminta pemerintah terpilih mendatang tidak menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen. Hal ini karena akan sangat membebani pengusaha di tengah pelemahan daya beli masyarakat terutama kelas menengah.

"Hippindo akan terus bermitra dengan pemerintah jadi mitra yang aktif, menaikkan penjualan di dalam negeri, membantu menaikkan pajak dengan menaikkan omzet, omzetnya dinaikkan, bukan PPN-nya," ujar Budi dalam acara Indonesia Retail Summit di Swissotel Jakarta PIK Avenue, Rabu (28/8/2024)

Dia menjelaskan dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen dalam jangka menengah berpotensi untuk menurunkan daya beli masyarakat. Terutama untuk kelompok kelas menengah.

"Dampak nya sendiri memang tidak bersifat jangka pendek. Tapi dalam waktu jangka menengah itu ada pengaruh (kenaikan PPN 12 persen)," beber dia.

Pihaknya khawatir dampak kenaikan PPN ini akan membatasi konsumsi masyarakat untuk berbelanja di sektor ritel. Menyusul, adanya potensi penurunan daya beli akibat kenaikan PPN.

Insentif 

Untuk itu, dia meminta pemerintahan terpilih selanjutnya agar menunda kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Jika terpaksa dinaikkan, dia berharap pemerintah memberikan insentif bagi kelas menengah.

"Kalau nggak bisa ditunda, tambahan 12 persen (PPN) itu bisa dikembalikan ke meningkatkan daya beli. Misalnya program kesehatan,atau program rakyat bawa untuk stimulus ekonomi dari uang tambahan itu," ungkap dia.

Di kesempatan yang sama, Menko Airlangga mengaku akan mempelajari usulan dari pelaku usaha tersebut. Namun, dia tidak bersedia menjawab apakah pemerintah akan menunda kenaikan PPN menjadi 12 persen di tahun depan.

"Nanti kita pelajari," singkat dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

PPN Naik jadi 12% Tahun Depan, Semua Harga Barang Bakal Naik?

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengakui akan ada kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025, dari sebelumnya 11 persen pada 2024.

Sri Mulyani menjelaskan, banyak masyarakat yang beranggapan semua barang dan jasa kena PPN. Padahal ada instrumen fiskal lain yang kurang familiar ditelinga masyarakat yaitu PPN dibebaskan untuk kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

"Satu instrumen fiskal yang lain, mungkin tidak familiar tapi sebetulnya penting yaitu bahwa PPN yang dibebaskan. Jadi banyak masyarakat yang menganggap semua barang jasa kena PPN, sebetulnya dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sangat menjelaskan barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, transportasi itu tidak kena PPN," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers RAPBN 2025, di DJP, Jakarta, Jumat (16/8/2024).

Maka meskipun PPN tahun depan naik menjadi 12 persen, namun untuk kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan dan transportasi tidak dikenakan PPN tersebut.

"Jadi kalau membayangkan oh PPN kemarin 10 ke 11 persen dan di UU HPP akan menjadi 12 persen. Itu barang-barang tidak terkena PPN, jadi itu memproteksi," ujarnya.

Bendahara negara ini menegaskan, bahwa penikmat Pajak Pertambahan Nilai yang dibebaskan tersebut adalah kelompok menengah. Hal itu dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat.

"Ini (PPN dibebaskan) dinikmati oleh banyak kelompok kelas menengah. Jadi saya ingin menyampaikan bahwa APBN menjaga daya beli masyarakat, agar konsumsi itu tetap terjaga stabil melalui daya beli," pungkasnya. 

3 dari 3 halaman

Rasa Keadilan

Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri, mengusulkan agar kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen di 2025 ditunda.

"Kalau menurut saya wajib lah ditunda. Ini kan pertanyaannya itu tadi defisitnya tambah lebar. Karena PPN paling gampang. Kalau PPH Masih suka nilep-nilep kan kalau PPN itu kan setiap transaksi," kata Faisal Basri saat ditemui usai RDP dengan BAKN DPR RI, Rabu (10/7/2024).

Dalam kesempatan itu, Faisal juga menyoroti terkait pemberian insentif yang dilakukan Pemerintah kepada para pengusaha, seperti tax holiday, tax deductible, hingga insentif mobil listrik.

Menurutnya, pemberian insentif tersebut tidak sejalan dengan tarif PPN yang justru dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat.

"Jadi, ya tinggal yang mau diutamakan itu demi investasi omnibuslaw memberikan fasilitas yang namanya tax holiday, tax deductible, super tax deductible segala macem gitu kan malah disubsidi, mobil listrik kan Rp40 juta per mobil kaya gitu," ujarnya.

"Sementara PPN yang mengenai seluruh rakyat dinaikkan, rasa keadilannya dimana. Tapi demi investasi semua itu, makin gelap mata," tambahnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini