Liputan6.com, Jakarta - Penurunan ekspor menjadi salah satu tantangan terbesar industri kelapa sawit pada 2024. Hal ini diungkap oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menjelaskan.
Ekspor kelapa sawit di tahun ini tak sebesar tahun-tahun sebelumnya karena adanya penurunan permintaan dari China yang menjadi salah satu importir terbesar Crude Palm Oil (CPO) dari Indonesia. Menurunnya permintaan ini diakibatkan China yang melirik minyak bunga matahari yang harganya lebih murah dibandingkan minyak sawit.
Baca Juga
“Kemarin saya baru kembali dari China, itu ternyata minyak bunga matahari yang tidak disangka-sangka produktivitasnya jauh lebih rendah dari sawit itu lebih murah dibanding sawit,” kata Eddy dalam acara Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Selasa (27/8/2024).
Advertisement
Eddy menambahkan harga minyak bunga matahari yang lebih murah membuat China banyak melakukan pembelian dan ada pengurangan import sawit dari Indonesia. China menjadi importir CPO terbesar dari Indonesia dengan jumlah 7,7 juta ton pada tahun lalu.
“Saya sampaikan bahwa kalau seperti ini terus mencapai 5 juta ton saja cukup berat. Jadi saya minta saran dari mereka apa yang harus kita lakukan,” jelas Eddy.
Kebijakan Pemerintah
Eddy menyebut, perlu ada kebijakan pemerintah, yang paling tidak dapat memainkan instrumen fiskal. Artinya pada waktu harga tidak kompetitif bisa turunkan sementara, kemudian setelah menjadi kompetitif kembali, harga bisa dinaikkan lagi.
Adapun Eddy menjelaskan sawit bukan satu-satunya minyak nabati di dunia. Pangsa pasar minyak sawit 33 persen di dunia. Artinya masih ada 67 persen minyak nabati lainnya, salah satunya minyak bunga matahari.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor CPO secara tahunan (YoY) sebesar 39,22 persen. Total volume ekspor CPO dan turunannya pada Juli 2024 hanya mencapai 1,62 juta ton atau turun 2,67 juta ton secara bulanan.
Prabowo Bidik Solar Sawit B50 di 2025, Indonesia Hemat Rp 309 Triliun
Sebelumnya, Presiden terpilih Indonesia, Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa ia akan menerapkan kewajiban pencampuran biodiesel berbasis minyak kelapa sawit wajib sebesar 50 persen pada awal tahun depan.
Langkah ini diharapkan akan memangkas biaya impor bahan bakar hingga USD 20 miliar atau Rp.309,7 triliun per tahun.
"Kami sekarang berada di B35 dan kami akan mempercepat ke B40, B50," kata Prabowo, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (28/8/2024).
"50 persen biodiesel yang terbuat dari minyak kelapa sawit, begitu kita mencapai B50, Insya Allah pada akhir tahun ini atau awal tahun depan, kita akan menghemat USD 20 miliar setahun, kita tidak perlu mengirim uang ini ke luar negeri," bebernya.
Sebagai informasi, konsumsi minyak sawit Indonesia telah tumbuh rata-rata 7,6 persen per tahun sejak 2019, menurut data GAPKI, sementara produksi selama periode yang sama telah meningkat kurang dari 1 persen per tahun.
Peningkatan mandat biodiesel akan menghasilkan volume ekspor yang lebih rendah.
Mandat biodiesel sawit Indonesia berlaku untuk transportasi darat, kereta api, mesin industri, dan pembangkit listrik tenaga diesel.
Advertisement
Bahan Bakar Jet
Indonesia juga mengembangkan bahan bakar jet berbahan dasar kelapa sawit dan telah melakukan uji terbang, meskipun penerapan rencana pencampuran biofuel sebesar 3 persen untuk bahan bakar jet pada tahun 2020 sempat tertunda.
Di sisi lain, Asosiasi produsen minyak sawit GAPKI menilai B50 tidak dapat diterapkan pada awal 2025, karena belum diuji.
Asosiasi produsen biofuel Indonesia APROBI juga mengatakan produsen perlu waktu untuk menguji bahan bakar B50 dan meningkatkan kapasitas produksi mereka untuk memenuhi permintaan, kata sekretaris jenderal grup tersebut.
Adapun Tatang Hernas Soerawidjaja, pakar biofuel di Institut Teknologi Bandung menyebutkan, industri biodiesel mungkin perlu meningkatkan kualitas produknya untuk memastikan bahan bakar akan tetap stabil untuk pencampuran wajib yang lebih tinggi.